Islam adalah wahyu Ilahi, bukan hasil pemikiran manusia. Islam mengatur kehidupan dunia dan akhirat. Islam adalah universal, ajaran-ajarannya berlaku kapan saja, dimana saja dan bagi rakyat/bangsa mana saja. Dengan demikian, maka Islam bukan ideologi tetapi lebih tinggi dari ideologi.
- SYARI’AH DAN FIQH
Bagaimana kedudukan Fiqh terhadap Syari’ah, hal ini disinggung oleh Sayid Qutb di dalam bukunya “ Masyarkat Islam” terjemahan H.A. Mu’thi Nurdin, SH, terbitan Yayasan At-Taufiq, PT. AL-Maarif Bandung, Cetakan Kedua, 1978, Sayib Qutb diantaranya, menerangkan Syariah adalah ciptaan Allah bersumber Al-Qur’an dan Sunnah sedangkan Figh adalah ciptaan mansia yang terbuat dari upaya memahami, manafsirkan dan menerangkan Syari’ah di dalam suasana tertentu “….hasil-hasil yang disimpulkan (oleh Figh) tidak akan naik martabanya menjadi “bagian yang suci” dalam Syari’ah (hal:38). Mengenai figh ibadah dan figh muamalat, Qutb berkata bahwa fiqh ibadah adalah tetap dan stabil karena menyangkut peribadan yang tidak akan terpengaruhi oleh perubahan zaman. Sedang fiqh muamalah banyak berubah dan berkembang, karena lebih banyak terpengaruhi oleh perubahan keperluan manusia (hal:39). Kemudian menurut Qutb (1978:44) kebijaksanaan pemerintah sudah mengalami penyimpangan dari prinsip Islam sejak berakhirnya zaman Khulafar Rosyidin dan adanya kericuhan kekuasaan di jaman Mu’awiyah. Akibatnya ialah membesarnya fiqh ibadah dan menciutnya fiqh muamalah. Mengapa ulama-ulama pada masa raja-raja muslim dulu tidak menulis tentang soal-soal politik (yang termasuk muamalah), menurut Prof. Dr. A. Shalaby dalam bukunya Negara dan Pemerintahan dalam Islam yang diterjemahkan oleh Muchtar Jahya (1957:17) ialah karena “Membahas tentang pemerintahan Islam sebetulnya berarti membatasi kekuasaan khlifah-khalifah itu, dan memperkecil pengaruh mereka, serta menggariskan syarat-syarat yang tentu saja menjadikan kebanyakan diantarah khalifah-khalifah itu akan kehilangan kekuasaannya dan tidak dapat mewariskan kerajaannya itu kepada puteranya. Karena kuatirnya para ulama akan pembalasan yang kejam dari raja-raja itu diabaikanlah oleh mereka membahas dan mengatur muamalah yang amat penting ini. Islam mengandung seperangkat ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang jika disusun didalam suatu sistim serta diproyeksikan kedalam suatu Negara akan merupakan ideologi bagi Negara itu. Ideologi demikian disebut ideologi yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam, atau yang bersumberkan Islam atau yang diwarnai oleh Islam.
- KEHARUSAN UMAT ISLAM BERIDEOLOGI
- Dalam Al-Qur’an
- Surat Al An’aamm ayat 165 (S.6:165) yang artinya Dan Dialah yang menjadikan kamu manusia penguasa di bumi.
- Surat An-Nur ayat 55 (S.24:55) yang artinya Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh diantara kamu, mereka akan menjadi penguasa di bumi sebagaimana orang- orang sebelum mereka.
- Surat Al Maaidah (S.5) ayat 44, 45, 47 yang artinya, barang siapa tidak terhukum mengatur dunia dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, mereka adalah kafir/dholim/fasiq.
- Hadist Nabi
Kutinggalkan kepadamu dua perkara yang jika kalian berpegang kepada keduanya tidak akan menyesal selama-lamanya (Kitab Allah dan Sunnah Rasul).
Keharusan berideologi adalah konsekuensi dari pengangkatan manusia menjadi khalifah di muka bumi, karena ideologi berfungsi untuk mengatur bumi/dunia yang terdiri dari Negara-negara dan masyarakat- masyarakat. Dan kedudukan khalifah itu dijanjikan oleh Allah kepada manusia yang beriman dan beramal soleh, jadi kepada kaum muslimin. Dan ideologi itu mestilah bersumber kepada Al-Qur’an dan
Hadist.
- . USAHA MEMAHAMI ASPEK IDEOLOGI DARI ISLAM
- Menurut yang lazim diajarkan, Islam adalah terdiri dari Aqidah, Syari’ah dan Ahklaq. Sedangkan Syari’at terbagi atas Ibadah dan Muamalah. Muamalah sebenarnya masih dapat dibagi atas muamalah
dalam hati sempit yaitu yang terbatas kepada hubungan antara orang perseorangan dan muamalah yang menyangkut pengaturan kehidupan kenegaraan/kemasyarakatan atau ideologi. Dengan demikian isi dari Islam dapat dibagi atas:
- Aqidah
- Ibadah
- Akhlak
- Muamalah
- Ideologi
- Islam mempunyai satu kaidah yaitu : “…yang mengenai soal ibadah, yakni mengenai hubungan manusia dengan Tuhan semua terlarang, kecuali yang diperintahkan dan mengenai hidup keduniaan : semua boleh, kecuali yang terlarang. Menurut istilah Yurisprudensi Islam, kaidah ini dinamakan Al baraatul ashliyah. (dikutip dari Pidato Muhammad Natsir di Sidang Konstituante dimuat dalam buku “Tentang Dasar Negara RI dalam konstituante “Jilid I halaman 130).
Keperluan usaha memahami aspek ideologi dari Islam, yang harus diketahui ialah mana-mana yang terlarang, karena tidak terlarang adalah boleh. Hanya saja menemukan “mana-mana yang terlarang” itu tidaklah mudah, karena Al-Qur’an mengandung ketentuan (Nash) yang baru dapat dipahami setelah diberikan interpretasi ataupun setelah dikaitkan dengan Nash lain.
- Jadi dalam rangka usaha menemukan aspek ideologi dari Islam, perlu lebih dahulu diusahakan untuk menemukan methodology memahami isi Al-Qur’an sebagai berikut:
Ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari
- .Ayat Muhkam
- Ayat mutasyabih yang tidak dapat ditakwilkan (diinterpretir)
- .Ayat mutasyabin yang dapat ditakwilkan (Ali Imran, ayat 7, Terjemahan Departemen Agama RI).
Menurut Sayib Qutb (1978:41) perincian dan penerapan syari’ah yang dibutuhkan masyarakat untuk menampung keperluan-keperluan yang temporer dan selalu berubah itu tidak keluar dari empat kemungkinan:
1) Syari’ah telah menetapkanya dengan nash (teks) yang tegas (uitdrukkelijk) suatu hukum tertentu. Dalam hal ini, hukum itu mesti diterapkan menurut hurufnya betul, tanpa perubahan atau penyimpangan sedikitpun (Qutb, 1978:41).
2) Syari’at tampil dalam bentuk satu nash atau lebih yang menurut materi dan susunan katanya dapat ditakwilkan. Dalam hal ini kesempatakan untuk ijtihad terbuka luas untuk tarjih (menguatkan) atau taufiq (mencocokkan) berbagai nash yang berbeda-beda. Kalau nashnya hanya satu, maka penerapannya dapat disesuaikan dengan keadaan, seraya mengambil petunjuk praktek penerapan yang dilakukan pada permulaan Islam, jika ada, dengan memanfaatkan buah pikiran ahli hukum dalam perkara-perkara itu. Namun demikian, kita tidak perlu mengikuti praktek dan pendapat mereka itu secara dogmatis. Sebab pendapat mereka pada hakekatnya hanyalah berupa tanggapan yang sepadan dengan tuntutan dan keperluan dimasa mereka. (Ibid hal : 42).
3) Adakalanya Syari’ah membawakan suatu prinsip umum yang menyinggung suatu masalah yang terkandung dalam prinsip umum itu. Hukumnya tidak disebutkan dalam bentuk nash yang tegas. Jika demikian duduknya, maka hukumnya termasuk kedalam ijtihadiyah, yakni menggunakan rasio ketiak menerapkan prinsip umum tadi menghadapi masalah yang konkrit (Ibid hal : 43).
4) Bisa juga kita temukan masalah yang tidak disinggung oleh Syari’ah. Dalam hal ini keputusan hukumnya semata-mata bergantung kepada hasil ijtihad dengan syarat tidak bertabrakan dengan salah satu prinsip agama Islam atau salah satu hukum pokok dari Syari’ah (Ibid hal : 43).
- a) Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung nash (ketentuan=regel) pada umumnya tetap berlaku sepanjang masa, tetapi ada nash yang sudah merupakan fakta sejarah yang tidak muncul lagi (misalnya tentang budak dan tentang cara memperoleh harta rampasan perang, yang terakhir tercantum di dalam Al Khasr ayat 7).
- b) Nash dapat diangkat dari ayatnya tanpa terikat kepada sebab turunya ayat itu, tetapi (tentunya) tanpa meninggalkan jiwa dari nash itu.
- c) Ada nash yang maknanya dapat dipahami secara tepat hanya jika dihubungkan dengan nash dalam ayat lain.
- d) Mengaitkan/melengkapi nash-nash Al-Qur’an dengan hadist-hadist yang relevan.
- e) Melakukan ijtihad dengan mempergunakan kaidah-kaidah usul fiqh dan rasio asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Di dalam bagian depan (Islam dan Ideologi) disinggung bahwa Islam mengandung ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang jika disusun dalam satu sistim dapat merupakan suatu ideologi. Ajaran atau nilai itu disebut oleh Sayid Qutb prinsip global, kaidah umum atau pokok dasar; oleh Shalaby disebut patokan umum; oleh Rosyidi disebut prinsip umum oleh Abdurrahman Azzam disebut “general prociple” yang semuanya ini mempunyai arti sama. Sayid Qutb, (Ibid hal : 37) : “DIa (syariat) tampil dalam bentuk prinsip-prinsip yang global adalah kaidah-kaidah umum sehingga dibawah naungannya dapat memancar puluhan bentuk masyarakat yang hidup dan aktif bergerak dalam lingkungannya yang luas, tetapi tetap berpegang kepada pokok dasarnya. Shalaby, adapun urusan duniawi, Tuhan telah menggariskan pokok-pokok yang penting. Manusia berkewajiban memperluas memperkembangkannya, agar sesuai dengan kehidupan meraka dalam segenap tempat dan masa, dalam batas-batas patokan umum yang telah dipancarkan oleh Tuhan, sesuai dengan sabda Rasul; Anma alam bisyam nadh lilam. (Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, hal :18). Prof. Dr.H.M. Rasyidi, “Oleh karena yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist kebanyakan mengenai ibadah pribadi, sedangkan yang mengenai kemasyarakatan dan ketatanegaraan pada umumnya hanya terdapat garis-garis besar serta prinsip-prinsip umum”. Abdurrahman Azzam, “Upon perusal of the holy bock and Islamic traditions (Sunnah) and upon examination of Islamic history during the era of the orthodox calipsh, we find that Islam is definite and conclusive on ail genenal principles suitbles for all times places and people. When these principles are implemented, therefore, one can witness the flexibility of the Shariah and its dispotition to independent reasoning”. (The Eternal Messange of Muhammad, hal 105), artinya Setelah merujuk pada kitab suci dan tradisi kitab suci dan tradisi Islam (Sunnah) dan setelah dilakukan pengkajian terhadap sejarah-sejarah Islam selama zaman kalifah ortodok, seluruhnya selalu cocok untuk semua tempat dan manusia. Apabila prinsip-prinsip ini dilaksanakan, orang akan mampu menyaksikan kefleksibelan ajaran tersebut (syariah) dan pengaturannya dengan penalaran yang netral (independent) (Pesan Nabi Muhammad yang abadi).
Bandingkan pendapat para penulis diatas dengan pendapat Nurcholis Madjid, “Kecuali nilai-nilai dasar yaitu rasa taqwa yang terbit dari iman kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, (di dalam Islam) tidak ada nilai-nilai yang tetap”. (Pembaharuan Pemikiran Islam, Penerbit Islamic Research Centre, Jakarta, Hal.10). Bandingkan pula dengan pendapat Abdurrahman Wahid tentang adanya sekelompok Muslim “yang mengidealisir Islam sebagai alternative satu-satunya terhadap segala macam isme dari ideologi “(Tempo, 20 Juni 1981). Jadi Menurut Abdurrahman Wahid, Islam itu pada hakekatnya tidak mengandung ajaran ideologi dan pendapat bahwa Islam adalah mengandung ideologi hanyalah di
idealisir saja, jadi hanya di angan-angan saja. Menurut Abdurrahman Wahid, “Isalam difungsikan terutama dalam pergaulan sosio-kultural”. Karakteristik suatu ideologi yang membedakannya dengan ideologi lain ialah terutama terletak pada
system politik dan sistim ekonomi, sedangkan segi-segi lainnya (budaya, pendidikan, militer dll) adalah refleksi atau penunjang dari kedua system itu.
Karena itu di dalam buku ini hanya akan dikemukakan beberapa prinsip umum dalam Al-Qur’an dan Hadist mengenai sistim politik dan sistim ekonomi saja.
Oleh : Saiful Mujab / HMI Cabang Pekalongan
______________________________
Rujukan : Buku Dahlan Menuju Paripurna
Ditujukan : Kepada Kanda yunda seperjuangan di Himpunan Mahasiswa Islam