Di tengah dinamika kampanye pilkada ini, politik identitas menjadi alat yang sering dimanfaatkan politisi untuk mendapatkan kekuasaan.
Akan tetapi, agama yang seharusnya menjadi sumber moralitas kini kerap dijadikan sarana untuk memecah belah masyarakat dan membentuk dukungan politik.
Kondisi tersebut menggambarkan bagaimana iman dapat dimanipulasi demi ambisi kekuasaan yang bersifat sementara.
Fenomena ini, yang semakin marak dalam pemilu atau masa-masa politik seperti sekarang ini, misalnya, kita sering melihat bagaimana politisi menggunakan identitas keagamaan untuk mendapatkan dukungan dari kelompok tertentu, bahkan sampai menekan lawan politik dengan tuduhan yang berbau agama.
Misalnya, mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya yang bisa menjaga nilai-nilai agama, sementara pihak lawan dianggap sebagai ancaman terhadap kelestarian agama tersebut.
Politik identitas berbasis agama ini menjadi sangat berbahaya karena bisa merusak persatuan masyarakat yang sebelumnya hidup rukun dengan berbagai perbedaan.
Dari pada memajukan politisi yang menggunakan politik identitas lebih sering menciptakan polarisasi dan ketakutan antar kelompok.
Masyarakat yang seharusnya bersatu dalam menghadapi tantangan bersama, malah menjadi terpecah oleh narasi-narasi yang menyudutkan kelompok lain berdasarkan agama.
Efeknya tidak hanya terbatas pada retorika saja akan tetapi juga dapat memicu sikap intoleran, diskriminasi, hingga tindakan kekerasan. Tempat ibadah seperti masjid, yang idealnya menjadi ruang persatuan, terkadang berubah fungsi menjadi tempat kampanye terselubung.
Bahkan ayat-ayat suci sering disalahgunakan, bukan untuk menguatkan hubungan umat dengan Tuhan, melainkan untuk memperoleh dukungan politik. Di sinilah kesucian agama tercemari, dan nilai-nilai dasar agama yang seharusnya mengajarkan perdamaian dan keadilan malah dipakai untuk tujuan sebaliknya.
Di sisi lain, media sosial juga turut berperan dalam mempercepat penyebaran politik identitas. Banyak politisi memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan narasi-narasi yang mengarah pada polarisasi keagamaan.
Dalam beberapa kasus, berita palsu (hoax) yang bersifat provokatif sering disebarkan untuk membangun ketakutan akan ancaman dari kelompok lain yang dianggap tidak sejalan dengan nilai agama tertentu. Ini semakin memperburuk situasi, karena masyarakat cenderung hanya menerima informasi yang memperkuat pandangan mereka, tanpa memverifikasi kebenarannya.
Iman, dalam konteks ini, kehilangan kesuciannya. Ia berubah menjadi barang dagangan politik yang diperjualbelikan dengan murah. Hal ini merusak esensi agama, yang sebenarnya mengajarkan cinta kasih dan keadilan. Banyak politisi yang mengklaim diri sebagai pembela agama, namun tidak konsisten dalam perilaku mereka.
Mereka hanya berfokus pada bagaimana memenangkan pemilu atau memperoleh kekuasaan, sementara nilai-nilai agama yang sebenarnya seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang sering diabaikan. Pada akhirnya, masyarakat hanya dijadikan alat untuk meraih tujuan pribadi atau kelompok tertentu.
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih kritis terhadap penggunaan politik identitas. Pemimpin yang baik tidak diukur dari seberapa religius ia mengklaim dirinya, tetapi dari kejujuran dan kemampuannya.
Kepemimpinan yang baik harus mampu membawa perubahan nyata bagi masyarakat, bukan sekadar menciptakan narasi keagamaan untuk meraih suara. Seharusnya kita tidak terpaku pada klaim religiusitas semata, tetapi menilai pemimpin berdasarkan tindakan mereka yang mencerminkan nilai-nilai agama yang sesungguhnya.
Kita perlu mengingat bahwa agama adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan alat untuk mencapai kekuasaan. Agama mengajarkan kita untuk hidup dengan damai, saling menghormati, dan bekerja keras untuk kebaikan bersama. Ketika agama dipergunakan hanya untuk kepentingan politik, maka kita telah mengkhianati pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Jika praktik politik identitas dibiarkan, dampaknya akan melebihi masa jabatan para politisi. Ia akan meninggalkan warisan perpecahan, luka sosial, dan hilangnya rasa percaya di antara kelompok masyarakat. Maka, perlu direnungkan: apakah iman kita pantas diperdagangkan demi kekuasaan?
Dengan demikian, mari kita bersama-sama menjaga agar agama tetap menjadi pemandu spiritual yang murni, bukan alat untuk memenangkan kekuasaan. Politik identitas yang merusak keharmonisan sosial harus dihentikan, agar kita bisa hidup dalam masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan damai.
*Syahrurizal Januarta, Mahasiswa UIN GUSDUR