Meluruskan Salah Kaprah soal Adab

Sering kali kita mendengar dan atau membaca banyak orang yang menyatakan bahwa “adab di atas ilmu.” Sehingga konsekuensinya ilmu tanpa adab itu konon sia-sia dan tidak ada guna. Apakah benar demikian? Mari kita ulas bersama dengan kepala dingin. Sebab kalau tidak, akan ada banyak orang yang menyalahgunakan makna adab sesuai kepentingannya, bahkan dalam level tertentu digunakan untuk menjatuhkan orang lain yang tidak sependapat dengannya.

Nanti kita akan bisa membedakan urgensi adab, akhlak dan ilmu berikut konteks di mana ia digunaan. Adab itu lebih kepada sopan santun, tata krama, aturan atau norma, dalam level yang lama (dan disadari atau tidak) ia akan menjadi pola yang saya sebut anggah-ungguh dan ewuh-pakewuh. Kita dipaksa untuk tunduk dalam pola yang akhirnya menjurus pada feodalisme.

Contoh dari perilaku adab di antaranya mencium tangan orang yang lebih tua, hormat pada tamu, menyayangi orang yang lebih muda, ringan mengucapkan kata tolong, terima kasih, maaf; murah senyum dan masih banyak lagi. Berdasarkan beberapa contoh dari perilaku adab ini tentu berbeda dengan akhlak.

Sedangkan akhlak itu lebih kepada budi pekerti, tingkah laku, perangai dan watak. Contoh orang yang berakhlak di antaranya ia tidak sombong, rendah hati, tidak riya, tidak memfitnah, tidak mencuri, jujur, tidak ghibah dan tentu masih banyak lagi. Untuk membangun akhlak membutuhkan waktu yang tidak sebentar, butuh kebiasaan dan latihan yang konsisten, dengan belajar secara terus-menerus agar berakhlak yang sesuai dengan ilmunya. Lalu apakah adab dan akhlak itu penting? Dua-duanya penting, hanya saja akhlak jauh lebih utama ketimbang adab yang pada realitasnya kerap dimanipulasi sebagai anggah-ungguh dan ewuh-pakewuh yang tidak perlu. Akhlak itu lebih urgen dan subtantif.

Demikian lagi-lagi kalau kita kerap dihadapkan pada idiom “adab di atas ilmu”, dengan kata lain adab dianggap lebih utama ketimbang ilmu. Seolah-olah orang yang berilmu itu sebagai orang yang sepele hanya karena dihadapkan dengan adab. Bahkan akhirnya seolah-olah biarkan saja orang bodoh yang penting beradab. Dalam konteks ini, ada banyak orang yang salah kaprah memaknai adab, sehingga ia justru tengah menjatuhkan dirinya sendiri sebagai orang yang tampak haus validasi dan haus privilege.

Orang lalu dengan entengnya menjustifikasi orang lain dengan label “su’ul adab” hanya karena pendapatnya berbeda dengan orang lain maupun sebaliknya. Orang yang tegas menyampaikan kebaikan dan kebenaran, hanya karena ada yang tersinggung dianggap sebagai sikap su’ul adab. Jelas ini pelanggaran dan bertentangan dengan hadis Nabi Saw., yang justru sangat mengutamakan akhlak yang mulia. Posisinya jelas, dalam konteks tertentu yang akut, bahwa orang yang berakhlak tidak peduli anggah-ungguh dan ewuh-pakewuh, yang penting tidak menyebarkan hoaks dan tidak memfitnah, karena akan menyampaikan kebaikan dan kebenaran walaupun terasa pahit, banyak pihak yang tersinggung.

Mereka yang getol menyuarakan “adab di atas ilmu”, justru dalam banyak kejadian adalah mereka yang akhirnya terjebak sendiri, mereka yang justru dalam posisi lemah, menandakan mereka tidak siap dengan perbedaan, walhasil menyerang pribadi, berkata-kata kasar, bukan lagi diskusi yang sehat berkenaan dengan ide dan gagasan.

Walhasil, saya tidak berada dalam barisan yang mengatakan adab di atas ilmu. Saya justru meyakini bahwa dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang harus dikedepankan adalah ilmu, sehingga ia bisa membedakan mana yang masuk kategori adab dan mana yang masuk kategori akhlak. Kalau disuruh memilih, mana yang lebih utama manakala dalam banyak hal yang sifatnya mendadak atau tidak, maka akhlak yang harus diutamakan. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam

Oleh : Mamang M Haerudin (Aa) Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *