Ketika Gerakan Kritis Mahasiswa Dinilai Anarkis

Di era disrupsi ini, tidak dapat dipungkuri bahwa kerap kali ketika ada gerakan aksi demonstrasi dari mahasiswa, selalu mendapatkan penilaian buruk dari masyarakat sekitar. Mereka mengatakan bahwa gerakan aksi demonstrasi mahasiswa itu anarkis, tidak tahu tata krama, tidak beradab, dan masih banyak lagi nyinyriran yang dilontrakan. Padahal, sejatinya mahasiswa bergerak atas dasar panggilan hati nurani, karena melihat masyarakat yang ditindas oleh penguasa.

Penilaian buruk terhadap gerakan mahasiswa yang muncul dari masyarakat bukan sepenuhnya merupakan kesalahan masyarakat dalam menilai, akan tetapi semua itu disebabkan oleh pengaruh informasi dari media massa (pers) yang dikendalikan oleh para oknum pengusaha dan penguasa. Media massa yang di bawah kendali pemerintah ini kerapkali menyampaikan informasi dengan memutarbalikkan fakta lapangan. Setiap kali ada gerakan aksi demonstrasi dari elemen mahasiswa, selalu diberitakan dengan bungkus suatu bentuk gerakan anarkisme.

Saat ini memang sulit mencari media massa yang masih berpihak kepada rakyat kecil. Independensi media massa saat ini sudah diragukan, karena mereka sudah dikuasai oleh para oknum elite politik atau penguasa. Karena itu, mereka sering kali menampilkan hal-hal yang berbau negatif terhadap gerakan mahasiswa. Sebut saja misalnya, ketika mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat sebagai sikap terhadap kebijkan pemerintah yang menyeleweng, media massa malah menampilkan sosok mahasiswa yang anarkis dan pembuat gaduh, sehingga secara tidak langsung paradigma yang muncul dalam benak masyarakat terhadap mahasiswa adalah hal-hal yang berbau negatif.  Padahal, jika berpikir mendalam, maka tindakan yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut adalah wujud dari kesadaran kritis yang dimilikinya.

Dalam arkeologi kesadaran manusia, Paulo Feriere membagi kesadaran manusia menjadi tiga bagian, sebagaimana yang termaktub dalam bukunya yang berjudul Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Adapun tiga kesadaran tersebut adalah kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Pertama, kesadaran magis merupakan tingkat kesadaran yang paling rendah. Manusia dengan kesadaran ini cenderung akan memaknai segala realitas kehidupan sebagai takdir, mitos, dan kekuatan superior yang tidak bisa terelakkan. Contoh sederhana untuk memahami kesadaran ini dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika Ibu melarang anaknya untuk menduduki bantal, karena dapat menyebabkan bisul. Maka, ketika si Anak diberitahu tentang hal itu, akan percaya dan tiidak berani melakukannya.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks bernegara, pada ummnya masyarakat Indonesia berada pada tingkat kesadaran magis ini. Sebab, ketika mereka ditindas oleh penguasa dan terbelenggu oleh permasalahan yang kompleks, maka pada akhirnya mereka pasrah, karena menganggap semua itu sebagai takdir dan kekuatan superior yang tidak bisa terelakkan.

Kedua, kesadaran naif yang juga disebut oleh Paulo Friere sebagai kesadaran semi-intransitif, karena manusia pada tingkat kesadaran ini telah bisa menjadi subjek yang mampu melakukan konsolidasi dengan yang lain, tapi belum sampai pada level memahami realitas dalam true act of knowing (tindakan mengetahui yang sebenarnya). Mereka mampu memahami masalah yang dihadapinya, tapi mareka cenderung menyepelekannya, sehingga rentan menjadi korban manipulasi dan perbudakan oleh para elite politik yang tidak bertanggungjawab.

Contoh sederhana kesadaran naif ini dalam kampus adalah dapat dilihat ketika perkuliahan berlangsung, dosen menjelaskan materi yang diampu, kemudian memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya. Akan tetapi, seluruh mahasiswa terdiam, tidak ada yang bertanya, padahal sejujurnya masih ada yang ingin ditanyakan atau disanggah. Selain itu, contoh yang paling konkret adalah ketika kebijakan pemerintah soal kenaikkan iuran BPJS dan mereka tahu bahwa kebijakan tersebut berdampak buruk bagi masyarakat menengah ke bawah, tapi mereka tidak melalukan pemberontakan.

Ketiga, kesadaran kritis merupakan kesadaran tertinggi yang dimiliki oleh manusia. Manusia pada tingkatan kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek yang memahami realitas secara komprehensif.  JIka diamati, masyarakat Indonesia dengan kesadaran ini sangat minim ditemukan, karena sudah terbiasa dininabobokan,  sehingga nalar kritisnya sulit dibangun. Pasalnya, kesadaran kritis ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, sehingga lingkungan menjadi salah satu faktor penentu nalar kritis itu bisa terasah atau justru tumpul.

Contoh sederhana dari kesadaran ini dapat dilihat dari kebiasaan anak kecil yang selalu bertanya, karena rasa ingin tahunya yang begitu besar terhadap suatu hal yang baru. Dari contoh ini dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki kesadaran kritis yang melakat pada dirinya sejak lahir. Dalam konteks dunia kampus, gerakan aksi demonstrasi  mahasiswa yang muncul akibat kebijakan kampus dan/atau pemerintah yang tidak pro dengan rakyat merupakan bentuk dari manifestasi jiwa kritis yang dimiliki oleh mahasiswa.

Untuk melawan berita-berita yang membawa narasi negatif terhadap gerakan mahasiswa yang dibuat oleh media-media yang di bawah kendali pemerintah adalah dengan cara mebuat media baru sebagai counter attack terhadap nerasi negatif yang dibangun tersebut. Media baru ini tentunya harus merdeka secara finansial, agar tidak mempan dengan tawaran-tawaran oknum pengusaha dan penguasa, sehingga idealisme media baru ini akan terus terjaga.

Berbicara tentang idealisme, Tan Malaka pernah mengatakan bahwa kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda adalah idealisme. Perkataan Tan Malaka ini menandakan bahwa begitu berharganya idealisme itu. Oleh karena itu, dalam konteks media, media yang memiliki idealisme mampu menyampaikan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Dengan begitu, masyarakat tidak akan kembali tersesat dengan informasi-informasi yang dipelintir, termasuk stigma negatif terhadap gerakan mahasiswa selama ini dapat berubah menjadi penilaian positif. Gerakan mahasiswa pun dapat tersupport, sehingga targetnya untuk merebut keadilan bisa tercapai.

Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Kepemudaan HMI Korkom Walisongo Semarang Periode 2018-2019,

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *