Kesejahteraan menjadi tujuan setiap individu manusia dalam kehidupan sehari-hari. Semua orang rela kerja keras, pindah tempat, bekerta tak pandang waktu dan sampai mengorbankan nyawa untuk mendapatkan kesejahteraan hidup secara ekonomi. Banyak yang memilih untuk jauh dari keluarga demi menjempur rizki, atau lebih tepatnya mendapatkan pekerjaan yang menurutnya layak. Meski dengan terpaksa dan berat hati meninggalkan keluarga.
Ada pepatah jawa yang berbunyi “Mangan ora mangan, sing penting kumpul”. Jika dialih bahasakan menjadi Bahasa Indonesia kurang lebih Makan atau tidak makan yang penting berkumpul. Berkumpul disini yaitu bersama sanak saudara di kampung atau di tempat tinggal mereka masing-masing. Tidak perlu pergi jauh hanya demi mendapatkan makanan untuk bertahan hidup (bahasa perumpamaan dari mencari pekerjaan).
Kata-kata tersebut sangat familiar didengar oleh orang-orang suku jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi meski familiar, masih banyak orang-orang yang lebih memilih untuk mengadu nasib di negeri orang. Ada yang jadi tenaga kerja di negara tetangga, atau sekadar di luar pulau jawa, dan bahkan ada yang sampai ke pojok dunia, yakni di luar Benua Asia.
Alasannya bermacam-macam, ada yang memang ingin mencari suasana baru, ingin menjemput rizki, mandiri (karena jauh dari keluarga), dan ada juga yang terpaksa sebab tidak ada pilihan lain. Dari perlbagai latar belakang mereka bekerja di negeri orang, ada sisi positif dan negatif tentunya. Salah satunya mereka yang bekerja di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur (NTT), mereka malah nyaman dan bahagia hidup disana. Banyak yang memilih untuk domisili di sana dan menjadi penduduk disana, meski statusnya jadi seorang pendatang.
Menurut pengamatan penulis selama dua bulan ikut hidup disana, Juli- Agustus 2019, penulis dapat menarik kesimpulan apa sebab dan faktor yang mempengaruhi suku jawa nyaman disana. Pertama kondisi pendidikan di NTT yang relatif rendah menyebabkan suku jawa lebih mampu maju dibandingkan suku asli di flores khususnya. Sebab pendidikan mempengaruhi pola pikir seseorang dan tentunya orang yang berpendidikan lebih tinggi bisa memperdayakan yang dibawahnya.
Pendidikan ini tidak melulu tentang formalitas SD, SMP atau SMA, Melainkan pengalaman akan kondisi lingkungan yang tentunya menjadi ilmu berkehidupan sosial. Contoh saja dalam pemanfaatan buah pisang, ada yang bilang sebelum suku jawa berdatangan kesana, penduduk asli flores hanya mampu memanfaatkan pisang ala kadarnya. Belum mampu mengolah jadi makanan seperti molen, keripik, sale, pisang coklat, roti pisang, martabak manis dan makanan lainnya. Begitupun juga dengan makanan seperti tape, fermentasi dari ketela yang menjadi makanan lumrah di suku jawa. Disana tidak laku dan bahkan tidak ada yang mau memakannya, bahkan mereka beranggapan bahwa itu makanan busuk.
Dari hal-hal semacam itu bisa menunjukkan bahwa pengalaman mereka belum banyak. Ini disebabkan kondisi NTT yang berbasis daerah kepulauan sehingga membuat sulit pemerataan kemajuan zaman. Terlebih pusat pemerintahan ada di pulau jawa yang membuat orang jawa mampu lebih cepat menerima informasi dan kemajuan teknologi.
Kedua, suku jawa yang merupakan kaum pendatang menjadi faktor mengapa mereka lebih bisa sukses secara ekonomi di NTT. Tentu menjadi wajar jika pendatang akan berusaha lebih keras dalam bekerja, sebab ia beranggapan bahwa “jika tidak bekerja maka aku tidak bisa makan dan akan mati”. Tentunya tidak ada yang bisa diandalkan oleh suku jawa saat hidup di negeri orang, karena ia tak punya sanak saudara, tidak punya teman dan tidak punya sosok yang diandalkan saat ia kekurangan. Sehingga mereka cenderung akan berusaha lebih keras dibandingkan penduduk asli setempat yang sudah merasa aman karena punya sanak saudara di sekelilingnya.
Konsep tersebut sama persis dengan kasus yang dialami penduduk asli jawa yang tergeser secara ekonomi oleh pendatang suku dari Cina. Persoalannya sama, orang cina tidak punya cukup saudara di pulau jawa untuk dijadikan andalan jika kekurangan. Sehingga mereka bekerja lebih keras dibandingakan penduduk asli jawa dan yang terjadi sekarang orang-orang cina unggul dalam hal ekonomi di jawa. Pemilik toko bangunan orang cina, pemilik hotel bintang lima orang cina, pemilik pom bensin orang cina, dan pemilik restoran- restoran juga orang cina.
Ketiga minimnaya tempat rekreasi dan acara-acara kekeluargaan. Jika hidup bersampingan dengan keluarga pastinya akan ada banyak acara keluarga yang diselenggarakan untuk menguarkan nilai-nilai kekeluargaan. Seperti di jawa ada orang menikah diadakannya syukuran, anak sunat diadakan syukuran, ada ngaji rutin mingguan, bulanan atau selapanan, tahlilan sampai tujuh hari jika ada orang muslim meninggal dan tradisi tradisi lain yang mengharuskan setiap individu untuk meninggalkan kesibukan atau bahkan pekerjaannya demi bisa mengikuti acara tersebut.
Begitupun dengan suku asli di Flores, NTT, mereka juga disibukkan dengan tradisi pesta yang diselenggarakan saat anak lahir, dibaiat di gereja, masuk sekolah, dan menikah. Apalagi tradisi mereka saat pesta yang tidak lepas dengan minuman yang mengandung alkohol dan memabukkan. Ini yang menjadikan mereka tertinggal oleh suku jawa yang tidak pernah ada acara-acara serupa saat di flores. Sehingga mereka fokus pada pekerjaan dan kesehariannya mencari uang.
Terlebih juga tidak adanyan tempat untuk wisata menjadikan mereka yang memiliki banyak uang dari hasil bekerja tidak tergoda dan menghabiskan uang di tempat-tempat wisata. Berbeda dengan kondisi di jawa yang banyak wisata. Bahkan ada yang gaji dari hasil bekerja habis karena digunakan untuk wisata saja.
Setidaknya ada tiga faktor tersebut yang menjadikan suku jawa unggul secara ekonomi di daerah Flores, Nusa Tenggara Timur. Begitupun ketiga faktor tersebut menjadi sebab bangsa cina yang lebih unggul dibandingkan kaum pribumi pulau jawa. Dengan demikian bisa kita analisis bersama sebagai bangsa Indonesia pada umumnya untuk bisa mandiri secara ekonomi dan mampu melihat peluang, tantangan dan juga persoalan kompleks yang harus bisa diselesaikan di masing-masing daerah kita.