Pada sesuatu yang disebut dengan kebenaran, aku akan setia.
Sudah banyak perumpamaan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Banyak pula kisah – kisah yang dapat dijadikan sebagai pelajaran. Tentang berkah, tentang keindahan, tentang kelahiran, tentang surga, tentang kebinasaan, tentang adzab, tentang siksa, tentang kematian, tentang neraka, tentang keadilan, dan tentang panduan hidup sempurna yang termaktub dalam Kitab-Nya. al-Qur’an.
Tentang semua itu, aku akan setia.
***
Tau kah kamu tentang waktu yang tidak dapat terulang kembali? Atau masa lalu yang hanya menjadi kenangan? Karena sesuatu yang sudah berlalu, sudahkah kamu sadar diri untuk memperbaiki?
Mengertikah kamu tentang kesengsaraan yang kau alami? Sebab mengapa itu bisa terjadi? Jangan katakan itu karena Takdir. Jangan berbicara takdir secepat itu, ada usaha/pilihan (ikhtiar) yang harus kita mengerti dan jalani.
Ingat, kesengsaraan adalah jalan yang telah kau pilih selama ini, iya… sangat lama, sampai – sampai kamu lupa sudah berpuluh tahun kamu setia kepada kesengsaran itu. Masihkah kamu tidak peduli tentang kejadian seperti itu?
Atau tentang derita yang sampai saat ini kamu mencari siapakah kambing hitam yang berada di belakang peristiwa itu?
Pada tangis kesadaran lah kamu harus merindu.
***
Air matamu sudah kering. Walaupun musim hujan tidak datang di bulan Mei. Tapi hatimu masih basah dengan kegelisahan tak berujung. Jagalah dirimu dari solusi, belajarlah, mengalahlah, merendahlah, dan bertemanlah.
Pada sesuatu yang dinamakan dengan kebenaran, Aku akan setia.
***
Pahitnya hidup bukan suatu kerendahan, tetapi kesiapan diri untuk menuai sesuatu yang lebih baik yang berada dibelakangnya. Kenanglah ribuan obat – obat yang telah kau tenggak, mungkin puluhan atau kurang, obat terasa manis, bahkan hampir tidak ada obat yang meiliki rasa manis. Karena sejatinya kepahitan lah yang akan menguatkan, dan bisa jadi, sesuatu yang manis malah membahayakan. Karena itu, tidak perlu berharap kepada obat untuk berubah rasa pahit menjadi manis. Biar lah seperti itu, tetaplah demikian.
Pesan ku, menangislah, Sayang. Lebih keras!!! Jangan malu untuk menangis. Karena dia (tangis) bukan sosok anak kecil, atau kelabilan jiwa seseorang. Itu adalah jalan menuju kedewasaan, yang lebih tepat disebut sebagai pendewasaan.
Karena dengan tangis kamu akan mengerti. Karena dengan air mata kamu akan sadar. Karena dengan kecengengan kamu dapat menerima. Menerima sesuatu yang telah kamu angkuhkan. Mengertilah wahai hati, tentang hal itu.
Pada sesuatu di atas, Aku akan setia.
***
Dulu tidak wujud, sekarang ber-ada, dan pasti, esok akan ti-ada. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi pengulangan yang perlu untuk direnungkan. Karena hidup adalah titipan, maka bersiaplah sekarang untuk diminta. Tak perlu kata nanti jika kata sekarang bisa terjadi.
Sekarang, sudahkah kamu setia?
***
Dan satu hal. Tak perlu ada kata ‘jika’, jika ‘maka’ saat ini bisa kau rasakan, dalam waktu ini dapat kau lakukan. Merenunglah dengan melakukan. Kebenaran itu ada, berapa lama lagi kamu ingin tersesat, wahai jiwa? Berapa panjang lagi gelaran aspal kan kau injak-injak percuma?
Tuhan, akal ku tidak akan sampai pada hakikat-Mu. Tapi tanda tangan-Mu? Dapat kami lihat, dapat kami rasakan, dan dapat kami buktikan.
***
Dan dalam penghujung dari segala kesetianan, tak lupa ku tanyakan: “Puan, jika kamu setia kepada-Nya, aku akan setia kepadamu. Maaf, kali ini saya meminjam ‘jika’, karena saya masih (adalah) manusia sesat, semoga sesaat. Dan kamu, segala puji bagi Tuhan. Aku akan setia.”
~Daar al-Qolam satu, salah satu tanggal di bulan Mei 2018