DI MONASMUDA INSTITUTE, SEMARANG DAN PESANTREN PLANET NUFO, REMBANG

Hafal al-Qur’an adalah di antara dambaan sebagian muslim. Sebab, hafal al-Qur’an memiliki banyak manfaat. Bukan hanya untuk mendapatkan pahala yang lebih banyak karena bisa membacanya kapan pun dan di mana pun, tetapi juga bisa jadi modal melakukan perenungan mendalam untuk menggali petunjuknya secara lebih utuh untuk melakukan kontekstualisasi dan rekontekstualisasi.

 

Karena itu, pendiri dan pengasuh Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institue Semarang, Dr. Mohammad Nasih, M.Si al-Hafidh selalu berusaha mencari terobosan baru untuk membuat menghafal al-Qur’an menjadi lebih mudah. Dinamika membersamai para kader di rumah perkaderan dan tahfidh al-Qur’an yang didirikannya pada medio 2011, membuatnya menemukan berbagai jalan untuk itu. Sampai akhirnya kemudian metode menghafal yang dipandangnya bisa memudahkan itu diberi nama ABAH (Artikan Baru Hafalkan!).

 

Bagaimana cerita lebih lengkap tentang proses penemuan metode menghafal oleh dosen Ilmu Politik di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI ini? Berikut petikan wawancara eksklusif baladena.id dengan bapak lima anak yang akrab disapa oleh para santrinya dengan Abah Nasih atau Abana itu:

 

Baladena: “Kenapa mesti ada metode ABAH ini? Bukankah sudah ada banyak metode lain? Apakah masih kurang?”

 

Abana: “Saya ini pendidik. Bahkan saya sudah ngajar ngaji di mushalla depan rumah saya sejak kelas V MI. Dan sekarang saya makin menikmatinya. Sebagai seorang pendidik, saya harus mencari terobosan-terobosan baru yang bisa membuat capaian yang saya hasilkan menjadi lebih baik. Nah, dunia ini selalu berubah, dan perubahannya bahkan sekarang lebih cepat. Perangkat belajar termasuk di dalamnya. Mengalami perubahan secara makin akseleratif. Karena itu, kita juga harus menyikapinya secara progresif. Metode yang lain sudah ada, tetapi mungkin efektivitasnya sudah berkurang. Bahkan, mohon maaf, saya mengatakan secara agak ekstrem, yang dikatakan sebagai metode itu sebenarnya bukan metode. Hanya jargon motivasi saja. Bahkan dalam beberapa kasus, saya menemukan, itu hanya digunakan sebagai sarana bisnis, mencari uang. Ini yang harus dibuka, agar tidak ada umat yang tertipu. Sudah terlalu banyak yang tertipu, karena harapan yang tinggi untuk hafal al-Qur’an. Namun, kenyataan tak seindah harapan.”

Baca Juga  BBM Naik, Rakyat Tercekik

 

Baladena: “Kenapa metode ini dinamakan ABAH?”

 

Baladena: “Itu hanya singkatan yang pas saja dari pandangan saya tentang tujuh kewajiban muslim kepada al-Qur’an yang sudah sering saya sebut sebelumnya, yaitu: membacanya, mengartikannya, menghafalkannya, merenungkannya, mengerjakannya, mengajarkannya, dan memperjuangkannya. Nah yang selama ini banyak terjadi adalah mereka yang mau menghafalkan al-Qur’an ya disuruh menghafal saja dengan cara diulang-ulang. Ya mana ada orang yang menghafalkan al-Qur’an tidak mengulang-ulang? Pasti harus diulang-ulang. Bahkan sesudah hafal pun harus melakukan muraja’ah, artinya ya mengulang-ulang lagi. Maka, itu tak bisa disebut sebagai sebuah metode, karena tidak memiliki kekhasan untuk memperoleh hasil lebih baik. Apalagi faktanya, tidak semua orang yang melakukannya memperoleh capaian optimal yang diharapkan. Nah, saya juga melakukan riset yang di antara simpulannya adalah menghafalkan kalimat yang tidak diketahui artinya membutuhkan usaha sampai tujuh kali lipat. Maka, saya mengubah ketentuan untuk memulai menghafalkan al-Qur’an, baik di Monasmuda Institute Semarang, maupun di Planet NUFO, Rembang. Awalnya santri-murid boleh langsung menghafalkan al-Qur’an, asalkan bacaan sudah standar, kemudian baru boleh menghafalkan hanya jika sudah mampu mengartikan secara literal. Singkatnya, anak tangga ketiga kewajiban kita kepada al-Qur’an baru bisa dititi apabila anak tangga kedua telah diinjak dengan mantap.”

 

Baladena: “Tapi kan banyak orang yang tidak mengerti artinya tetap bisa hafal al-Qur’an?”

 

Abana: “Saya kan tidak mengatakan tidak bisa. Saya hanya mengatakan bahwa usahanya jadi jauh lebih berat. Tujuh kali lipat. Dan karena jauh lebih berat, maka lebih banyak yang berhenti di tengah jalan. Mereka “kehabisan nafas”, karena ibaratnya mereka harus lari marathon tanpa tahu kapan mencapai ujung. Akhirnya memilih berhenti. Jadi, bisa hafal, tapi mayoritasnya hanya hafal sebagian saja, tidak total 30 juz. Dan sedikit yang menyelesaikan sampai akhir, kemudian menanggung beban yang sangat berat. Waktu mereka habis, untuk bisa mempertahankan hafalan tetap lancar. Sudah begitu, hafalan yang jadi beban itu tidak menghasilkan motivasi dan inspirasi sama sekali. Bagaimana kalimat-kalimat penuh makna dan dorongan perjuangan di dalam al-Qur’an memberikan inpirasi dan motivasi kalau pembacanya tak mampu menangkap dan menggali arti? Maka ada juga yang memandang sebelah mata kepada mereka sebagai sekedar seperti burung beo yang mengucapkan kalimat, tapi tidak tahu apa yang diucapkan itu.”

Baca Juga  Perempuan dan Kesehatan Mental

 

Baladena: “Bagaimana ceritanya menemukan nama ABAH ini?”

 

Abana: “Awalnya, metode ini saya beri nama Pahami Baru Hafalkan, disingkat PBH. Jadi, namanya Metode PBH. Dalam sebuah perjalanan bersama istri saya, saat akan mengantarkan anak pertama saya periksa tulang kakinya yang cidera karena habis lompat dari ketinggian ke RS Roemani, saat itu sampai di dekat RS Kariadi, saya tanya kepada istri saya, mana yang lebih bagus “Pahami Baru Menghafal disingkat PBH” atau “Pahami Lalu Menghafal PLH”? Istri saya bilang lebih kuat tekanan pada PBH. Namun, sampai di dekat kantor Polda Jateng, saya berubah pikiran, karena dalam tangga kewajiban kepada al-Qur’an, kewajiban sebelum menghafalkan adalam mengartikan. Jadi kemudian saya coba dengan “Artikan Baru Hafalkan” dan bisa disingkat ABAH. Abah kan panggilan anak-anak saya kepada saya. Jadi, metode ABAH ini adalah metode khas dari saya. Saya merasa ini lebih sesuai dengan konsep yang ada sebelumnya tentang tujuh kewajiban kepada al-Qur’an. Ditambah lagi menemukan nama yang bagus.”

 

Baladena: “Bagaimana gambaran singkat metode ABAH ini?

 

Abana: “Sesuai dengan namanya, tentu calon penghafal harus menguasai bahasa Arab al-Qur’an dulu. Dan kalau dilakukan dengan metode yang benar, lalu mempraktekkannya secara langsung, tidak butuh waktu lama. Kalau IQ di atas 95, dengan kecerdasan linguistik verbal standar, tidak sampai sebulan bisa. Empat puluh harilah paling lama. Pertama-tama, para calon penghafal, terutama yang tidak pernah mondok, harus diajari asal-usul kata dulu. Mereka harus menguasai tashrif. Kalau dalam bahasa Inggris ya go-going-went-gone ditambah dengan perubahan bentuk lainnya dengan tambahan r karena jadi pelaku, tambahan s atau es kalau jamak. Kalau bahasa Inggris kan hanya berubah menjadi belasan saja. Tapi dalam bahasa Arab, satu kata bisa berubah bentuk menjadi 400-an bentuk kata. Dan saya sudah menemukan cara mudah juga untuk menguasai ini. Dibuktikan oleh para santri kecil (sancil) yang menjadi peserta pesantren kilat di Monasmuda Institute dan Planet NUFO saat liburan sekolah. Nah, setelah mereka menguasai tashrif, mereka diajak untuk mempraktekkan mengartikan al-Qur’an. Yang menjadi pilihan saya adalah tiga surat, yaitu: Yusuf, al-Kahfi, dan al-Qashash.”

Baca Juga  Budaya Thrifting Merugikan Industri, Menyelamatkan Bumi

 

Baladena: “Kenapa memilih tiga surat itu?”

 

Abana: “Sebab, isi ketiga surat itu adalah cerita yang sangat mudah dipahami. Bahkan anak-anak pun mampu memahaminya. Bahkan kalau di Planet NUFO, kisah dalam ketiga surat itu dibuat drama yang diperankan oleh para santri penghafal al-Qur’an usia SMP. Dengan cara itu, mereka akan bisa lebih memahami alurnya. Tentu saja ini akan memudahkan mereka menghafalkannya. Kalau surat-surat lain kan banyak yang rumit. Anak-anak belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami paradigmanya. Nah, ketiga surat ini saya jadikan sebagai “surat modal”. Dari ketiga surat ini, mereka mengenal kata-kata yang akan bisa digunakan untuk memahami arti surat-surat yang lain, sehingga mereka akan lebih mudah menghafalkannya.”

 

Baladena: “Jadi bukan juz 1 atau juz 30 malah ya?”

 

Abana: “Tepat sekali. Banyak orang salah asumsi, meminta para penghafal memulai dari juz 30. Banyak lo kata dalam juz 30 yang asing dan hanya disebut sekali saja. Ini menyulitkan. Ini didukung oleh data yang saya kantongi dari 300-an santri yang pernah saya simak, belum ada satu pun yang benar 100 persen ketika setoran juz 30, satu juz sekali duduk. Namun, kalau juz 1 malah sudah ada belasan yang tanpa kesalahan sama sekali. Namun, juz I kan juga tidak mudah. Isinya tentang paradigma akhirat, konflik sosial politik, kekuasaan, perang, sikap hipokrit, dan lain-lain yang anak-anak relatif sulit mencernanya. Nah, QS. Yusuf, al-Kahfi, dan al-Qashash saya anggap sebagai surat yang isinya, sekali lagi, paling mudah dipahami, baik oleh orang dewasa maupun anak-anak belia. Alurnya mudah ditangkap, sehingga sangat membantu dalam mengurutkan bacaan. Kalau mengerti artinya, kemudian alurnya mudah ditangkap, hafalan juga akan lancar. Dengan begitu, merangkai kata perkata, kemudian menghubungkan satu ayat dengan ayat lainnya menjadi jauh lebih mudah”.

 

 

 

 

 

 

 

 

LAUNCHING METODE BARU MENGHAFAL AL-QUR’AN ABAH (ARTIKAN BARU HAFALKAN)

Previous article

Pengertian dan Macam Macam Wahyu dalam al-Qur’an

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Gagasan