Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang; Guru Utama Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang; Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI

Pada medio 2011, bersama dengan beberapa aktivis muda di Ngaliyan, Kota Semarang, saya mendirikan sebuah rumah perkaderan untuk membina mahasiswa agar menjadi kader Islam yang memiliki tiga kualifikasi penting: berilmu, berharta, dan berkuasa. Mereka mendapatkan fasilitas asrama dan beasiswa SPP/UKT untuk kuliah sampai lulus. Konsepsi trilogi yang menjadi kualitas mahasantri itu tidak muncul tiba-tiba. Ia muncul dari pergulatan dengan realitas sosial politik saat itu, juga gagasan dua pemikir muslim yang berasal dari firqah yang berbeda, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Ali Syari’ati. Yang pertama Sunni, dan yang kedua Syi’ah. Latar belakang kedua tokoh yang berbeda menjadi sesuatu yang sangat bernilai bagi saya untuk membangun perspektif yang mempertemukan antara pengikut Sunni dan Syi’ah.

Sebagai seorang yang dikenal sebagai sulthân al-awliyâ’, al-Jilani berpandangan bahwa tidak layak menjadi mursyid apabila tidak memiliki kualitas ilm al-ulamâ’, hikmat al-hukamâ, dan siyâsat al-mulûk. Pandangannya tentang ini tentu saja sudah melalu kontemplasi yang sangat mendalam, sehingga melahirkan pemahaman yang komprehensif mengenai prasyarat dasar untuk menjadi seorang mursyid yang memiliki kewajiban mengarahkan murîd. Sebab, jika seorang mursyid tidak memiliki wawasan yang luas dan ketrampilan yang mumpuni, maka dia justru akan menyesatkan dan usaha yang diorientasikan kepada perjuangan justru merugikan.

Sedangkan Syari’ati, sebagai intelektual aktivis revolusioner Iran, mengatakan bahwa revolusi hanya mungkin terjadi apabila ada tiga kekuatan bersatu. Ketiganya adalah intelektual yang tercerahkan (raushan fikr), pengusaha (bazari), dan tentara (asykari). Tentu saja ini juga berdasarkan latar belakang sosial politik yang dihadapi oleh Syari’ati. Intelektual yang tercerahkan diperlukan untuk melahirkan ide atau gagasan untuk memperbaiki keadaan. Sedangkan pengusaha diperlukan karena idealisme memerlukan materi atau logistik. Dan laskar diperlukan untuk menghadapi kekuatan otoriter yang menggunakan kekuatan bersenjata.

Pandangan kedua ulama’ berbeda firqah tersebut benar-benar mempengaruhi saya yang saat itu terlibat dalam aktivitas politik kepartaian pascareformasi yang menjadi kian liberal. Keduanya memiliki kesamaan mengenai keharusan adanya kelompok yang berbasis kepada ilmu. Basis keilmuan dalam Islam adalah dua sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an sebagai sumber pertama dan hadits Nabi Muhammad sebagai sumber kedua. Untuk menguasai ajaran Islam, keduanya harus benar-benar dipahami secara utuh. Memahami keduanya, tidaklah mungkin jika tidak menghafalkannya. Sebab, dengan hafalan al-Qur’an dan hadits, semua doktrin Islam sudah terwadahi di dada. Jika ada persoalan, solusinya bisa dibangun dengan sangat mudah, tanpa harus mencari-cari di dalam lembaran-lembaran referensi yang karena banyak/tebalnya akan sangat menyulitkan. Saya menyadari bahwa menghafalkan hadits Nabi Muhammad bukan perkara mudah. Namun, untuk menghafalkan al-Qur’an, sesungguhnya tidaklah terlalu sulit. Untuk bisa menghafalkannya dengan baik, hanya diperlukan konsistensi menambah hafalan dan melakukan pengulangan setiap hari dengan kuantitas menyesuaikan kapasitas kecerdasan/daya hafal. Al-Qur’an menjadi lebih mudah dihafalkan jika terlebih dahulu dipahami artinya.

Baca Juga  Politik, Logika, dan Logistik

Namun, pada saat awal proses kaderisasi di rumah perkaderan yang kami mulai di tiga rumah kontrakan di sebrang kampus III IAIN (sekarang UIN) Walisong itu, para mahasantri belum saya wajibkan untuk menghafalkan al-Qur’an. Hanya selalu saya tekankan bahwa menghafalkan al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan jika ingin menjadi intelektual muslim yang sejati. Bahkan sering saya beri tekanan lebih bahwa tidak bisa disebut sebagai intelektual muslim jika tidak hafal al-Qur’an, karena al-Qur’an memuat doktrin dasar Islam. Untuk memahaminya secara utuh, diperlukan wawasan yang dihasilkan dari interkoneksi banyak ayat yang ada di dalamnya bahkan harus juga ditemukan pesan moral terdalamnya. Jika tidak ada interkoneksi itu, maka pemahaman yang dihasilkan bisa jadi hanyalah pemahaman yang parsial yang berpotensi sangat besar melahirkan kekeliruan.

Pada tahun kedua, saya mulai membuka jalur khusus untuk pendaftar beasiswa yang sudah hafal al-Qur’an. Mereka langsung diterima masuk di rumah perkaderan tanpa seleksi. Jika pun mereka mengikuti seleksi, itu hanya formalitas saja. Bahkan hafalan mereka pun tidak saya uji lagi. Pikiran saya sederhana, tidak mungkin para penghafal al-Qur’an berbohong. Yang penting mereka bisa menunjukkan bukti pernah menyelesaikan hafalan di pesantren mana saja, biasanya dalam bentuk sertifikat.

Pada tahun ketiga, karena proses kaderisasi sudah semakin mapan, dan jumlah mahasantri sudah hampir 100 orang, menghafalkan al-Qur’an kian saya tekankan dan mulai saya buka setoran hafalan al-Qur’an. Waktu itu, mahasantri penghafal boleh menyetor hafalan walaupun hanya dua, bahkan satu halaman saja. Setiap akhir pekan mulai banyak mahasantri yang menyetor hafalan secara bergantian.

Pada tahun 2014, menghafalkan al-Qur’an resmi saya wajibkan. Dengan keberadaan banyak mahasantri yang sudah mengikuti proses menghafalkan al-Qur’an, saya berasumsi bahwa menghafalkan al-Qur’an tidak akan menjadi momok yang menakutkan lagi. Sebab, sudah ada banyak senior yang bisa dijadikan contoh dan memberikan motivasi secara konkret untuk menghafalkan al-Qur’an. Jika pun akhir pekan saya masih ada agenda di Jakarta dan tidak bisa ke Semarang, mereka bisa melakukan simaan secara bergantian, baru kemudian menyetorkan hafalan kepada saya.

Setelah dua tahun berjalan, capaian hafalan para mahasantri saya pandang tidak optimal. Rata-rata hanya mampu menghafal 13 juz saja, dan paling banyak 23 juz saja. Bagi yang tidak memiliki pengalaman menghafalkan al-Qur’an, hafal 13 juz tentu saja sesuatu yang luar biasa. Namun, bagi saya yang sudah menjalani proses menghafal, juga mengamati para santri tahfidh yang menghafal semasa saya dulu, sehingga mengetahui segala dinamikanya, ini adalah sebuah masalah. Dalam perkiraan awal saya, mestinya mereka bisa menyelesaikan hafalan dalam waktu dua tahun saja. Data ini membuat saya mulai mencari faktor penyebabnya. Namun, sudah beberapa bulan mencari faktor itu, ternyata belum juga saya temukan. Sampai suatu hari, ibu mertua saya menyampaikan bahwa beliau baru menguji salah satu mahasantriwati Monash Institute yang maju ujian proposal skripsi di Fakultas Ushuluddin. Di antara bahan uji andalan yang digunakan oleh para dosen adalah menulis ayat al-Qur’an. Dalam ujian yang sangat remeh temeh itu, mahasantri saya dinilai buruk. Saya sangat terkejut dengan apa yang disampaikan oleh mertua saya itu. Awalnya saya berburuk sangka kepada mestua saya. Saya menyangka, ibu mertua saya bersikap begitu karena istri saya tidak pernah saya ajak jalan-jalan, karena waktu saya habis untuk mengajar mahasantri setelah shubuh sampai matahari meninggi dan setelah shalat maghrib sampai pukul 21.00. Namun, dugaan saya ternyata salah. Mertua saya yang benar.

Baca Juga  Bolehkah Ustadz Berbisnis?

Selama hampir empat tahun, saya berasumsi bahwa cara mengajar bandongan, sebagaimana dilakukan di banyak pesantren tradisional, sudah tepat. Sebab, sejak kecil saya diajari dengan cara itu. Bahkan saya bisa membaca kitab pun karena belajar dengan metode itu. Terlebih mahasantri di Pesantren Monash Institute sudah diseleksi. Bandongan adalah guru/ustadz/kiai membaca kitab, dan murid mencatat makna yang disampaikan. Namun, ternyata masih juga ada mahasantri yang tidak mengembangkan dirinya dengan optimal. Karena itu, saya mengubah cara mengajar. Tidak ada lagi cara mengajar bandongan. Saya membaliknya. Setiap saya mengajar, harus ada empat mahasantri di depan. Dua perempuan di kanan saya dan dua laki-laki di kiri saya yang semuanya sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk membaca tafsir Jalalayn, dan kemudian saya tambah dengan 40 hadits yang saya kumpulkan. Ini saya modifikasi dari sistem sorogan yang bersifat individual. Dengan cara ini, saya sesungguhnya sedang mengajar dengan cara bandongan dan sorogan sekaligus. Sorogan untuk santri yang mendapatkan giliran membaca, dan bandongan untuk santri yang sedang tidak mendapatkan giliran membaca. Dengan cara ini, saya memastikan bahwa mahasantri benar-benar mampu membaca teks kitab gundul. Yang saya anggap kurang, akan saya instruksikan untuk dikelola secara lebih intensif oleh mentor-mentor yang sudah saya tunjuk.

Kejadian ini juga membuat saya mulai menduga faktor penyebab lambatnya capaian menghafal mahasantri adalah tidak menekankan kepada penguasaan arti perkata. Sebab, menghafal tanpa terlebih dahulu menguasai artinya lebih sulit tujuh kali lipat bahkan lebih dibandingkan menghafalkan yang telah diketahui artinya. Setelah saya memastikan tentang faktor penyebab ini, saya membuat kebijakan baru; setiap mahasantri harus bisa berbahasa Arab al-Qur’an dulu sebelum mulai menghafalkannya. Di masa awal tahun ajaran baru, para mahasantri juga digenjot dengan ilmu alat dan secara langsung mempraktekkan I’rab al-Qur’an. Bahkan, di antara uji untuk mengikuti program tahfidh di Monash Institute adalah mampu memahami Bahasa Arab dasar dalam waktu maksimal 1 bulan. Jika dalam waktu 1 bulan dipandang tidak menguasai Bahasa Arab, maka dinilai tidak layak untuk menghafalkan al-Qur’an dan disarankan untuk “angkat koper, pulang”.

Baca Juga  Deradikalisasi dan Islamophobia

Selain itu, mayoritas mahasantri yang masuk Monash Institute melalui jalur tahfidh, ternyata tidak benar-benar hafal al-Qur’an. Lebih tepatnya, mereka pernah menghafal al-Qur’an. Namun, hafalan mereka hilang, baik mereka sadari atau tidak mereka sadari. Itu terjadi karena mereka tidak melakukan simaan secara konsisten, sehingga mereka tidak menyadari bahwa banyak ayat yang telah mereka hafalkan ternyata sudah luntur. Ini juga terjadi pada para mahasantri yang sudah setoran hanya 1-2 halaman sekali duduk. Karena itu, saya membuat kebijakan baru bahwa setoran kepada saya minimal 1 juz sekali duduk. Dan sebelum maju setoran, mereka harus memastikan kesalahan maksimal 20 kali per juz dengan terlebih dahulu simaan dengana mentor masing-masing. Angka 20 muncul karena 1 juz terdiri atas 20 halaman al-Qur’an sudut yang digunakan oleh para penghafal al-Qur’an. Jika kesalahan dalam setoran melampaui jumlah halaman yang dibaca, maka saya anggap gagal dan harus mengulang lagi setelah simaan lagi dengan mentor tahfidh.

Setelah itu, tidak ada lagi jalur khusus bagi yang pernah menghafalkan al-Qur’an sekalipun. Semua harus melalui seleksi tanpa terkecuali. Bahkan jika mereka hafal dengan baik beberapa juz, kemudian saya minta untuk melakukan perubahan cara hidup. Kebanyakan mereka hanya hafal beberapa juz saja. Dan waktu menghafalnya adalah pada saat mereka menempuh sekolah menengah. Sebagian sejak SMP sampai SMU, atau saat SMU saja. Jika mereka hafal hanya 6 juz pada saat SMU, itu berarti rata-rata kemampuan menghafal mereka hanya dua juz saja dalam setahun. Jika itu dipertahankan, maka masih perlu 12 tahun lagi untuk bisa menghafal 30 juz. Dan itu nyaris tidak mungkin. Padahal, menghafalkan al-Qur’an itu bagaikan panjat pinang. Jika melakukannya dengan cepat, maka akan memiliki peluang besar untuk sampai puncak dan bisa bertahan di atas, karena sudah mendapatkan pegangan yang kuat. Namun, jika lambat, tidak sampai puncak, maka cepat atau lambat akan melorot ke bawah. Menghafalkan al-Qur’an juga bisa diibaratkan dengan lari sprint. Harus cepat sampai finish. Jika marathon, maka justru akan berpotensi kelelahan dan kehabisan nafas di tengah perjalanan.

Para orang tua yang memiliki anak-anak yang mengikuti program menghafal al-Qur’an harus melakukan verifikasi secara akurat. Caranya mudah, yakni dengan menyimak hafalan mereka secara langsung. Teknis sederhananya adalah meminta mereka menghafalkan al-Qur’an dan orang tua berada minimal dua meter dengan melihat mushhaf al-Qur’an. Hitung kesalahan yang terjadi. Jika masih lebih dari 20 kali, berarti hafalan belum bagus. Dengan cara inilah, para orang tua akan terbebas dari sikap membanggakan anak sebagai penghafal al-Qur’an, padahal mereka sesungguhnya hanya pernah menghafal, tetapi hafalan mereka telah hilang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Mlagen Rembang.

    Perlunya Percepatan Penggunaan Energi Bersih

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Filosofi