Awal dari Sebuah Keputusan

secara umum, metode penafsiran[2]--meminjam kategorisasi al-Farmawi[3]—yang dipakai ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran dibagi menjadi empat
Ilustrasi

 

“ Wa idzaa quri’a al-qur’aanu fastamiuuw lahu wa ansituw la’allakum turhamuun. Shadaqallahul adzim.”

 Terdengar suara bacaan al-Qur’an yang memecahkan kesunyian shubuh di negeri tanah rencong. Membuat hati-hati manusia yang mendengarkannya menemui ketenangan jiwa. Merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap nafasnya. Bacaan indah nan menenangkan itu berasal dari sebuah surau yang tak jauh dari bibir pantai yang menilisik. Siapakah gerangan indah tersebut. Ia adalah Hafizah seorang gadis manis putri pemangku adat di desanya. Siapapaun orang tak pernah melihat wajahnya yang ayu didatangi awan hitam. Harinya penuh dengan kasih sayang. Karena tiada hati yang mampu marah ketika melihat tindak tanduknya penuh dengan akhlak.

Waktu bagaikan kapas yang menabrak dinding batu. Tak terasa begitu cepat ia berlalu karena terbawa dalam gelayutan bacaan yang merdu membuta, membuat manusia tak menyadari keheningan Shubuh menyingkir berganti dengan keramaian kegiatan masyarakat. seiring matahari yang mulai terangkat.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

“Zah, kesini nak!” panggil Abahnya setelah ia pulang dari surau yang hanya berjarak lima belas meter dari rumah.

“Iya, Bah.” Amin hafizah

“hari ini kamu liburkan? Jadi, Abah mau cakap panjang sama kamu. Bisa?” tanya Abah Hafizah.

“Abah ini macam tak pernah bicara macam tempo hari lalu saja. Biasalah, Abah.” Jawab dengan nada ledek Hafizah.

“Ouh, gitukah?” timpal Abah. Kemudian terdengar suara tawa abah dan putrinya tersebut.

“Kamu sebentar lagi selesai SMA kan? Jadi, Abah nak beri tahu saja. Esok, nak Husen mau lamar kamu. Abah tak memaksa kamu untuk menerima nak Husen. Semua keputusan ada padamu. Karena yang menjalani rumah tangga nanti kamu. Tapi, Abah nak beri tahu saja bahwa nak Husen adalah orang yang sopan, baik, tak usah diragukan lagi kegamaannya dia sudah jadi ustadz di Pondok pesantren di Kota, Nasabnya pun baik. Abah pasti senang jika kamu bisa menikah dengan dia. Tetapi, semua abah kembalikan ke Kamu.”

Mendengar ucapan abah, seakan dunia Hafizah merintih. Karena cita-citanya untuk kuliah di luar harus tergadaikan jika ia menikah dengan orang yang belum ia kenal. Walau abah memberikan semua keputusan kepada Hafizah. tetap saja ia sungkan untuk menolak lamaran Husen. Hafizah kebingungan bagaimana ia harus menanggapi semua itu. ia tak ingin Abah tahu apa yang ia inginkan. Hingga akhirnya ia putuskan karena tiada jalan keluar selain mengadu dan menyerahkan  apa yang ia hadapi kepada Sang Pemilik Takdir.

Dalam sholat malamnya ditengah ruh yang terlepas dari raga-raga. Hafizah mengutarakan semua keluh kesah pada Tuhan, Seakan-akan Tuhan hadir di depannya. Dengan nada kesedihan yang tak pernah ia tampakan kecuali hanya pada Tuhan.

“Tuhan, benarkah Engkau takdirkan diriku untuk menjalin Bahtera Cinta dengan Husen? seorang yang belum ku kenal. Padahal Aku ingin lebih menikmati kebodohanku dengan belajar lagi di Perguruan Tinggi. Namun, jika memang ini kehendak-Mu aku percaya Engkau adalah Maha Tahu bagi setiap Hambanya.”

***

Fajar menyingsing menyisakan harapan agar tuhan memberikan pilihan yang terbaik untuk Hafizah. Rasa gusar menyandra raga dan jiwa. Sontak saja, semua rasa buyar tak begitu paham dunia ketika mobil Avanza berhenti tepat didepan rumahnya. Abah pun menuju keluar pintu untuk menyambut kedatangan sosok Husen dan keluarganya. Nampak dari kejauhan Abah bercakap-cakap seperti kawan biasa dengan laki-laki yang seumuran dengan Abah. Tak lama Abah mengajak mereka untuk masuk dan duduk diatas sofa ruang tamu.

“Hafizah! Ini keluarga nak Husen sudah datang. Bawa minum sekalian ya.”

“Ya, Bah.” Sambil meneteng nampan berisi teh yang sudah disiapkan sedari tadi sebelum Keluarga Husen datang. Hafizah sambil melihat dibangku sofa gerangan laki-laki mana yang mau melamarnya. Tertujulah pada seorang pemuda yang tampak gagah dan tampan. Tetapi, semua itu belum membuat hati Hafizah tertarik untuk mengenal lebih lanjut.

“Bah, Maaf langsung saja. Maksud Kami datang kesini ingin melamarkan anak saya, Husen dengan nak Hafizah. Sesuai dengan rencana perjodohan anak kita dahulu. Walaupun begitu semua tetap kita serahkan kepada anak kita masing-masing. Kemarin saya sudah bertanya kepada anak sya husen mengenai hal ini. Dan Husen bersedia. Nah sekarang keputusan nak Hafizah. Monggo saya serahkan ke Abah.” Pemaparan dari Ayah Husen dengan nada bicara yang lembut khas orang Aceh.

“Abang, seperti yang abang katakan tadi. Keputusan ada ditangan anak saya, Hafizah. Saya mohon sangat, apapun yang Hafizah berikan nanti tidak mengganggu ukhuwah kita seperti tempo kemaren. Silahkan, Nak Hafizah keputusan ada pada kamu” Dengan posisi tangan Abah mempersilahkan Hafizah. Sehingga membuat semua manusia di sana tertuju padanya dengan suasana hening ia menjawab.

Bismillahrahmanirahim, Sebelumnya saya ucapakan terima kasih kepada keluarga Abang Husen yang bermaksud nak melamar saya. Tetapi, menurut saya ini adalah keputusan yang sangat penting, yang akan menentukan hidup saya kedepan. Saya mohon kepada Abang Husen untuk memberi saya waktu tiga hari. Keputusan akan saya sampaikan nantinya.” Mendengar permintaan tersebut Husen menyanggupi.

“Boleh sekiranya saya meminta nomor WA Abang husen? Sekiranya biar bisa saya sampaiakan jawaban yang abang nantikan” pinta Hafizah.

“Dengan senang hati” Timpal Husen.

****

Dua hari telah berlalu. Tiada malam Hafizah tanpa kesungguhan hati untuk berbincang dengan Tuhan. Hingga akhirnya ia memilih suatu pilihan yang menurut ia sudah dipertimbangkan secara matang dengan Abah.

Assalamu’alaikum, Bang Husen. Saya Hafizah. Sudah dua malam berlalu, Saya harap Abang tak kesal karena permintaan saya membuat Abang menunggu jawaban saya.” Chat Hafizah tepat pukul 20.00 WIB. Menghujam Hp Husen.

Wa’alaikum salam. Tak ada kesal sedikitpun dalam hati saya. Karena pada dasarnya ini sebuah pilihan. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersama tiada mahluk yang bisa menghalangi dan begitu pula sebaliknya jika kita tidak berjodoh. Apapun jawaban dek Hafizah akan saya dan keluarga terima dengan baik sebagaiamana amanat Abah dek Hafizah tempo kemarin. Saya percaya dek Hafizah wanita sholehah Insya’allah akan mendapatkan pasangan yang sholeh juga.” Jawaban yang sontak membuat hati Hafizah sempat tersentuh.

“Aamiin, Sebelum Hafizah memberikan jawaban. Hafizah nak tanya kepada Abang. Apa hal yang membuat Abang percaya bahwa Hafizah ini makmum yang baik buat Abang?” Tanya tegas hafizah.

“Saya melihat Tuhan pada diri Adek. Sebagaimana Qais melihat Laila.”

“Maksud Abang?”

“Saya sudah mendengarmu dari Ayah Abang. Bagaimana sikap dan cara berpikirmu yang logik. Membuat saya semakin percaya pada Pilihan Ayah Abang” jawab Husen dengan Jelas.

“Baiklah jika seperti itu, Esok saya akan memberikan jawabannya, Bang”

Malam berlalu meninggalkan semua percakapan lewat sekat alat. Sesuai dengan janji yang Hafizah berikan. Ia dengan harap cemas mengirimkan sebuah pesan WA kepada husen pada subuh hari ketika semua orang bertelungkup menemui sang pencipta.

Bismillahi al-Rahaman al-Rahim. Assalamu’alaikum, Bang Hasan. Fajar ini akan menjadi saksi kisah kita. Sebagaimana saya berjanji. Keputusan akan saya berikan. Berawal dari lubuk hati saya yang terdalam saya belum siap untuk menikah atau menjalin hubungan lebih serius dengan Abang Husen. Bukan karena Abang jelek perilaku. Melainkan sikap saya yang ingin belajar lebih lanjut ke bangku kuliah di tanah jawa. Jujur saya belum siap untuk menjalin komitmen ketika saya jauh. Sebagaimana kata abang kemaren orang baik akan dapat orang baik. Macam itu saya melihat abang. Menurut pandangan saya, Abang adalah orang yang sholeh insya’allah akan mendapati wanita yang lebih sholehah dibanding saya. Terima kasih, Bang. Wassalamu’alaikum

bersambung…..

 

 

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar