Pesta demokrasi – yang sering diidentikkan dengan pemilu, baik ditingkat pusat maupun daerah – telah dilaksanakan pada 17 April 2019 lalu. Masyarakat pun juga sangat antusias menyambut pesta ini. Baik itu konvoi, tabligh akbar dan segala jenis arak-arakan lainnya untuk saling mendukung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden masing-masing. Hasil akhir dari prosesi pemilu, akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selambat-lambatnya pada 22 Mei. Puncak riuh rendah keributan, terjadi pasca pemungutan suara. Kedua paslon presiden dan wakil presiden serta para pendukung, melakukan aksi saling menyerang satu sama lain. Tak ketinggalan pula, masyarakat bagian akar rumput pun juga ikut-ikutan gaduh.
Mengingat bahwa prosesi pemilu merupakan peristiwa penting dalam politik, media pun tak mau ketinggalan untuk ikut terlibat. Disaat seperti ini, media seharusnya menggunakan kuasa dengan bijak. Mengingat fungsinya sendiri, yakni sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi. Media memiliki peran penting dalam prosesi pemilu. Istilah klasiknya, media harus menjadi watch dog supaya pemilu terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Hal yang perlu digaris bawahi pada pemilu kali ini, yakni persaingan politik yang begitu kuat. Bahkan semakin intens usai pemungutan suara. Bagaimana tidak? Kedua paslon presiden dan wakil presiden sama-sama mengklaim kemenangan. Kubu paslon presiden dan wakil presiden 01 merasa berhak menyatakan kemenangan. Sebab, berdasarkan hasil quick count lembaga-lembaga survey, perolehan suara mereka telah mengungguli pesaingnya. Suasana menjadi lebih rumit manakala paslon presiden dan wakil presiden 02 juga menyatakan kemenangan berdasarkan perhitungan suara mereka sendiri. Tak pelak, mulailah timbul saling bersitegang di antara masyarakat. Ditambah dengan pernyataan media – mengikuti langgam elit politik yang saling “berbalas pantun” – setiap saat, bahwa kedua kubu saling menyerang.
Terlepas dari pihak mana yang menang dalam adu klaim tersebut, kehadiran media bukan malah membantu untuk menetralisir ketegangan; malah justru membuat suasana semakin panas. Masyarakat bawah pun tampak larut dalam permusuhan sebagaimana tampak pada media sosial. Aksi saling serang juga ditampakkan lewat berbagai liputan berita, bak kuda-kuda yang saling berpacu untuk memenagkan perlombaan. Pemberitaan dalam media-media yang sudah ada, menunjukkan adanya indikasi sebagaimana yang dikemukakan dalam tulisan David S. Broder (1987), wartawan senior di Washington Post sebagai bentuk “Jurnalisme Pacuan Kuda”.
Fokus liputan media, hanya diarahkan pada persaingan antar kubu atau partai semata. Mengacu pada pemilu tahun ini, liputan diarahkan pada persaingan perolehan suara yang terefleksikan dalam hasil polling atau survey. Kepentingan pemilih pun kerap dilupakan. Seperti Kerbau dicocok hidungnya, media kali ini hanya sekedar mengikuti irama gendang yang ditabuh para kontestan pemilu. Harus diakui, pemilu kali ini telah meninggalkan catatan buram. Mereka yang tidak apatis terhadap prosesi pemilu, ikut larut dalam kebencian.
Ditambah lagi, pemilu kita ini miskin akan perdebatan yang substantif. Dari banyaknya isu, seperti kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, lemahnya posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pelanggaran Hak Asasi Manusia dan lain-lain, namun gagal dielaborasikan secara meyakinkan oleh kedua kandidat. Pada akhirnya, para pemilihlah yang menjadi korban atas perdebatan politik yang sarat akan kedangkalan.
Di tengah riuh rendah suasana perdebatan politik, persaingan kedua kubu beserta pendukungnya dan kegaduhan-kegaduhan lain yang tercipta, media harus menampakkan kuasanya yang berwibawa. Media dituntut untuk memainkan perannya. Media harus menyampaikan informasi kritis nan cerdas yang dibutuhkan publik. Bukan memuat liputan yang sarat akan kepentingan elit-elit politik. Keluar dari jebakan jurnalisme pacuan kuda, menjadi langkah awal supaya peran media tidak diakomodir kelompok tertentu. Media harus menunjukkan kuasanya sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi dengan turut andil dalam meredakan ketegangan. Wallahu a’lam bi al-Shawab
Amarta Risna Diah Faza, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Syari’ah UIN Walisongo Semarang & Instruktur Badan Pengelola Latihan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Semarang