Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah (Pengurus bidang penelitian dan pengembangan DPN Permahi)
Beberapa waktu yang lalu, sekitar tanggal 25-26 November 2022, MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sumatera Utara telah mengeluarkan fatwa tentang pengharaman profesi manusia silver karena dianggap bersimpangan dengan syariat Islam. Beberapa alasannya yakni mereka melakukan perbuatan meminta-minta atau mengemis sebagai pekerjaan, dapat menganiaya dan membahayakan diri mereka sendiri, mengumbar aurat di muka umum, serta mengganggu ketertiban lalu lintas atau umum.
Bentuk menganiaya dan membahayakannya adalah mereka memakai cat sablon yang dicampur dengan minyak tanah (dimana dampak jangka pendeknya dapat menimbulkan iritasi pada kulit). Sedangkan mengumbar auratnya adalah mereka memamerkan badan di muka umum yang dapat dilihat oleh orang yang melewatinya. Hal tersebut tentu bertentangan dengan prinsip ke-Islaman karena pada dasarnya muamalah tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal serta tidak mengganggu aktivitas orang lain.
Di tambah lagi, perbuatan mengemis atau meminta-minta bukan hanya di larang dalam agama, terutama Islam, namun juga tidak diperbolehkan di dalam hukum positif di Indonesia. Mengacu pada pasal 504 ayat (1) dan (2) KUHP mengatakan bahwa apabila mengemis (mengemis merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pengemis dengan maksud mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta) di muka umum dapat diancam pidana kurungan paling lama enam minggu, disisi lain apabila pengemisan dilakukan oleh tiga orang atau lebih serta mereka sudah berumur di atas enam belas tahun dapat dijatuhi pidana kurungan selambat-lambatnya tiga bulan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 505 ayat (1) dan (2) juga mengatur bahwa apabila ada gelandangan tanpa mata pencaharian dapat dipidana kurungan maksimal tiga bulan serta apabila pergelandangan dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berusia di atas enam belas tahun maka dapat diancam pidana kurungan paling lama enam bulan.
Hukuman bukan hanya diberikan kepada pengemis atau gelandangan, namun yang memberikan uang kepada mereka juga. Contohnya seperti di Semarang yang memiliki Perda No. 5 Tahun 2014 yang memaparkan secara jelas bahwa apabila ada warga yang memberikan uang kepada pengemis, gelandangan, dan/atau orang terlantar (PGOT) sesuai dengan ketentuan pada pasal 24, mereka dapat didenda maksimal satu juta atau kurungan maksimal tiga bulan sesuai aturan pada pasal 30.
Penerapan Perda mengenai gelandangan atau pengemis merupakan hal yang penting karena berakibat pada kemajuan mental dan mindset serta dapat menyadarkan bahwa mengemis dan menggelandang bukan profesi atau pekerjaan. Langkah tersebut dapat diatasi melalui masyarakat yang tidak memberikan uang kepada manusia silver, petugas satpol pp yang selalu siap dan sigap mengawasi, serta dinas sosial yang memberikan bimbingan sosial.
Maka dari itu, sebagai manusia yang dilahirkan memiliki akal seharusnya memahami bahwa mengemis bukan hal yang mulia di mata Allah dan manusia karena sejatinya meminta-minta merupakan perbuatan yang lemah. Manusia silver yang kebingungan akan jalan kemana, mereka dapat mengikuti pelatihan di BLK setempat atau mendaftar pekerjaan pada bidang tertentu. Walaupun gajinya tidak sebanyak waktu mengemis, setidaknya dapat meraup dari sumber yang halal.
Comments