Hujan deras mengguyur Dukupuntang. Ni’am masih rukuk dan sujud di kamarnya. Dalam sujudnya, ia menangis mendoakan ibunya. Usai witir ia turun dari kamar. Rumah Ibunya itu adalah rumah panggung berlantai papan. Beberapa tahun yang lalu, ruang utama rumah itu adalah lantai atas, sedangkan lantai bawah adalah gudang dan tempat menyimpan kopi yang dipanen. Tetapi sejak Bapak Munir susah berjalan dan naik-turun tangga, kamar dan ruang utama kegiatan Ibu dan Bapaknya dipindah ke lantai bawah.
Tangga ke atas yang tadinya ada di samping rumah pun dipindahkan ke dalam, begitu pula ruang tamu. Ruang atas hanyalah kamar Ni’am dan kamar-kamar yang kosong.
Ni’am memasuki kamar Ibunya. Bapak sudah ia tuntun untuk istirahat dan tidur di kamar sebelah. Sementara dirinya akan menemani Ibunya yang tidak bisa melakukan apa-apa. Kembali air mata Ni’am meleleh melihat kondisi Ibunya. Sudah dua bulan lebih Ibunya koma. Laily menjelaskan, awalnya Ibu jatuh di tangga masjid saat mau pulang dari salat Shubuh. Saat itu Ibu pingsan, sempat sadar sebentar lalu pingsan lagi. Karena tidak bangun-bangun, Ibu dibawa ke rumah sakit daerah dan langsung masuk ICU.
Selama satu bulan Ibu dirawat di ICU tapi tidak ada perkembangan. Pihak rumah sakit sudah angkat tangan. Kalau pengobatan mau dilanjutkan, akan dirujuk ke Kota Cirebon yang lebih baik fasilitas dan segalanya. Dengan sedih dokter menjelaskan, bahwa harapan untuk sembuh secara medis sangatlah tipis. Akhirnya Ibu dibawa pulang sebab biaya pengobatan di rumah sakit tidak murah, dan ikhtiar bisa tetap dilakukan di rumah.
Tanah dan rumah milik Bapak bahkan sudah digadaikan untuk membayar pengobatan Ibu. Ni’am melihat air yang menetes pelan dari kantong Infus ke selang. Dari air infus itulah Ibunya bertahan. Jika infusnya mau habis, Laily menggantinya dengan kantung infus baru. la diajari Oleh suster di rumah sakit caranya memasang, mengganti, dan menangani infus. Bapak cerita kalau sebenarnya masih ada uang satu juta lebih sedikit dari menggadaikan tanah.
Uang itu merupakan persediaan untuk membeli infus dan berjaga kalau ada apa-apa. Karena itulah, Laily kini berjualan agar dapat uang untuk makan sehari-hari. Hanya Laily yang masih bisa aktif mencari rezeki untuk makan.
“Beruntung Laily tidak seperti anak-anak lain seusianya yang malah menyusahkan orang tua. Laily justru hidup susah karena kami, orang tua yang tidak berdaya. Ya Allah, semoga anak itu diberi barokah oleh Allah” ucap Bapak kepadanya sebelum tidur.
Air mata Ni’am kembali meleleh. Hatinya dipenuhi rasa haru teringat perjuangan Laily. Adik sepupunya itu sampai harus berjualan gorengan setiap kali ada kesempatan. Dan ia melihat sendiri perjuangan adiknya malam-malam, dan nyaris menjadi korban penjahat. la menyayangkan, kenapa Laily tidak memberitahu dirinya sejak hari pertama Ibu masuk rumah sakit? Jika ia diberi tahu, maka dialah yang akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengais rezeki untuk keluarga.
Laily berulang kali menjelaskan, bahwa sebenarnya sudah lama ia ingin meminta kakaknya itu pulang, tidak hanya ketika Ibu sakit. Sejak Bapak susah jalan pun ia sudah berpikir bahwa sebaiknya kakaknya itu pulang. Tetapi pesan Ibu untuk tidak mengganggu kakaknya di pesantren selalu menjadi pegangan. Ni’am mendesah, pasti semua ada hikmahnya.
Pemuda itu melihat jam dinding yang tergantung di dekat Pintu kamar. Sudah jam setengah empat. la sesungguhnya sangat letih. Perjalanan naik sepeda motor dari Kota Cirebon sampai ke Dukupuntang yang berada tepat di sebelah tenggara Gunung Kuda itu sangat melelahkan.
Namun, melihat sendiri apa yang dialami Laily dan menyaksikan Ibunya yang tidak berdaya, membuat rasa letih dan capeknya itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Karena tidak bisa memejamkan mata, maka ia memilih untuk menunggui ibunya. Sesekali ia memijit kaki atau tangan kanan ibunya yang tidak dipasang infus. Sesekali ia bercerita, mengajak ibunya berbicara.
Sementara itu, Laily juga tidak bisa tidur di kamarnya.
Tak sedikit pun bisa ia mengenyahkan bayangan mencekam yang ia alami di tengah gelapnya kebun kopi. Nyaris saja dua iblis jahat yang tidak bernurani memerkosa dirinya. la tidak bisa membayangkan kalau itu benar-benar terjadi. Sungguh beruntung, pertolongan Allah melalui kakaknya datang di saat yang tepat. Sesaat berikutnya setelah kejadian itu merupakan kondisi yang sangat nyaman dan melegakan, yaitu saat dibonceng kakaknya pulang.
Hujan masih turun. Suara guntur sesekali terdengar. Laily keluar dari kamarnya, hendak mengecek kondisi Ibu. Rumah Ibu dan rumah Bapak bersebelahan. Lorong yang memisahkan dua rumah itu sudah diberi atap dan dinding, jadi dua rumah itu seperti menyatu. Laily melewati dapur, lorong yang sudah diberi atap, lalu masuk ke dapur rumah Bapak. Kamar Ibu masih terang.
Pintunya pun terbuka. Dari kegelapan dapur, Laily bisa melihat Ni’am sedang memijit kaki Ibu. Lelaki itu tampak seperti sedang bercerita pada ibunya.
“Alhamdulillah Bu, selama di pesantren, Niam sudah khatam beberapa kitab. Utamanya adalah kitab yang menjadi bahan pengajian Kyai Fathan. Benar kata Ibu dulu, beliau adalah seorang kyai yang sangat ikhlas. Terakhir, sebelum pulang, Ni’am mengkhatamkan kitab Tafsir Jalalain. Itu kitab tentang tafsir. Alhamdulillah, Ni’am dapat sanadnya kitab itu, Bu, dari Kyai Fathan sampai ke penulisnya. Ni’am juga sudah khatam kitab Fathul Mu’in. Alhamdulillah. Oh ya Bu, Ni’am juga dikuliahkan oleh Kyai Fathan, dan saat ini sedang menulis skripsi. Ni’am juga sudah KKN. Jika skripsi rampung, maka Ni’am akan diwisuda jadi sarjana agama, Bu. Ni’am kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Jurusan Ilmu Al-Quran dan Hadits. Sebenarnya, Ni’am ingin jurusan Syariah, tapi saat itu kampus yang menyediakan beasiswa adalah kampus swasta urnum. Ketika Kyai Fathan menawarkan Pada beberapa santri senior dan khadim, semuanya pada menolak, kecuali Ni’am. Mohon doanya, Bu. Agar ilmunya nanti bermanfaat”
Laily kembali ke dapurnya. Gadis itu memasak air panas dan menggoreng pisang. la lalu menyeduh kopi. Setelah itu ia meletakkan sepiring pisang goreng panas dan secangkir kopi di atas nampan, lalu membawanya ke kamar Ibu.
Ni’am agak kaget melihat Laily datang.
“Kakak tidak tidur, ya?”
“Nunggu shubuh sekalian.”
“lni untuk hangat-hangat badan, Kak. Pisangnya masih panas”
“Terima kasih.”
Laily lalu mengambil kursi dan duduk di dekat kepala Ibu. Ni’am masih memijit kaki Ibunya. Laily memijit bagian tangan.
“Dicicipi pisang gorengnya, Kak, nanti keburu dingin’.”
“lya.”
Ni’am mencomot satu dan melahapnya pelan.
“Enak.”
“Alhamdulillah.”
“Kamu tidak tidur?”
“Biasanya jam segini memang Laily sudah bangun. Bahkan bisa lebih awal.”
“Menyiapkan dagangan?”
“Iya. Laily buat pisang goreng, bakwan, dan tempe mendoan. Habis salat Shubuh Laily jual di pasar pagi.”
“Jalan kaki?”
“Tidak. Biasanya diantar Fina.”
“Santri putrinya Pak Ahmad ?”
“Iya.”
“Karena Kakak sudah pulang, nanti biar kakak yang antar jika kau perlu diantar. Tapi kakak berharap kamu tidak usah repot-repot jualan, biar Kakak nanti yang repot.”
“Kita repot bersama-sama, saling membantu. Laily berharap kedatangan Kakak ini menjadi wasilah kesembuhan Ibu. Entah bagaimana caranya.”
“Semoga Allah memberikan kesembuhan.”
“Aamiin”
“Selamat Hari Kartini, Bu.