Disampaikan dalam Seminar Nasional An-Nahl 2022 (IPB University)
Islam adalah ajaran Allah yang disampaikan oleh para rasulNya. Nabi Muhammad saw. adalah penyempurnanya. Yang dibawa oleh para rasul adalah ajaran yang benar, baik, dan sesuai dengan kehendak Allah. Jika manusia menjalankan atau sesuai dengan ajaran itu, maka akan mendapatkan ridlaNya. Demikian pula sebaliknya. Karena itu, basis ajaran Islam sesungguhnya adalah firman. Karena itu, ilmu dalam Islam adalah firman Allah. Paradigma ini sesungguhnya telah ada sejak zaman Yunani, tetapi kemudian terjadi distorsi pemahaman. Logos yang selama ini hanya dipahami sebagai ilmu, sesungguhnya bermakna asal firman.
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (ketetapan) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan wahyu itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (al-Syura: 52)
Di dalam ajaran Islam, dugaan tidak memiliki tempat. Sebab, dugaan bersifat relatif, tegantung pengalaman dan keinginan masing-masing orang. Jumlah macam dugaan bisa sama dengan jumlah kepala yang menduga. Jadi, bisa berbeda-beda. Padahal jika ada dua atau lebih yang berbeda, kemungkinannya hanya dua: semuanya salah atau hanya ada satu saja yang benar.
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (al-Najm: 28)
Berpijak pada dalil dari Allah, manusia akan mendapatkan kepastian kebenaran tentang sesuatu yang tidak terverifikasi. Dan penarikan pemahaman tentang kebenaran itu adalah dengan melihat tanda-tanda di alam, baik makro kosmos maupun mikrokosmos.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Fushshilat: 53)
Teorinya adalah jika al-Qur’an mengatakan tentang segala sesuatu yang terverifikasi ternyata benar, maka ketika menyatakan tentang sesuatu yang tak terverifikasi juga harus dianggap sebagai kebenaran. Anggapan kebenaran itulah iman: kepada Allah, Malaikat, akhirat, surga, negara, dll yang oleh al-Qur’an disebut sebagai yang ghaib.
Ilmu atau pengetahuan tentang itu hanya bisa ditangkap oleh orang-orang yang memiliki kebiasaan berpikir atau merenung tentang, baik ayat qawliyah maupun kawniyah, dan independen. Sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki kebiasaan merenungkan tanda-tanda Allah maka tidak akan sampai kepada kebenaran itu. Dan mereka yang memiliki vested interest, walaupun mengetahui kebenaran itu, mereka tidak akan mau menerimanya. Kepada mereka yang belum sampai kepada kebenaran karena tidak melakukan aktivitas berpikir itulah yang oleh al-Qur’an harus diajak. Dan cara mengajaknya dengan hikmah dan maw’idhah hasanah.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (al-Nahl: 125)
Hikmah dalam konteks ini tidak hanya mengetahui kebenaran, tetapi memiliki cara yang efektif dan efisien untuk membuat orang yang diajak mau menerima, walaupun belum bisa sepenuhnya. Walaupun memiliki ambisi yang sangat kuat untuk membuat orang lain mendapatkan hidayah untuk beriman, tetapi tetap berlapang dada menerima kenyataan.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran: 159)
Dakwah harus dilakukan dengan menyesuaikan keadaan kaum yang menjadi objek dakwah. Dan itu membutuhkan kebijaksanaan tinggi. Sebab, banyak cara dan materi dakwah yang kalau dilihat dari aspek luarnya, bisa dikatakan sebagai bid’ah. Namun, sesungguhnya itu adalah jalan yang bijak untuk sampai pada tujuan puncak. Misalnya: tahlilan, membaca al-Qur’an sehari sejuz, dll. sampai pada perjuangan politik dalam rangka mentransformasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam produk kebijakan politik.
Comments