Dampak Perkawinan di Bawah Umur

*Oleh: Selviany, S.E., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas peran keluarga, pendidikan, dan lembaga keagamaan dalam membentuk kesadaran generasi muda mengenai pentingnya menjaga nilai-nilai moral dan agama.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan akibat kehamilan pranikah, implikasi hukumnya, serta solusi yang tepat guna menekan angka kejadian serupa di masa mendatang.

Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2023, terdapat 25,53 juta perempuan di Indonesia yang menikah pada usia di bawah 18 tahun. Dari data tersebut, Indonesia menduduki peringkat empat dengan kasus perkawinan di usia muda terbanyak di dunia, setelah India, Bangladesh, dan China.

Beberapa dampak pernikahan dini yang membahayakan diantaranya, Gangguan Kesehatan akibat pernikahan dini, perempuan berisiko mengalami osteoporosis. Selain membuat tubuh menjadi bungkung, tulang lebih rapuh dan mudah patah, dan Risiko Bayi Lahir Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang akan terlihat lebih pendek untuk anak di usianya.

Risiko tersebut dapat terjadi karena adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan yang membuat potensi melahirkan bayi stunting lebih besar serta Pernikahan Tidak Harmonis.

Menikah membutuhkan kesiapan psikologis yang matang, karena akan ada banyak pasang-surut masalah di dalamnya. Pada kasus pernikahan dini, biasanya pasangan belum memiliki kesiapan mental yang kuat dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Akibatnya, perceraian pada pasangan pernikahan dini sangat tinggi lantaran ketidakharmonisan rumah tangga dan minimnya pengetahuan tentang manajemen emosi serta penyelesaian masalah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur ketentuan mengenai perkawinan di Indonesia, dengan menekankan pentingnya persetujuan kedua belah pihak, usia minimum, dan tata cara perkawinan yang sah. Tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Oleh karenanya, penting adanya cara Pencegahan Pernikahan Dini dengan :

Menyediakan Pendidikan Formal Memadai

Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan akses pendidikan formal yang memadai, maka pernikahan dini dapat dicegah. Setidaknya anak-anak dapat menyelesaikan pendidikan SMA sebelum menikah.

Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan untuk mencari pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi keluarga.

Sosialisasi Tentang Pendidikan Seks

Kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia. Mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual penting untuk dilakukan. Hal ini karena masih kurangnya pengetahuan tentang hubungan seksual yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan hingga dipaksa untuk menikahi pasangan mereka.

Memberdayakan Masyarakat Agar Lebih Paham Bahaya Pernikahan Dini

Orang tua dan masyarakat sekitar adalah stakeholder terdekat yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka terkait konsekuensi negatif dari pernikahan dini.

Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini.

Meningkatkan Peran Pemerintah

Agar tidak menimbulkan komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan cara mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan usia minimum pernikahan. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun.

Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah pernikahan dini di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya lebih sering melakukan sosialisasi undang-undang baru tersebut, agar masyarakat dapat memahamiya

Mendorong Terciptanya Kesetaraan Gender

Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan dini lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga.

Sebaliknya, laki-laki justru lebih dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian secara ekonomi sebagai kesiapan. Padahal, baik perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus berkarya tanpa harus ditakuti.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *