Dari raut wajahnya, Gus Yan terlihat agak jengkel kepada Aceng. Pembicaraan itu ternyata memberikan efek luar biasa kepada Gus Yan. Uniknya, Aceng yang sedari tadi duduk di atas batu-bata tak sedikitpun memperlihatkan mimik muka berdosa. Padahal Gus Yan sudah berbicara agak keras sampai halisnya harus turun ke bawah.
Pagi itu suasana menyejukan di Pondok Pesantren al-Habib. Terlihat seorang menggunakan kaos putih dan sarung hijau keluar dari rumahnya. Ia keluar dengan membawa kandang burung yang berisi burung Kenari. Biasanya, setiap pagi ia selalu memandikan burung tersebut kemudian menaruhnya di bawah terik sinar matahari pagi. Sebut saja dia Gus Yan. Seperti julukannya, pria yang memiliki nama lengkap Sufyan At-Sauri Saahus Tirom adalah anak seorang Kyai bernama Kyai Aji Nomotho. Gus Yan Berperawakan kecil dan memiliki rambut yang panjangnya se-bahu.
Seperti biasa, di pagi hari Gus Yan selalu memandikan burung kesayangannya. Sambil sesekali bersiul, Gus Yan menyemprotkan air ke tubuh Burung kenari itu. Siulannya disambut baik oleh burung itu dengan membalas siulan Gus Yan.
Karena terlalu asik bermain dengan burung, sampai terkadang lupa dengan kewajiban di rumah. Walau demikian, istri Gus Yan yang sudah tahu kesukaan suaminya itu tidak pernah durhaka dengan menegurnya apalagi sampai berkata, “Burung mulu diurusin, cari duit sana!”. Ucapan itu tidak pernah terlontar dari mulut istri Gus Yan karena soal rezeki Gus Yan yakin bahwa Allah sendiri yang mengaturnya. Bahkan rezeki datang tiap hari yakni dari masyarakat atau santri yang datang ke rumah sekedar memberi sedikit rezeki dari hasil jerih payah mereka. “Alhamdulillah, ini namanya rezeki yang tidak disangka-sangka Bu,” ucap Gus Yan pada isterinya yang disambut dengan senyum.
Gus Yan sangat akrab dengan santri dan teman-teman sepondoknya. Orang yang paling akrab dengan Gus Yan adalah Aceng. Biasanya Aceng mampir ke rumah Gus Yan setiap hendak pergi mengajar ke Universitas Bina Insani yakni setiap hari selasa dan kamis. “Mana nih si Aceng kok belum juga datang,” kata Gus Yan menanti kedatangan Aceng. Aceng selalu menjadi teman diskusi Gus Yan. Tak terkecuali hari ini, Gus Yan menanti Aceng untuk mendiskusikan sesuatu.
“Assalamu’alaikum, Gus!!!” sapaan aceng mengejutkan Gus Yan yang sedari tadi sibuk ngurusi burungnya. “Waalaikumsalam. Ni anak kerjaannye ngagetin mulu dah. Kalau jantung gua copot gimane,” ucap Gus Yan agak sewot, “Ya kalau copot di masak aja, enak” jawab Aceng dengan candaan khasnya. “emangnye jantung pisang” Gus Yan membalas.
Aceng mulai ikut jongkok di dekat kandang burung. Ia mengambil beberapa buah batu bata yang ditumpuk untuk menjadi alas duduknya. “Ada perintah apa nih, Gus?” kata Aceng mencoba memulai obrolan.” Gini ceng, gua gak habis pikir ame orang-orang yang sering nyinyirin kita. Padahal niat kita baik loh,” kata Gus Yan membuka forum diskusi. “ya, memang begitu Gus. Kadang sesuatu yang kita anggap baik itu dimata orang salah. Ini Cuma persoalan persepsi aja. Emang Gus ngelakuin apa sampe dinyinyirin orang,?” tanya Aceng.
“Kemarin ada undangan rebanaan. Nah ternyata, undangannya itu dari pihak Greja dekat lapang futsal Cioyom itu. Gue kirimlah mereka ke sana. Sepulang dari sana, banyak WA masuk ke gue. Mereka mencela yang gue perbuat. Padahal itu demi persatuan kata gue. Ini bagian dari syiar,” Gus Yan menjelaskan.
“Seharusnya kita tidak boleh fanatik dalam beragama. Gue jadi heran, orang-orang yang fanatik itu kayaknya hatinya gak tenang banget. Sekarang Ceng, fanatik itu masuk kategori penyakit hati. Masyarakat mesti kita beri edukasi biar gak salah-salah dalam memahami persoalan sosial,” Gus Yan menambahkan.
Aceng mengangguk-angguk. Ia merubah posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Gus Yan. Sambil berbisik Aceng berkata, “Gus, Saya baru saja masuk Muhammadiyah,” kata Aceng.
“Astagfirullahal’adziim,!!!” Gus Yan kaget mendengar perkataan Aceng. Ia lalu mencubit Aceng sambil berkata, “lu ini apa-apaan sih, astagfirullah,”. Aceng diam saja, dengan ekspresi muka serius Aceng mencoba berdialog lebih lanjut dengan Gus Yan, “Kenapa Gus,?”.
Gus Yan lalu menurunkan semprotan berisi air yang ia gunakan untuk memandikan burung. Kemudian dengan nafas tersenggal-senggal, ia mencoba memahami. Memang pemikiran dua tokoh ini berbeda. Walau Aceng dan Gus Yan adalah lulusan dari satu pondok yang sama, tapi cara berpikir mereka berbeda. Setelah mondok, Aceng melanjutkan kuliah. Sedangkan Gus Yan, lebih banyak menghabiskan waktu mengabdi di Pondok Bapaknya.
“Ceng, kuatkanlah hatimu di NU. Jangan pindah ke Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah itu berbeda. Terutama dari segi fiqhiyyahnya. Memang NU dan Muhamadiyyah didirikan oleh dua tokoh dari satu perguruan. Namun dalam cara memahami agama, berbeda. NU didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari dengan menjaga tradisi keislamannya. Sedangkan Muhamadiyyah didirikan oleh K.H Muhammad Toha dengan pemurnian agamanya,” Gus Yan menjelaskan dengan berapi-api layaknya seorang pendakwah.
“loh Gus, bukannya Muhammadiyah itu didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, ya? Atau memang pendirinya sudah beda sekarang,?” tanya Aceng dengan penuh keheranan. “Ya, siapapun itu yang penting dia pendiri Muhammadiyah,” katanya mengelak.
“Sekarang gue tanya, lu masuk Muhammadiyah Thariqah lu apa,?” tanya Gus Yan.
“Saya gak ikut Thariqah apa-apa Gus. Bahkan sejak di NU Saya gak tau Thariqah saya apa. Emang harus pakai Thariqah ya,?” kata Aceng. Suasananya berubah. Gus Yan mulai serius. Namun Aceng terlihat biasa saja. Gus Yan menggeser jongkoknya seperti orang yang hatinya tidak tenang.
“lu mesti paham apa itu Thariqah. Karena Thariqah itulah sarana kita menitipkan iman dan islam kita. Dengan adanya Thariqah, kita bisa menitipkan iman dan islam kita kepada guru-guru kita, guru-guru kita kepada guru-gurunya, begitu terus sampai Kanjeng Nabi Muhammad Saw.,” penjelasan itu sepertinya belum dipahami benar-benar oleh Aceng. Masih seperti ada yang mengganjal dalam diri Aceng.
“Emangnya kalau beribadah harus pake Thariqah ya. Emang gak bisa kita beribadah langsung sesuai tuntutan Nabi Muhammad. Kan sudah banyak buku-buku dan kitab-kitab yang menjelaskan tentang tata cara ibadah Nabi. Kenapa mesti ber-Thariqah?,” Aceng tidak bisa membendung rasa penasarannya. Dibesarkan di dunia akademik yang penuh dengan berbagai macam penelitian membuat pikiran Aceng terbuka. Ia selalu mencoba memahami sesuatu dengan akalnya.
“Mau langsung? Ke Nabi? Eh Ceng kapan lu pernah ketemu Nabi. Karena kita belum pernah ketemu, maka kita mesti memiliki sanad-sanad keilmuannya. Kalau enggak, berarti guru kita adalah Setan. Inget itu,” Gus Yan mulai tersenyum akibat pertanyaan “lucu” yang terlontar dari mulut temannya. Menurut Gus Yan, Aceng terlalu normatif dalam memahami agama. Sehingga ia tidak mengerti persoalan-persoalan seperti ini.
“kalau begitu, Thariqoh mana yang harus saya ikuti Gus?,” Aceng bertanya. Gus Yan tidak langsung menjawab pertanyaan Aceng. Iya berdiri dan berkata, “Ceng duduknya di sofa aja yuk, biar agak enakan. Gua pegel ngobrol disini,” kata Gus Yan. Memang sedari tadi pagi, Gus Yan tidak berhenti-berhentinya jongkok. Tapi karena ia masih muda, rasanya itu tidak menjadi masalah. Kalau terlalu lama paling juga hanya kesemutan.
Aceng dan Gus Yan duduk di sofa depan rumah Gus Yan. Sofa yang empuk itu memanjakan tubuh Gus Yan, namun tidak dengan pikirannya. Ia masih agak jengkel dengan segudang pertanyaan “lucu” dari temannya itu. Entah kerasukan apa sehingga Aceng bisa-bisanya keluar dari NU dan masuk Muhammadiyah.
“Gini Ceng. Thariqah itu ada banyak jenisnya. Ada Thariqah Qadariyah, Thariqah Syadzaliyah, Thariqah Naqsyabandiyah, Thariqah Samaniyah, Thariqah Tijaniyah dan masih banyak lagi,” kata Gus Yan.
“Gunanya Thariqah itu untuk apa Gus? Kok di dalam al-Qur’an saya tidak menemukan satupun ayat yang memerintahkan kita harus masuk Thariqah. Malah di al-Qur’an perintahnya langsung, misalkan aqiimu shalah ya langsung gitu Gus. Gak menjelaskan tegakkan shalat lewat perantara Thariqah,” Aceng mulai berpikir kritis. Pertanyaan “lucu” itu kembali keluar dari mulut Aceng. Di sisi lain, Gus Yan geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir kalau Aceng ternyata tidak memahami hal-hal fundamental seperti itu.
“Lu ini kalau menafsirkan al-Qur’an gak boleh sembarangan, Ceng. Apa lu belajar ilmu Balaghah, Mantiq, Bade’, Bayan? Bahkan kalau mau menafsirkan al-Qur’an, lu harus belajar dulu setidaknya ilmu alat biar gak sembarangan menafsirkan al-Qur’an,” terang Gus Yan.
“Gunanya Thariqah ini agar ibadah kita diterima oleh Allah Swt. Kan kita gak tahu ibadah kita apa bernilai ibadah apa kagak. Nah maka kita titipkan ke yang lebih paham melalui Thariqah. Lu harus coba masuk Thariqah deh, Ceng. Lu akan merasakan ekspresi batin yang lain. Orang-orang Thariqah itu adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Maka, saking hebatnya, perkara yang sunnah saja jika dilakukan oleh orang-orang Thariqah harus menjadi suatu kewajiban,” tambah Gus Yan.
“Loh kalau gitu, malah sesat dong Gus. Masa mewajibkan perkara sunnah. Bukannya itu bid’ah ya Gus,” Aceng sambil tertawa. Di situasi diskusi yang panas ini saja, ia masih bisa tertawa. Tidak ada rasa takzim sama sekali kepada Gus Yan. Walau seumuran, semestinya Aceng ada sedikit rasa takzim dengan Gus Yan yang notabenenya adalah anak Kyainya sendiri.
“Wah, lu nih kebanyakan baca buku-buku sih. Jadi pemikiran lu kayak gini. Emang lu gak diajari apa? Kan Bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah dhalalah. Kalau Thariqah ini, dia bid’ah hasanah Ceng. Bid’ah yang walau tidak ada rujukan dari kanjeng Nabi, tapi itu baik dan boleh dilakukan,” Kata Gus Yan.
Gus Yan mulai mengambil sebatang rokok. Dia menyalakan rokok itu dan merubah posisi duduknya. Kaki kanannya ia naikan ke atas sofa. Itu adalah gaya khas dari Gus Yan. Jika emosinya mulai tidak stabil, Gus Yan selalu mengambil sebatang rokok untuk dihisapnya.
“Emang apa salahnya baca buku-buku, Gus. Untuk menambah pengetahuan kan bagus. Lagian kan Saya tanya, kenapa di al-Qur’an kok tentang Thariqah itu gak dijelaskan. Dan kenapa kita gak bisa langsung beribadah begitu saja tapi harus pake perantara segala. Berarti selama ini ibadah saya gak sah dong Gus, karena saya gak pakai perantara Thariqah?,” Aceng mengulang dan menambah pertanyaannya.
Aceng tidak merokok, jadi ketika diskusi seperti itu, ia cenderung memilih minum air putih. Baginya, air putih saja cukup untuk merilekskan pikirannya. Doktrin itu ia dapat dari dosennya ketika kuliah S2 ilmu al-Qur’an dan Tafsir dulu. Dosen itu mendoktrin kalau minum air putih itu sehat dan dapat mengurangi stress. Benar saja, sampai sekarang itulah yang dikonsumsi Aceng dimanapun ia berada, baik sedang diskusi ataupun rapat dosen dengan rektor.
“Mending tinggalkan aja buku-buku itu. Mending lu belajar kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama ahlu sunnah wal jamaah. Daripada baca buku terus tapi hal kayak gini lu malah gak paham. Kita ini bukan wali yang langsung ibadahnya sampai ke Allah, Ceng. Taraf itu masih jauh dari kita. Kita berbeda. Kalau mau belajar al-Qur’an dan Hadist, maka kita harus belajar terlebih dahulu kitab-kitab yang dikarang ulama. Itu wajib, Ceng. Makanya kita perlu ada jalan lain dengan ikut guru-guru kita. Mudah-mudahan dengan hal itu ibadah kita sampai dan diterima oleh Allah!!!,” Gus Yan tak sanggup lagi menahan emosinya. Penjelasan itu begitu meluap-luap. Sampai-sampai rokok yang dinyalakannya pun lupa ia hisap.
Aceng menilik jam nya. Sudah pukul setengah sembilan. Satu jam lagi ia harus sudah berada di kampus untuk mengajar. Nampaknya Aceng tidak mau berlama-lama dan berbelit-belit. Semakin ia bertanya, semakin Gus Yan naik darah. Diskusi hari berbeda, sebab Gus Yan ternyata tidak konsisten dengan apa yang ia ucapkan sejak awal.
Sekarang Gus Yan menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya. Gumpalan asap itu seperti gumpalan perasaannya. Bagaimana mungkin teman diskusinya sendiri keluar dari jalur ahlu sunnah wal jamaah, begitu yang dipikirkan Gus Yan.
“ya udah Gus. Udah agak siang nih. Saya mau pamit beranjak untuk ngajar. Oh ya, jangan lupa ya nanti malam tahlilan di rumah Bu Sassa,” kata Aceng sambil berdiri.
“Heh lu bilang udah masuk Muhammadiyah kok masih tahlilan?,” tanya Gus Yan dengan mengangkat tubuhnya untuk berdiri. “Enggak, Gus. Saya hanya becanda. Saya gak masuk Muhammadiyah. Saya mau tau aja apakah bener kalau kita masih fanatik hati kita itu tidak akan tenang seperti apa yang dikatakan Gus Yan sejak mengawali perbincangan tadi,” Gus Yan tersendat. Aceng ternyata tidak keluar dari NU, “Kampret lu, Ceng. Gue kira beneran. Pokoknya sudah lu harus sepakat kalau NU lah yang paling benar,” katanya sambil mematikan rokok. “Ya Gus. Kayaknya diskusi tentang fanatik ini mesti kita perdalam lagi deh, Gus. Tapi di lain waktu,” sambil tertawa keras Aceng memasukan kakinya ke dalam sepatu.
“Salam buat keluarga ya, Gus. Mohon maaf merepotkan. Assalamualaikum!,” seraya pergi menjauh dari rumah Gus Yan. “Waalaikumsalam!,” balas Gus Yan. “Tuh anak gak pernah berubah dari dulu. Untung gua gak fanatik, jadi dia bisa bebas keluar masuk ke rumah gua,” kata Gus Yan sambil masuk ke dalam rumah.