Tetap Puasa Sunnah atau Memenuhi Tawaran Makanan? Begini Penjelasan Fikihnya

Puasa sunnah, seperti puasa Senin dan Kamis, merupakan amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia bukan hanya sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga menjadi ladang pahala yang luas bagi siapa pun yang mengamalkannya. Namun dalam praktiknya, seorang muslim bisa saja dihadapkan pada situasi yang membuatnya ragu-ragu, seperti saat sedang berpuasa sunnah lalu ditawari makanan oleh orang lain. Apakah harus menolak dan tetap melanjutkan puasa, atau boleh membatalkannya demi menghormati si pemberi makanan?

Pertanyaan semacam ini dijawab dengan sangat jelas oleh Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Dikisahkan bahwa suatu hari Rasulullah ﷺ datang ke rumah sepupunya, Umu Hani’. Beliau kemudian disuguhi minuman dan meminumnya. Setelah itu, beliau menawarkan minuman itu kepada Umu Hani’, namun Umu Hani’ menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang berpuasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Orang yang puasa sunnah itu memegang urusan dirinya. Jika ia mau, maka lanjutkan puasanya. Dan jika ia mau, maka boleh membatalkannya.”
(HR. Tirmidzi, hasan)

Hadis ini menjadi pijakan penting dalam memahami fleksibilitas syariat terhadap ibadah-ibadah yang bersifat sunnah. Rasulullah ﷺ tidak menyalahkan Umu Hani’ karena sedang berpuasa, namun juga tidak mengharuskannya untuk melanjutkannya jika ia tidak menghendaki. Inilah bukti bahwa Islam adalah agama yang penuh kelembutan dan kemudahan.

Dari sini, dapat dipahami bahwa puasa sunnah berbeda dengan puasa wajib. Seorang muslim yang sedang menjalankan puasa sunnah memiliki kelonggaran untuk membatalkannya, dan hal itu tidak dianggap berdosa. Bahkan para ulama menjelaskan, selama puasa tersebut belum menjadi nazar atau janji yang mengikat, maka seseorang bebas memilih untuk melanjutkan atau membatalkannya, selama tidak disertai dengan niat meremehkan ibadah.

Namun demikian, dalam konteks ketika seseorang ditawari makanan oleh temannya, keputusan untuk membatalkan atau melanjutkan puasa hendaknya dilandasi oleh pertimbangan yang bijak. Pertama, jika seseorang merasa bahwa menolak makanan tersebut tidak akan menyinggung perasaan orang yang memberi, maka melanjutkan puasa tentu lebih utama, karena ia tetap menjaga kontinuitas ibadah yang telah ia mulai dengan niat ikhlas.

Di sisi lain, jika kondisi sosial atau emosional menunjukkan bahwa menolak makanan justru dapat menyakiti hati orang lain, memutus silaturahmi, atau menimbulkan salah paham, maka membatalkan puasa menjadi pilihan yang diperbolehkan bahkan dianjurkan. Apalagi jika tujuannya adalah untuk menjaga hubungan baik dan keharmonisan antar sesama. Dalam keadaan demikian, seseorang tetap mendapatkan pahala atas niat puasanya, dan bisa mengganti puasa sunnah itu di hari lain jika menghendaki.

Prinsip dasarnya adalah bahwa puasa sunnah adalah ibadah yang sangat fleksibel dan Allah melihat niat hamba-Nya. Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan bahwa “puasa sunnah itu berada di tangan orang yang melakukannya.” Maka keputusan membatalkan atau melanjutkan tidak dilihat semata-mata dari sisi zahir, tetapi dari niat, hikmah, dan maslahat yang ingin dicapai.

Dengan demikian, ketika seorang muslim di tengah puasa sunnah ditawari makanan, tidak ada salahnya jika ia mempertimbangkan dengan bijak: apakah lebih maslahat untuk melanjutkan puasanya ataukah lebih baik membatalkannya demi menjaga ukhuwah? Keduanya benar, selama diniatkan karena Allah dan tidak keluar dari adab serta semangat syariat yang lurus.

Islam tidak ingin menjadikan ibadah sebagai beban, tetapi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat hubungan antarsesama. Maka siapa pun yang membatalkan puasa sunnah demi kebaikan yang lebih besar, insyaAllah tetap dicatat amalnya dan tidak kehilangan keutamaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *