Matinya Ulama di Tangan Umara

Ulama dan  Umara adalah istilah yang sering digunakan dalam arti pemimpin. Kata Ulama dalam bahasa arab, merupakan bentuk jamak dari  kata ‘alim yang artinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu dan pandai, dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggul, yang memiliki arti orang yang ahli dalam agama. Sedangkan kata Umara merupakan bentuk jamak dari ‘amir yang artinya pemimpin, penguasa.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Umara yang seharusnya terjadi adalah Ulama bertugas untuk mendampingi, menasihati, sertau memantau kinerja ppara umara selaku pemimpin Negara. Ulama dan umara sangat memberikan pengaruh besar terhadap keadaan sosial politik di masyarakat, baik dari segi politik, pendidikian, sosial maupun hal-hal yang menyangkut kemajuan Negara.

Yang mejadi sorotan terkini adalah, apakah ulama dan umara sudah berperan sebagaimana mestinya? Terkhusus di Indonesia, yang notabennya penduduk muslim lebih banyak,   Sebagaimana tugas ulama adalah memberikan pengawasan  lebih terhadap penguasa dan memebrikan kesejahteraan sosial agama, atau malah hanya mengejar gelar duniawi saja.

Islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin tidak hanya membahsa perihal ibadah mahdhoh dan muamala saja. Melainkan juga membahas tentang kepemimpinan, sosial politik, Negara, serta hubungan pemimpin dengan yang dipimpin. Kepemimpian merupakan suatau bentuk pengabdian dan pertanggung jawaban prinsip-prinsip keimanan. Oleh katena itu seorang pemimpin harus jujur, amanah, dan mampu memegang janji dengan baik.

Para ulama adalah wali dan kekasih Allah. Barang siapa mengikuti petunjuk  darinya maka ia termasuk orang yang beruntung. Namun banarang siapa yang ingkar atau memalngkan muka terhadap ulama maka ia termasuk orang yang sesat. Begitu kata Imam Al-Ghazali.

Ulama dan umara disini saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan masyarakat bernegara, jika seorang umara‟ sewenang-wenang atau melakukan kezaliman, baik disengaja dengan niat maupun tidak, maka kewajiban ulama adalah mengingatkan dan mengkritik mereka untuk menjaga generasi Islam dan memelihara urusan kaum muslimin.

Dalam realitanya di Negara Indonesia saat ini yang terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Jokowidodo adalah keikutsertaan ulama dalm mengikuti urusan pemerintahan dan perpolitikan sangat menuai pro dan kontra di masyarakat. Sebab, masyarakat hanya mengetahi bahwa ulama itu hanya sebatas pemuka agama yang mengurusi keagaam saja.

Realitasnya saat ini ulama dapat menjabat sebagai apapun selagi mereka memiliki persyaratan politik yang cukup seperti halnya, dukungan politik, partai politik, dan tujuan politik yang pada puncaknya nanti untuk menduduki kursi kepemimpinan dan memegang kekusaan yang dicapai.

Pada dasarnya tidak ada yang melarang seorang umat muslim berpolitik. Akan tetapi apabila seorang ulama menerapkan fungsi dari politik tersebut merupakan  bentuk salah kaprah yang bisa saja  membuat sengsara masyarakat. Sebab, hal tersebut sudah tidak sejalan dengan semestinya.  yang seharusnya ulama  dapat mengontrol dan mengawasi para penguasa(Umara)  dalam mengeluarkan kebijakan. Justru  ulama seiring berjalannya waktu ikutserta dalam kekuasaan dipemerintahan negara, membuatnya lupa bahwa sejatinya mereka ialah seorang ulama yang seharusnya memberi nasihat kepada pemimpinmelalui aspek-aspek keagamaan.

Ulama memang tidak dapat dipisahkan dari agama dan umat. Itulah sebabnya ulama sering menampilkan diri sebagai figure yang menentukan dalam pergumulan umat Islam dipanggung sejarah, hubungan dengan masalah pemerintahan, politik, sosial cultural, dan pendidikan. Pembentukan masyarakat muslim dan kelestariannya tidak dapat dipisahkan dari peran ulama. Sebaliknya masyarakat muslim memiliki andil bagi terbentuknya ulama secara kesinambungan.

Rasulullah SAW pernah bersabda “Seburuk-buruk Ulama adalah Ia yang mengunjungi Pemimpin, sedangkan sebaik-baik para pemimpin adalah mereka yang mengunjngi Ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di depan pintu orang kafir, dan seburuk-buruk orang fakir adalah ia yang berdiri di depan pintu pemimpin.”Banyak sekali orang yangmemaknai hadis tersebut secara tekstual, menurut Jalaludin Rumi dalam buku karagannya yang berjudul Fihi Ma Fihi bahwa seeorang ulama tidak seharusnya mengunjungi pemimpin agar tidak menjadi seburuk-buruk ulama.

Padahal makna yang sebenarnya bukanlah seperti itu, melainkan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang menggantungkan diri kepada para pemimpin, semua yang dilakukan hanya untuk mendapatkan simpati dari para pemimpin.

Dari penejasan tersebut, sangat bisa dikatakan bahwa sesungguhnya seorang ulama merupakan pemimpin ummat, tanpa harus terjun menguasi panggung penguasa. Dan yang menjadi titik tekan disini adalah jangan sampai karena pengaruhnya terhadap ummat, Ulama hanya bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mendulang suara saja dalam pemilu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *