Mensyukuri Nikmat Allah

Oleh: Muhammad Aufal Fresky*)

Jika ada pertanyaan: “Apakah di antara kita ada yang mendambakan kekayaan dalam hidup?” Tentunya, saya rasa hampir semua akan mengacungkan tangan dan mengangguk-ngangguk. Bahkan, kuantitas materi yang dimiliki seakan menjadi indikator atau ukuran kesuksesan seseorang. Seoalah yang miskin alias kere menjadi aib, sekaligus pertanda seseorang tidak berhasil dalam perjalanannya hidupnya. Padahah, jatah mengenai semua hal yang kita miliki di dunia ini, sudah ada takarannya. Telah diatur oleh Sang Pencipta. Hanya, saja yang menjadi persoalan, tidak sedikit orang yang kekayaannya melimpah tersebut mengalami ketidaktenangan dalam hidupnya. Hari-harinya, diliputi oleh keresahan. Jiwanya kering dan gersang. Tidak hanya itu, sebagian dari kita justru menyalahgunakan anugerah Tuhan tersebut untuk melabrak syariat Islam. Menjadi kufur nikmat.

Padahal, sudah semestinya, kita yang memperoleh nikmat materi tersebut semakin bersyukur dan mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sebaliknya, justru semakin berani dan terang-terangan melanggar larangan-Nya dan tidak mematuhi perintah-Nya. Apalagi, jika dipikir-pikir lagi, jika direnungi secara mendalam, nikmat yang Allah berikan kepada kita selama hidup di dunia ini sangat banyak, beragam, dan bahkan tidak terhitung. Salah kaprah jika selama ini kita beranggapan dan mengira bahwa nikmat itu hanya berupa makanan, minuman, kendaraan, rumah, emas, atau apa pun yang bersifat material. Keliru apabila kita beranggapan rezeki itu hanya berupa uang. Anggapan semacam itu seakan-akan menyempitkan luasnya rezeki dari Allah untuk kita.

Silakan tengok saja diri kita sendiri, betapa banyak organ tubuh yang Allah berikan secara cuma-cuma sejak kita masih dalam alam kandungan. Mulai dari kaki, tangan, mata, telinga, mulut, hidung, kulit, jantung, paru-paru, ginjal, dan masih banyak lagi tentunya, Organ-organ tersebut, saya rasa tak ternilai dengan rupiah. Organ-organ tersebut, tidak bisa ditukarkan dengan hal apa pun yang sifatnya material. Sebab, semua organ yang kita miliki, sangat dibutuhkan selama kita hidup. Belum lagi, Allah telah menyediakan bumi dan seisinya untuk kita kelola sebaik-baiknya selama hidup.

Kita ditunjuk sebagai khalifah bukan sekadar untuk bersenda-gurau atau main-main. Lebih dari itu, untuk menjaga, merawat, dan melestarikan bumi ini. Termasuk pohon-pohon, jangan sampai ditebangi dengan membabi buta hanya demi untuk membuka lahan perumahan. Atau lautan, jangan sampai semau-maunya dan seenaknya dicemari oleh limbah pabrik atau limbah rumah tangga. Sebab, sekali lagi, hal tersebut bisa menimbulkan kerusakan di daratan maupun di lautan. Seperti halnya banjir dan longsor, yang kerap kali terjadi di depan mata kepala kita.

Pencemaran lingkungan yang dilakukan secara sengaja dan terus menerus menjadi bukti nyata bahwa sebagian dari kita tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah. Perilaku semacam itu menjadi contoh konkret bahwa manusia tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Padahal, sudah sering nampak kerusakan di bumi dan lautan oleh sebab ulah tangan-tangan manusia tak bertanggung jawab. Ya, tulisan ini akan menjadi bahan refleksi dan evaluasi bagi kita semua, terutama saya sendiri selaku penulis. Yaitu agar mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan, termasuk salah satunya dengan menjaga dan mengendalikan diri agar tidak mencemari lingkungan. Sebab, nikmati Allah, sekali lagi, bukan hanya uang, makanan, dan minuman yang harus wajib syukuri. Namun juga, nikmati-nikmat lainnya.

Termasuk nikmat yang paling besar yang mungkin sebagian dari kita acapkali melupakannya. Padahal, nikmati ini adalah nikmat tertinggi yang dimiliki oleh manusia. Nikmat tersebut yaitu nikmat iman dan Islam. Apa gunanya hidup bergelimang harta dan kekayaan jika kita sendiri tidak memiliki iman dan tak memeluk Islam. Apa guna jabatan mentereng jika semisal kita sendiri menanggalkan iman dan Islam.

Padahal, keselamatan hidup, kesuksesan hidup, ketenangan hidup, dan kebahagiaan hidup, semuanya itu berlandaskan iman dan Islam. Lantas, sejauh mana kita mensyukuri nikmat iman dan Islam tersebut? Apakah, justru kita lupa, bahwa kita mengenal beriman dan mengenal Islam itu sebab karunia dan hidayah dari Allah? Pertanyaan tersebut, mari sama-sama kita renungi. Tentu saja agar membangkitkan rasa sadar dalam diri kita bahwa sejatinya, kita ini merupakan hamba jarang bersyukur. Harapannya, kesadaran tersebut perlahan mendorong diri kita untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah.

Bersyukur sendiri bisa lewat hati, lisan, dan perbuatan. Lewat hati yaitu dengan menyadari betul terkait nikmat Allah, mengangungkan Allah, selalu berprasangkan positif atau huznuzan kepada Allah dalam setiap situasi dan kondisi. Kemudian, bersyukur lewat lisan bisa dengan cara senanitasa membacaa kalamullah (Al-Quran), sering berdzikir kepada-Nya, mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran, mengingatkan orang lain untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah, dan sebagainya. Kemudian, bersyukur lewat perbuatan yaitu dengan rajin melangkahkan kaki ke masjid untuk shalat berjemaah, aktif mengikuti majelis taklim, majaeis dzikir, dan atau majelis sholawat, istikamah sholat tahajjud, dan sebagainya. Intinya, cara bersyukur bukan hanya mengucapkan lafaz: alhamdulillah. Lebih dari itu, kita bisa bersyukur dengan lebih sregep dalam mengerjakan berbagai kebaikan dalam segala bentuknya.

Sebab itulah, saya ingin mengajak dan mengimbau kepada pembaca sekalian, khususnya diri saya sendiri, untuk lebih sadar betapa tidak terhitungnya nikmat Allah. Bahkan, seumur hidup pun, kita tiak akan sanggup untuk menghitungnya. Mengenai hal itu, sudah tertera dalam Al-Quran yang terjemannya: “Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu, bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan kufur (dari nikmat-Ku).” (QS. Al-Baqarah: 152).

Jadi, jika diambil benang merah dari tulisan di atas, kita tidak perlu menunggu dapat uang atau menang hadiah undian umroh untuk bersyukur. Kita tidak perlu menunggu menjadi kaya harta untuk bersyukur. Bahkan dalam setiap detak jantung kita, setiap embusan nafas, itu tersimpan rahasia nikmat Allah yang begitu luar biasa. Maka dari itu, dengan rajin bersyukur dan menerima dengan segala ketentuan-Nya, hati kita pun akan semakin tenang. Dengan rajin bersyukur, kita bisa lebih disayang oleh Tuhan. Percayalah, bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa. Kekayaan hakiki adalah jiwa yang merasa cukup atas pemberian-Nya. Dan bukti bahwa kita merasa cukup adalah dengan mensyukuri segala pemberian dan ketentuan-Nya. Percayalah, rasa syukur itu bisa menghindarkan kita dari penyakit iri, dengki, dan rakus. Dan jangan sampai lupa, hati yang tenang dan selalu merasa cukup, itu juga merupakan nikmat dari Allah yang harus kita syukuri.

*) Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *