Bayang-bayang itu kian jelas terlintas dalam pikiranku. Samar-samar bagai terdengar suara lembut penuh kasih dalam telingaku. Memori kembali membuka kenangan-kenangan saat aku masih berada dekat dalam dekap. Aku teringat, moment di mana aku berada dalam titik pengharapan yang begitu mendalam. Imajiansi yang menghidupkan semua fantasi, begitu mudah dan indah.
Pengharapan itu bagaikan mengikat komitmen dalam diri, aku ingin berada di sana dan harus bisa menggapainya. Dalam masa-masa peralihan, harapan itu semakin tumbuh liar. Usaha telah aku jalani, kini hanya doa yang terus mengiringi. Pada masa penantian itu, kesempatan datang menghampiri. Semoga saja perjalanan ini menjadi pembuka jalan-jalan lain agar aku bisa menghidupkan fantasi menjadi nyata.
Kau memang begitu hebat. Satu persatu imajinasiku bisa kau hidupkan menjadi kenyataan, bukan hanya menjadi fantasi belaka. Malam itu aku pergi bersamamu, sosok bidadari yang begitu ku sayangi. Menuju tempat yang sudah lama ingin aku kunjungi. Tempat yang menjadi salah satu pilihan rantau saat aku harus jauh dari dekapmu.
Malam telah berlalu. Pagi telah datang dengan mentari yang tersenyum begitu bahagia. Tapi aku lebih terlihat bahagia darimu, wahai mentari. Aku telah sampai pada tujuanku. Selamat pagi Semarang, aku telah datang disanding oleh orang tersayang. Sambut kami dengan menyenangkan ya. Esok aku akan tinggal lebih lama.
Kedatanganku kali ini tidaklah lama, hanya satu hari. Satu hari yang terasa begitu singkat, aku menghabiskan waktu 24 jam berdua bersama bidadariku. Berkunjung ke berbagai tempat yang sudah direncanakan. Ini adalah perjalanan pertamaku di ibu kota provinsi Jawa Tengah. Dengan lamat-lamat kuperhatikan tiap sudut kota ini. Jadi seperti ini suasana tempat yang kudambakan untuk melanjutkan studi.
—
Allah begitu baik. Doa yang ku panjatkan selama ini kembali menjadi nyata. hari itu, kembali ku injakkan kaki di Semarang. Kisah baru akan segera dimulai. Kini aku telah meninggalkan kota kelahiran dan orang tersayang. Aku akan tinggal setidaknya empat tahun di kota perantauan demi masa depan yang diinginkan.
Perjalanan terus berlalu hingga aku menemukan banyak sosok hebat yang begitu baik. Aku berada di lingkungan yang begitu nyaman, meskipun banyak aturan. Aturan yang mengikat diri agar bisa menjadi mandiri dan bersinergi.
Sudah cukup lama aku berada di sini. Bicara soal rindu, aku sudah menumpuknya sedari dulu. Namun, belum ada kesempatan untukku kembali dan memecahkan rindu ini. Tak mengapa, aku masih menahan segala sesak ini. Aku akan terus menunggu hingga datang pertemuan.
Tanpa direncanakan, apa yang selama ini ku nantikan kini datang. Pagi ini kesempatan berpihak padaku untuk menjemput hangatnya pelukan yang begitu ku rindu. Perjalanan menuju peraduan begitu menyenangkan. Sudah tak sabar rasanya segera berjumpa dengan kesayangan. Sebelum kepergian ini, aku terikat janji untuk kembali esok saat senja.
—
Senja nampak tak indah jika hati sedang resah. Sore ini hujan. Seolah berbisik, “segeralah sampai, kehangatan menyambutmu di rumah”. Di balik jendela kendaraan, hanya kabut tebal disertai guyuran hujan yang menemani dinginnya perjalanan. Sore ini senja tak datang. Apakah dia tak mau menyambut kepulanganku? Ataukah dia tak mau melengkapi kebahagiaanku kali ini?
Ayunanan kaki berlari-lari kecil menghindari genangan air di sepanjang jalan. Tangan mendekap tali tas punggung yang kini mulai basah karena guyuran hujan. Wajah menatap ke bawah menghindari setiap rintik hujan, mata yang jeli mencari pijakan. Sampailah aku ke rumah yang selalu ku rindukan. Hawa dingin di luar sudah tak lagi aku rasakan. Sambutan penghuni rumah membawa kehangatan.
Pertemuanku tak lama. Sebab, aku sudah berjanji untuk kembali sebelum senja tiba. Banyak hal yang tak bisa aku lakukan, kedatanganku di rumah hanya sebatas bertamu dan bertemu saja.
Dekapan hangat penuh kasih sayang yang selama ini ku rindukan kini nyata aku rasakan. Hujan di luar tak aku hiraukan. Kehangatan penuh kelembutan tengah menemaniku di sepanjang malam ini. Ketenangan penuh kenyamanan membuat tidurku semakin larut. Malam ini aku tidur ditemani sesosok bidadari yang selama ini menemaniku mewujudkan fantasi menjadi nyata.
Hingga fajar pun menyingsing, aroma tanah basah sisa hujan semalam masih terasa segar dirasa. Udara dingin membalut jasad memaksaku membuka mata. Aku tersadar saat ibu memegang tanganku dan menggenggamnya sambil berkata, “ Bangun, Nduk. Segera ambil wudhu dan solat subuh,” Ucapnya.
—
Waktu begitu cepat berlalu, aku harus segera kembali sebelum senja pergi. Kini aku kembali meninggalkan suasana haru. Maaf, Ibu. Bukan aku tak mau berlama-lama di rumah, tapi aku sudah berkomitmen pada diriku sendiri. Aku harus menjadi perempuan tangguh nan mandiri. Sedikit berlenggang dan banyak meningkatkan kualitas diri. Semoga engkau memahami suatu saat nanti.
Namun, semesta berkata lain. Pada akhirnya, aku tak dapat datang tepat waktu. Senja telah pergi meninggalkanku sendiri dalam sunyi. Hanya gelap malam yang menyambut kedatanganku, bukan jingga senja yang yang indah. Maafkan aku yang tak bisa menjaga komitmen itu. Maafkan aku telah membuatmu menunggu. Maafkan aku yang telah menyia-nyiakan kesempatan.
Bukan soal aku yang lelah diburu waktu demi menjaga komitmen itu. Ini lebih pada soal hilangnya kepercayaan atas diri tersebab tak bisa menjaga komitmen. Maafkanlah aku, ini semua diluar kendaliku. Akan ku jadikan ini sebagai pelajaran agar tak ada pihak yang dikecewakan lagi.