Cerpen  

SEBERSIT AWAL TAHUN : SOLUSI-SOLUSI

Akhirnya, aku kembali memeluk tajuk ini, usai lamanya menjadi petapa sibuk dengan kebodohan di antah berantah. Tak tahu, mood swing menyerangku begitu telak, hujan panah yang disemburatkan meluluhlantakkan benteng keteguhan sekali coba. Tiada celah bagi kubu gairah dan semangat untuk mengumpan balik bombardir itu. Terus menerus sepanjang hampir lima pekan, hingga bendera putih besar berkibaran di beberapa titik area peperangan. Keteguhan berakhir dengan kekalahan, sial.

Aku bertanya-tanya, menanyai sebab-musabab mengapa rezim keteguhan berakhir dengan sial. Ustazku, dia adalah orang pertama yang kumintai jawaban. Orangnya sibuk, urusannya banyak, sehingga aku perlu menunggu beberapa hari supaya bisa menyaksikan jawabannya. Tenang saja, pada waktu itu kesabaranku berada teramat sangat jauh dari puncaknya. Yang terpenting sebuah harap bahwa ihwal buruk ini lekas beranjak masih tetap berpijar terang. Aku akan setia.

“Tunggu sebentar. Apakah sebelumnya kamu pernah sakit?” yes! Interogative at the end. Sepertinya saat itu ustazku tengah lengang.

“Sakit seperti apa, Ust? Kalau hanya batuk, pilek, dan demam saja, saya baru pulih sekitar tiga hari yang lalu.”

“Seperti itu, Mas. Kira-kira demamnya tinggi banget?”

“Tidak, Ust. Biasa saja.”

Chat kami hari itu rampung. Cukup sampai di sana, entah mengapa status online-nya menghilang, pertanda waktu senggangnya kembali tersita. Tak mengapa, untuk menunggu jawabannya, aku rela menunggu, meskipun beberapa bulan lamanya. Bukan karena aku ketergantungan, namun streotipku akan sosok beliau tak buruk-buruk amat untuk menjadi tempatku bertanya. Selain memiliki hobi yang sama, setidaknya ia adalah dosen, tentu saja ia akan menganggap masalah ini adalah masalah yang sepele. Level kami sangat berbeda.

***

“Setiap penulis pernah mengalami masalah yang demikian, Mas. Itu hal yang sangat wajar. Cobalah mengambil waktu sejenak untuk merefresh raga dan jiwa dengan hal-hal lain, seperti mengangon kambing, menanam kacang sachi, atau hal-hal menarik lain yang tidak bersinggungan dengan handphone. Cobalah.” Pada akhirnya ustazku memberi solusi walau di esok hari. Aku termanggut dalam diam.

Tunggu-tunggu, memang sistem pembelajaran di negara ini sudah tak lagi online. Namun tetap saja, manusia dituntut mahir berteknologi, terutama dalam aspek pendidikan. Mengapa? Karena di internet, hampir semua yang kita butuhkan dan cari itu hadir. Tak heran mengapa hampir beratus-ratus jurusan di dunia perkuliahan pasti dibarengi dengan IoT atau Internet of Things, yang diartikan dengan ‘internet untuk segala’. Justru sangat ambigu jika manusia tidak memanfaatkan teknologi yang ada, bahkan cara menggunakannya simpel untuk memperoleh value yang  besar. It’s a big deal!

Satu kata untuk internet, konektivitas. Hampir total 8 milyar manusia di bumi terhubung dalam sebuah wadah bernama internet. Akibatnya, tentu banyak sekali. Dimulai dari aspek positif, yakni bisa memperluas wawasan kita, karena para pakar di setiap bidang pasti berkumpul di internet dan tentu saja mereka melipirkan berbagai temuan dan intelektualitas mereka ke dalam internet. Halodoc, Bisaekspor, Sarasvati, dan lain sebagainya adalah contoh riilnya.

Kemudian internet juga bisa jadi sarana hiburan, seperti bermain game, mendengarkan musik, atau yang sedang menjadi trending adalah menikmati podcast, karena para pengembang game, musisi, dan konten kreator yang beragam jenis dan genrenya terkoneksi secara kompleks di internet. Hebat bukan?

Namun, tiada gading yang tak retak. Semua hal yang tercipta di dunia ini pasti disertai oleh sisi terang dan gelap. Termasuk dengan keberadaan internet di sini. Dengan memanfaatkan konektivitas yang hampir tak berbatas, muncul beberapa oknum dengan otak-otak capitalist but genius mereka untuk mencari keuntungan sepihak. Beberapa perdagangan ilegal seperti perdagangan senjata tajam dan api, human traficking, sampai pada situs-situs pornografi yang pengaruhnya sangat eksploitatif sekali kepada kesehatan mental dan intelektualitas para pecandunya.

Kesampingkan dahulu soal sisi negatif yang levelnya cukup berat. Apakah kalian tahu bahwa ada sisi positif yang mengandung efek yang negatif. I know it’s kinda sus, but yes, there is! Kata yang hampir setiap hari kita dengar, FOMO (Fear Of Missing Out), maksudnya adalah ketakutan tesendiri akan kehilangan suatu informasi, mengingat informasi-informasi yang bahkan tak terpikirkan untuk kita cari dapat ditemukan di internet. Memang, kedengarannya bagus dan bermakna positif, namun apa dampak dari information-addict ini? Lelah mental.

Seperti yang telah kusinggung di tulisan sebelumnya. Lelah mental disebabkan karena input yang berlebihan tanpa disertai output yang seimbang. DI satu sisi, fenomena FOMO ini dapat diindikasikan sebagai sesuatu yang positif jika dibarengi dengan output yang bagus. FOMO menyerap begitu banyak sekali gagasan dari berbagai studi kasus dan topik yang random. Sementara itu, topik yang terlalu kompleks hampir tak mungkin kita ingat secara menyeluruh, sementara kita menaruh anggapan berharga pada informasi tersebut. Alhasil, yang muncul adalah rasa takut, yang merembet pada informasi-informasi yang lain, dan yang terjadi adalah mood swing, lelah mental.

Sementara itu, media apakah yang dipakai paara pelaku FOMO dalam memperoleh informasi? Ya, handphone. Jadi, alasan ustazku menyuruhku untuk memilih aktivitas lain dan menjauhi distraksi dengan handphone adalah pilihan yang tepat. Terima kasih, Ustaz.

***

Selanjutnya, adalah kepada Ayah. Sebetulnya sudah lama sekali kujadikan Ayah sebagai tempat meminta solusi di kala pikiranku sudah mencapai limit untuk berpikir. Ia bak dispenser solusi yang solutif bagiku. Memang, sering aku miskonsepsi terhadap ujarannya dan malah mengambil tindakan yang sebaliknya. Namun, ikatan ayah dan anak itu memang sejatinya adalah salah satu ikatan terkuat di dunia bagaimanapun dinamikanya.

“Sebelum Abang merendahkan diri. Coba Abang analisis terlebih  dahulu, kira-kira apa yang membuat Abang demikian? Tidak mungkin orang menjadi bosan, lelah mental, mood swing tanpa sebab,” balas Ayah tampak antusias, walau hanya dapat kutilik dari gelembung chat.

“Sudah, Yah. Abang benar-benar tidak menemukan apa-apa,” jawabku kelu.

“Mungkin analisis Abang kurang mendalam,” aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Ayah sedikit membuatku kesal hari ini, karena aku dituntut untuk menyelesaikan permasalahanku sendiri. Tidak, yang memiliki masalah adalah aku, lantas yang berkewajiban untuk menuntaskannya adalah aku.

“Bang, segala sesuatu di dunia ini diciptakan dengan sebab dan akibat. Berarti tidak mungkin Abang tiba-tiba saja merasa bad mood, pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi bad mood Abang itu,” Aku kembali terdiam. Lagi-lagi tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ini benar-benar di luar kendaliku.

Pepatah lama pernah berbunyi, seribu masalah, sejuta solusinya. Dipikir-pikir logis juga. Apalagi jika ditarik dengan korelasi pada potongan ayat di Al-Qur’an bahwa semua makhluk di dunia diciptakan oleh Allah dengan kodrat berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, microcosmos dan macrocosmos, sepertinya masalah diciptakan berbarengan dengan sebuah solusi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa masalah yang jelas dapat diselesaikan dengan solusi yang bejibun opsinya.

Tapi apakah kalian pernah berpikir, bagaimana jika suatu masalah itu ada, dapat kita rasakan, namun tidak dapat kita ketahui seperti apa rupanya? Laksana angin panas, membawa duka selama kita tak menahu tentang rupa, padahal kita bersama. Yang terjadi selanjutnya adalah confused, dibingungkan dengan masalah yang hampir tidak ada solusinya. Tentu saja, jika kubalikkan, bagaimana cara kalian menentukan solusi jika masalahnya saja tidak jelas bentuknya?

“Mungkin ini efek dari kelelahan, Bang. Abang adalah siswa SMA Negeri 1 Sulang, menjabat sebagai Ketua Kelas, Wakil Ketua OSIS, dan Tim Digital Smalang. Betul kan?”

“Benar, Yah.”

“Nahh. Lain hal, Abang juga merupakan seorang sanja Planet Nufo yang didoktrin untuk cerdas, kaya, dan berkuasa. Cerdas hanya dapat dicapai dengan usaha keras dan belajar, oleh karena itu seusai Abang pulang dari sekolah, Abang tidak bisa berleha-leha. Kaya, satu-satunya jalan yang memungkinkan adalah dengan menggunakan usaha yang besar, kerja yang keras, dan agility yang wah. Maka Abang dituntut untuk berwirausaha di sana. Berkuasa, negara kita tidak monarki atau monarki konstitusional. Negara kita adalah negara demokratis. Oleh karena itu siapa saja ada kemungkinan untuk menjadi seorang pemimpin. Nah, makanya Planet Nufo berkoalisi dengan beberapa organisasi pelajar yang berfungsi sebagai media latih leadership santri-santri,”

Ah, baru saja ku tersadar. Ternyata keseharianku sesibuk itu. Merangkap banyak sekali kedudukan, mengemban banyak sekali beban, memikirkan banyak sekali tugas. Walau entah kapan semua itu terealisasikan, setidaknya jika sewaktu-waktu dibutuhkan, aku punya jawabannya. Tunggu, jika aku seperti ini, apakah aku belum mampu memikul tugas-tugas ini?

“Jika dugaan Ayah bahwa Abang letih itu benar, maka obatnya adalah istirahat dan mencari hiburan, Bang. Planet Nufo kan tempatnya luas, hawanya sejuk, udaranya segar, jauh dari bising. Setiap pagi ambillah sepatu, lalu jogging sendirian di sekitar sana. Kayak kebiasaan Ayah  semasa covid dulu, bedanya Abang jalan di alam, Ayah jalan di trotoar. Itu aja.” Ayah membalas pesanku lagi,

“Suatu pekerjaan itu tidak bisa dipaksakan sekehendak kita, Bang. Apalagi kita manusia yang jauh dari kesempurnaan, terbiasa berekspektasi tinggi terhadap sesuatu dan sering dikecewakan oleh hasil yang tidak memuaskan. Maka dari itu, lahirlah beberapa paham yang menjadi solusinya, ada pragmatisme dengan Chales Sanders Peirce sebagai pemelopornya, sampai pada paham stoikisme yang dipelopori oleh banyak tokoh filsafat, seperti Zeno, Epictetus, Seneca, dan lain sebagainya,

Menurut Ayah, dasar-dasar pemahaman dari kedua aliran di atas dapat Abang pelajari dan ambil nilai-nilai positifnya. Seperti stoikisme yang menitikberatkan pada kemampuan diri kita, dikotomi kendali, atau self-sentris. Lengkapnya Abang cari-cari sendiri di internet. Ada banyak pembahasannya, ada banyak juga fatwa-fatwanya yang menarik, karena stoikisme itu sedang menjadi trend, Bang.”

Terakhir, aku termanggut paham sebelum akhirnya obrolanku dengan Ayah terkait topik ini ditutup dengan pertanyaan seputar lingkungan, kekeluargaan, dan adikku, Aufa. Pentingnya menjaga sekuritas setiap orang yang berpendapat serta pendapat-pendapat mereka, dimulai dari hati sendiri terlebih dahulu. Sebelum akhirnya muncul ke permukaan sebagai influencer positif bagi banyak orang.

Memang dari kedua solusi di atas, mereka memiliki titik temu yang hampir sama, yakni me-refresh otak dengan hal-hal yang sekiranya seru, dinamis, dan tak terdistraksi oleh gadget. Namun, cara mereka berbeda, dimana salah satu menyarankanku untuk lebih banyak menikmati aktivitas outdoor, sedangkan yang satu lagi menyuruhku untuk memahami sebuah paham yang akan mempermudahku untuk mengambil langkah. Semuanya benar, tidak ada yang salah. Namun kembali lagi kepada mindset, how it’ll change the thing? Mefungsikan keduanya, menyeleksi salah satunya, or create our own way? It’s up to us!

 

Oleh : Aletheia Raushan Fikra Ukma, Wakil Ketua OSIS Terpilih SMAN 1 Sulang, Ketua Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) Ranting IPM Planet Nufo, Penulis 2 Buku : Mengkaji Hari, Arsip Insomnia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *