Indonesia adalah negara yang disatukan oleh kesamaan nasib. Dulu, saat belanda dan jepang menjajah negeri kita tercinta, seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai elemen, golongan, organisasi dan kelompok bersatu bersama-sama menghimpun kekuatan. Tujuan yang sama oleh setiap masyarakat yaitu melawan penjajahan dan menghendaki Indonesia merdeka.
Kemerdekaan Indonesia sudah hampir mau menginjak satu abad. Setiap masa memiliki kenangan tersendiri tentang perjuangan. Era orde lama ke orde baru kemudian era reformasi adalah perjalanan panjang bangsa Indonesia mencari jati dirinya. Jati diri sebagai negara yang cinta akan perdamaian sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Bicara soal perdamaian berarti bicara tentang sosial, politik dan agama. Mengapa demikian? Karena kata perdamaian tidak bisa dipisahkan dengan tiga term tersebut. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia sebagai mahkluk sosial yang membutuhkan orang lain. Setiap manusia memang memiliki kebebasan untuk berbuat dan berekspresi. Dengan catatan hal tersebut selagi tidak melanggar norma yang berlaku dan tidak mengganggu hak orang lain.
Manusia memiliki hak dan kewajiban. Kewajiban manusia sebagai mahkluk sosial adalah menciptakan suasana damai. Hak yang diterima setiap manusia adalah hak untuk dihargai dan dipandang sebagai manusia (memanusiakan manusia). Karena itu, manusia berhak menerima kedamaian hati, jiwa, raga dan sosialnya.
Persoalannya, setiap manusia dalam memandang sesuatu itu berbeda-beda. Karena mereka memiliki latar belakang yang berbeda dan lingkumgam serta pengetahuan yang berbeda pula. Contohnya saja mengenai khilafah. Pandangan mengenai khilafah kemudian menjadi topik yang terus menerus di bahas dalam setiap diskursus baik keagamaan maupun politik. Meski ada sebagian yang memandang khilafah adalah sebagai ancaman negara, namun ada juga orang yang berpendapat bahwa khilafah adalah solusi dari segala permasalahan negara.
Sekarang kita dibenturkan dengan perbedaan-perbedaan. Pada tahun politik kebetulan calonnya hanya dua. Itu menyebabkan perbedaan dalam memilih kepala negara yang ideal terjadi dikalangan masyarakat. Lalu ada dua ormas besar yang ada di Indonesia yang terbentur pula akibat perbedaan. Yakni NU dan Muhammadiyah. Sampai pada ranah terkecil dari satu golongan saja masih mempermasalahkan perbedaan.
Lalu bagaimana kita menyikapi semua perbedaan yang terjadi? perlu diketahui bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan. Bukan berarti perbedaan adalah awal untuk bermusuhan. Kaan tetapi perbedaan adalah jalan mencapai kesempurnaan. Suami istri adalah contoh terkecil dari suatu perbedaan. Dengan perbedaan jenis kelamin itu tidak lantas membuat mereka bertengkar. Tetap dalam koridor kecintaan yang luar biasa sehingga melahirkan anak yang openuh dengan rasa cinta.
Perbedaan haruslah dimaknai sewajarnya. Jadikan itu sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang sangat luas dan beragam. Dengan perbedaan itu, diharap manusia dapat belajar memandang manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki akal yang sama warasnya, memiliki jiwa yang sama besarnya.
Ada dua ormas besar yang ada di Indonesia yang terbentur pula akibat perbedaan. Yakni NU dan Muhammadiyah.
Kita seringkali terfokus pada perbedaan sehingga melupakan persamaan. Perbedaan tak dapat dikompromikan, namun persamaan bisa dijadikan spirit persatuan. Itulah yang menyebabkan Indonesia merdeka. Bukan karena kita tidak berbeda namun kita mengesampingkan perbedaan dan mengedepankan persamaan. Sama-sama bertujuan menciptakan perdamaian di bumi pertiwi.
Manusia adalah satu bangsa, bangsa manusia. Namun jenis mereka banyak. Ada jenis bangsa arab, bangsa barat, bangsa afrika dll. Begitupun dengan bahasa. Sebenarnya bahasa sebagai alat komunikasi manusia adalah satu namun jenis mereka yang banyak. Ada bahasa jawa, bahasa sunda, bahasa arab, bahasa melayu dll. Namun hakikatnya bahasa itu satu, yaitu bahasa rasa. Rasa kopi pahit meskipun berbeda dalam penyebutan bahasa tetap kopi itu pahit. Begitupun dengan manusia.
Jadikan perbedaan ini sebagai spirit untuk menciptakan perdamaian. Terkadang kita perlu banyak duduk berdiskusi dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita daripada terus menerus menyuarakan ujaran kebencian.
Mengutip perkataan Soekarno yang mungkin bisa kita jadikan sebagai solusi dari berbagai macam persoalan bangsa ini. Ia mengatakan, “Aku lebih senang pemuda yang merokok & minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yg hanya memikirkan diri sendiri.” Karena kecenderungan orang yang tidak terbuka akan berdampak pada fanatisme atas apa yang ia yakini. Tanpa ia meng-explore ilmu pengetahuan lebih luas lagi. Wallahu a’lamu bi al-Shawab