Budaya  

Pela Gandong Sebagai Kesatuan Persaudaraan Maluku

Pela Gandong secara Bahasa terdiri dari dua suku kata yakni, Pela dan Gand`ong. Pela berarti hubungan emosional yang terbangun dari perjanjian sakral. Perjanjian ini biasanya karena alasan perang. Sebab, saat itu, Maluku masih memakai hukum rimba atau hukum heka leka.

Pela Gandong merupakan ikatan sakral yang punya konsekuensi-konsekuensi mistik berupa karma adat apabila dilanggar. Ikatan ini bisa terdiri dari Negeri Islam dan juga Negeri Kristen yang suda terjaga sejak ribuan tahun dan samapai sekarang. Perjanjian sakral seperti ini banyak dibuat untuk menyelesaikan perang dan berlaku sampai selamanya.

Asal Mula Pela Gandong dari Negeri Tamilouw. Tidak bisa dilacak dengan pasti tahun kejadiannya. Namun, berdasarkan tuturan rakyat yang ada, pela gandong yang terbentuk antara Negeri Tamilouw, Hutumuri, dan Negeri Siri-Sori (Kristen)  sudah terjadi sejak abad ke 11.

Pela Gandong mempunyai arti yang sangat besar dari sebuh kisah kehidupan yang berawal dari tiga bersaudara yang sekarang di kenal dengan nama negeri (desa), yaitu Timanole (Desa Tamilouw), Simanole (Desa Hutumuri),dan Silaloi (Desa Siri-sori) anak dari Abuding Wasari dan Lounsa Nsalou.

Menurut John, Penulis Buku Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku, Pela -selain sebagai bentuk institusional budaya- mengandung nilai kearifan lokal. Pela lahir dari paradigma komunitas manusia di Maluku. Hal ini dapat menjadi nilai sebuah etika publik yang di produksi masyarakat maluku dalam suatu ruang publik yang luas.

Aspek “perjanjian” menetapkan pela sebagai suatu institusi etik ynag sejak awal telah meletakan nilai-nilai dasar kesetian dan tanggung jawab yang telah menajdi tujuan masyarakat. Bentuk perjanjian etika yang diikat antara kelompok masyarakat satu negeri dengan beberapa negeri lainnya.

Pela mampu melahirkan suatu corak yang relevan dan aplikatif pada tataran kognisi, efeksi dan sense motorik masyarakat secara luas. Sebab, Pela benar-benar terbukti sebagai suatu sistem nilai yang mampu membangun tertib sosial dalam masyarakat di Maluku.

Jhon Ruhulessin melihat bahwa Pela selain sebagai bentuk institusional budaya Pela juga mengan dung nilai kearifan lokal. Ia merupakan sebuah tradisi keberdaban publik dan dunia kehidupan yang lahir dari paradigma komunitas manusia di Maluku. Hal ini dapat menjadi nilai sebuah etika publik yang di produksi masyarakat maluku dalam suatu ruang publik yang luas.

Hal ini selaras dengan pernyataan Dr. Pieter Tanamal, pakar budaya dan pengarang Buku Pengabdian dan Perjuangan. Tanamal mengatakan bahwa Pela merupakan salah satu bentuk kekeluargaan dan ikatan persaudaran yang nilainnya tetap kokoh sampai saat ini. Pela telah menjadi simbol kesatuan dan persaudaraan antara dua atau lebih negeri, baik islam maupun kristen.

Oleh: Titi Lestari Tomangalu, Mahasiswa IAIN Salatiga dan Ativis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Lafran Pane Salatiga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *