Monash Institute Semarang merencanakan sebuah kolokium serius bertema “Reintegrasi Saintek ke Dalam Islam”. Ide pelaksanaan kolokium ini dilatarbelakangi oleh kegagalan sebagian besar ilmuwan, bahkan ilmuwan Islam sendiri, bahwa Islam sangat mendorong pengembangan saintek. Namun, positifisme Barat telah memberikan pengaruh yang sangat dominan sehingga menyebabkan kekeliruan pandangan yang sangat fatal.
Di antara contoh yang paling nyata adalah munculnya gagasan integrasi antara sains dan Islam. Istilah integrasi menunjukkan bahwa paradigma yang terkonstruksi memang keterpisahan antara keduanya sebelumnya.
“Paradigma itulah yang ingin kami luruskan, dengan menunjukkan bukti-bukti ilmiah,” kata Pengasuh Pesantren Tahfidh al-Qur’an Darun Nashihah Monash Institute, Dr. Mohammad Nasih. Nasih, yang juga pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI itu, terutama kalangan akademisi menambahkan, apalagi perguruan tinggi Islam, harus memahami dengan baik tentang keluasan Islam sampai kepada aspek sains. Itulah yang menyebabkan lahir ilmuan-ilmuan besar dalam dunia Islam, di antara yang paling terkenal adalah Jabir bin Hayyan (722-804 M), al-Khawarizmi (780-850 M), al-Kindi (801-873 M), al-Razi (865-925 M), Ibnu al-Haitsam (965-1040 M), dan al-Biruni (973-1048 M).
Panitia berencana mengundang ilmuan-ilmuan yang memiliki pemahaman komprehensif tentang Islam dan memiliki kompetensi tinggi di bidang sains dan teknologi. “Dengan begitu, para pembicara benar-benar mampu mengkonseptualisasikan integralitas saintek dalam Islam. Jadi ini, memang proyek yang bukan hanya serius. Bahkan sangat serius. Karena itu, kami mengundang para ilmuan muslim dari berbagai disiplin ilmu untuk menyampaikan paper. Yang belum kami hubungi, bisa menghubungi kami,” pungkas Nasih di depan asrama Monash Institue.
Kolokium direncanakan diselenggarakan bersamaan dengan momentum tahun baru Hijriyah yang akan datang. Siapa berniat bergabung, bisa mengubungi Direktur Eksekutif Monash Institute Mokhamad Abdul Aziz, M.Sos di +62857-1100-4404.