Globalisasi yang kita kenal sekarang ini pada dasarnya telah lama muncul, yaitu sekitar abad ke-15 seiring dengan pertumbuhan kapitalisme dan ekspansi suatu negara ke luar negeri. Proses terjadinya globalisasi juga telah dimulai sejak terjadinya penaklukan atas Asia, Afrika dan Amerika Latin serta pendudukan bangsa kulit putih atas tanah di Amerika Utara dan Australia.

Dalam perkembanganya memasuki abad 20 dimana ada yang menyebutkan sebagai globalisasi fase ke tiga, telah masuk dalam fase interational trade atau perdagangan internasional. Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainya. Dalam prakteknya proses globalisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis dan tata kerja, ekonomi, sumber daya sosial budaya dan lingkungan alam.

Barbara Parker sebagaimana dikutip oleh Ade Maman Suherman menyatakan, bahwa dengan globalisasi telah meningkatkan adanya makna dan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia yang menyebar dengan cepat untuk membentuk suatu dunia yang tunggal, terintegrasi secara ekonomi, sosial, budaya, teknologi, bisnis dan pengaruh lainya yang menembus batas dan sekat tradisional seperti bangsa-bangsa, kebudayaan nasional, waktu, ruang dan bisnis industri meningkat.

Adanya arus globalisasi yang sangat kencang tentunya membawa pengaruh baik terhadap individu maupun bangsa pada umumnya. Manfaat globalisasi antara lain adalah cepatnya informasi yang bisa diakses atau didapatkan secara mudah, cepat dan lengkap dari seluruh dunia sehingga pengetahuan dan wawasan manusia menjadi luas. Di satu sisi dengan adanya arus globalisasi kadang tidak disertai dengan filter penyaringan, semua informasi diterima apa adanya. Hal ini akan berakibat pada perubahan pola hidup, pola pikir, dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dan budaya suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia.

Baca Juga  Pergaulan, Asal Muasal Lahirnya Karakter

Gaya hidup individualisme, pragmatisme (yang menilai sesuatu dari untung ruginya bagi diri sendiri), materialisme (yang menganggap kenyamanan,kesenangan, dan kekayaan merupakan satu-satunya tujuan atau nilai) serta hedonisme (yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup) pada saat ini telah mulai berkembang dalam individu dan masyarakat.

Kondisi Bangsa Saat Ini

Di sisi lain masyarakat yang terbelah akibat politik praktis menyebabkan kondisi negara menjadi rentan dan dikhawatirkan akan menjadi bubar. Polarisasai masyarakat terjadi akibat Pilkada DKI 2017 lalu dan kemudian disusul dengan Pemilihan Presiden 2019, telah membuat masyarakat terbelah menjadi dua kubu dan sampai saat ini belum dapat disatukan lagi sepenuhnya meski pemilihan umum telah selesai. Apalagi dalam pemilihan umum bulan April tahun 2019 lalu yang ditandai dengan munculnya statemen pemilu curang dan jatuhnya banyak korban dari penyelenggara pemilu (KPPS) dan sampai sekarang belum ada penjelasan resmi dari pemerintah atas dasar apakah mereka meninggal secara beruntun dalam hitungan hari yang sama. Permasalahan belum selesai dan terjawab dengan baik muncul gerakan separatis dan anarkhis di sebagian wilayah Papua, khususnya di Wamena dan Jayapura. Perusakan dimuka umum yang diwarnai dengan berkibarnya bendera Bintang Kejora serta teriakan Merdeka dan lepas dari NKRI telah mengumandang dari mayoritas masyarakat peserta aksi. Masyarakat semakin dibuat bingung dan bertanya seolah-olah negara tidak hadir dalam kondisi seperti itu. Belum lagi berbagai kondisi memprihatinkan lainya kerap mewarnai kehidupan bangsa, terbelahnya sentimen etnis, agama dan suku bangsa telah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia akhir-akhir ini.

Baca Juga  THR, Mengapa Ditunggu?

Pancasila Sebagai Sarana Restorasi Jati Diri Bangsa

Membangun karakter bangsa pada hakekatnya dapat dilakukan melalui restorasi jati diri lewat Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Artinya, ada kesungguhan dari kita untuk melakukan evaluasi sejauh manakah karakter bangsa ini telah mengadaptasi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Menurut Didik Soekriono kajian bisa dilakukan lewat berbagai konsep dan salah satunya, adalah konsep pembentukan masyarakat yang “Berketuhanan Yang Maha Esa”, yang tercermin dalam nilai-nilai kemanusian dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut ditempatkan sebagai fondasi bagi berkembangnya jati diri bangsa yang hidup ditengah keragaman dan perbedaan. Suatu bangsa sadar atau tidak sadar selalu dihadapkan kepada suatu pertanyaan fundamental, yaitu bagaimanakah pandangan mengenai manusia dalam masyarakat. Lebih lanjut oleh Didik Soekriono dijelaskan kongkritnya pertanyaan itu adalah : (1) Siapakah manusia itu, (2) Apakah yang menjadi tugasnya sehubungan dengan kehadirannya dalam dan di tengah masyarakat, (3) Apakah manusia merupakan bagian dari masyarakat, (4) Ataukah manusia itu memiliki kemandirian penuh, diberikan kekuasaan untuk menggunakan masyarakat bagi kepentingannya, (5) Bagaimana seharusnya manusia memandang kepada dan bersikap terhadap sesamanya dan (6) Bagaimana manusia menempatkan dirinya berhadapan dengan alam.

Bagi bangsa Indonesia untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas semuanya terjawab lewat idiologi Pancasila.

Oleh: Dr. Imawan Sugiharto, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal 

Menyoal Perlindungan Hukum terhadap Pencipta Lagu yang Digunakan di Tiktok

Previous article

Loh, Kok Buka Bersama Dilarang?

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Gagasan