Generasi Pelopor

Planet NUFO
Baladena.ID

Pemuda hari ini masih banyak yang memiliki pola pikir hidup untuk dirinya sendiri dan keluarga saja. Sehingga mereka tidak memiliki visi yang tajam, tidak memiliki gerakan dan cita-cita yang besar, juga tidak memiliki ambisi yang meledak-ledak. Celakanya, mereka juga memiliki mental lemah, cengeng.

Prestasinya pun cenderung minim. Cita-citanya hanya sekedar bisa hidup bahagia dan membahagiakan saudara dan keluarganya. Sementara aspek yang lebih besar, seperti memajukan bangsa dan negara, seolah menjadi tidak penting. Akibatnya, mereka hanya menjadi generasi lembek, sekedar grudak gruduk (sekedar ikut-ikutan), bahkan parahnya lagi, mereka hanya sekedar menjadi generasi penikmat.

Padahal kita semua mengetahui betul bahwa generasi muda adalah tumpuan bangsa. Ardy Purnomo (2019), menyebut bahwa pemuda sebagai generasi yang di pundaknya “terbebani” berbagai macam harapan bangsa, terutama dari generasi lainnya. Hal ini benar adanya karena mereka adalah generasi penerus dan sekaligus generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan ke arah yang lebih baik.

Dalam masyarakat, pemuda merupakan entitas yang amat potensial. Jika diilustrasikan dalam bentuk piramida, maka posisi pemuda berada di tengah; menjadi penghubung dan penerus antara generasi anak-anak dan generasi tua. Kedudukan yang strategis itu, mereka didapuk menjadi generasi pelopor.

Fakta sejarah membuktikan bahwa setiap peristiwa penting yang terjadi di Indonesia, bahkan dunia, selalu ada generasi muda di dalamnya. Kita juga paham betul bahwa cikal-bakal gerakan untuk memerdekan Indonesia dari belenggu penjajahan kala itu adalah para generasi muda yang memiliki visi besar, cita-cita tinggi, dan pedulit terhadap masa depan bangsa, berkumpul dalam wadah yang kemudian kita kenal sebagai “Boedi Oetomo”.

Generasi Penikmat

Pemuda memang identik dengan kaum yang akan menentukan perubahan-perubahan di masa sekarang dan akan datang. Mereka akan menjadi pelopor kebaikan, terwujudnya keadilan sosial, dan konsisten memajukan negeri. Namun, banyak kalangan menyayangkan kondisi generasi muda saat ini. Akademisi Universitas Airlangga, I Basis Susilo, dalam artikelnya, Menunggu Sumpah Generasi ‘Nongkrong’ (Kompas, 2008), mengatakan bahwa generasi muda saat ini kelihatan santai dan lebih memilih nongkrong di kafe atau pinggir jalan daripada secara seius memikirkan persoalan yang sedang menderai bangsa untuk kemudian mecari problem solving-nya.

Ibnu Khaldun mengistilahkan generasi semacam itu sebagai generasi penikmat. Sehingga, mental yang berkembang dalam generasi ini adalah cenderung menikmati apa yang sudah ada. Kemudian salah satu indikator yang paling mencolok generasi ini adalah banyak teori (diskusi yang kering solusi, mengeluh, dan suka foya-foya). Jika diamati seksama, maka indikator sebagaimana yang disebutkan sungguh sudah terjadi di sebagian besar generasi saat ini. Generasi penikmat, meminjam istilah Mohammad Nasih (2012), bahwa generasi semacam ini memiliki jargon “ Ketika Aku Bergaya, Maka Aku Ada”. Hedonis, pragmatis, dan polesan menjadi ciri utama generasi ini.

Menjadi Generasi Pelopor

Manusia adalah makhluk yang sempurna. Alquran menyebutnya sebagai ciptaan yang sebaik-baiknya (QS. Al-Tin: 4). Bersamaan dengan itu, manusia juga diberi amanat sebagai (khalifah)—wakil tuhan—di bumi. Untuk itu, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan dan kenyamanan di dunia dan akhirat.

Kondisi Indonesia saat ini, dimana korupsi semakin menjadi, krisis kepemimpinan semakin menggumpal nyaris tidak teruraian, intoleransi, meningkatkanya paham kapitalis, liberalis, dan hedonis. Semakin mengiris hati. Betapa tidak. Ibu pertiwi sedang sakit. Banyak realita yang dibungkus dengan rapih padahal itu busuk.

Logika-logika atau nalar masyarakat sudah dihancurkan pelan-pelan melalu pembodohan yang terstruktur. Lihat saja, penoabatan Slank jadi Duta Santri Nasional. Padahal mereka memiliki track record kurang baik, pernah foto bugil. Orang jujur tersungkur. Orang jahat naik pangkat! Kondisi yang demikian ini menuntut adanya perubahan yang lebih baik.

Bung Karno, tokoh besar bangsa Indonesia dan banyak tokoh besar lainnya percaya dengan kekuatan kaum muda yang bisa membawa perubahan. Untuk itu, kaum muda harus sadar akan peran setrategisnya.

Di zaman yang serba berteknologi yang canggih seprti saat ini, jiwa kaum muda tentu tidak cukup hanya bisa menggebu-gebu saja. Jiwa yang penuh spirit perubahan itu harus diselaraskan dengan penguasaan terhadap kemajuan tekonologi. Jadi, pemuda harus menjadi pelopor perkembangan tekonologi.

Dunia politik juga menuntut peran aktif pemuda. Tentunya pemuda yang benar-benar berdaya sehingga ketika memasuki dunia “gelap” ini akan menjadi politisi muda yang berdaya. Praktik korupsi harus diputus rantainya dengan mengganti “kepala-kepala” saat ini dengan generasi yang haus akan keadilan, kesajahteraan, perdamaian dan lain sebagainya. Begitu juga dalam aspek kehidpuan lainnya.

Yang perlu dicamkan dalam hati dan fikiran pemuda saat ini adalah bahwa perubahan, kemajuan tidak datang secara tiba-tiba dari langit. Perlu langkah dan setrategi yang terencana, terarah, dan gerakan yang jelas. Tanpa semua itu, perubahan akan berhenti pada bayangan saja, tidak pernah bisa dirasakan secara nyata.

Zaenal Mutaqin (2012), menjelaskan bahwa masa muda adalah masa yang penuh dengan harapan, sarat dengan cita-cita dan penuh romantika kehidupan yang sangat indah. Lebih lanjut lagi, Yusuf Qardhawi dalam al-Waqtu fi Hayati Muslim, menegaskan bahwa masa muda adalah sebagian waktu dari umur manusia yang memiliki nilai istimewa. Sebab, masa muda adalah masa yang penuh vitalitas, energik, penuh dengan kemauan kuat, dan masa kekuatan diantara dua kelemahan: kelemaham masa kanak-kanak dan kelemahan masa tua.  Maka, wahai pemuda, jadilah pelopor perubahan, jangan menjadi generasi biasa-biasa saja, apalagi generasi penikmat!

Tentu untuk menjadi generasi pelopor tidak mudah. Artinya, perlu kapasitas keilmuan yang memadai. Imam Syafi’i (767-819 M), menyentil generasi muda sebagai berikut: “Sungguh pemuda itu distandarisasi dari kualitas ilmu dan ketaqwaannya. Jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya, ia tak layak disebut pemuda. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan (syubbanul yaum rijalul ghadd).”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *