Abad 6 merupakan era klasik kemunculan sunnah Nabi. Sedangkan sekarang merupakan era modern atau era industri 4.0. Kehidupan manusia di era modern dipenuhi dengan teknologi, segala sesuatu serba digital dan terhubung internet. Ciri-ciri era 4.0 yaitu ditandai dengan kemajuan teknologi di bidang robotik dalam produksi, bidang manufaktur, dan penggunaan jaringan internet yang masif dalam berbagai bidang. Kemajuan teknologi inilah yang dapat menjadikan pekerjaan manusia lebih efektif dan efisien.
Keefektifan dan keefisienan yang diakibatkan kemajuan sains dan teknologi juga berdampak pada pengalaman atau kajian ajaran agama Islam. Artinya pemahaman tekstual tentang sunnah Nabi yang termuat dalam hadith harus dapat disesuaikan dengan zaman sekarang yang serba digital. Pemahaman tentang sunnah Nabi tidak cukup dengan menguasai bahasa Arab dan rasionalitas saja. Akan tetapi, pemahaman sunnah Nabi harus mengalami perkembangan dengan menggunakan pendekatan sains dan teknologi. Jadi, pemahaman tentang sunnah bukan hanya dipahami secara tekstual tapi juga rasional dan kontekstual menyesuaikan perkembangan zaman.
Di dalam tradisi Islam klasik, terdapat dua metode yang digunakan untuk memahami teks keagamaan seperti hadith, yaitu pemahaman tekstual dan rasional. Para kelompok tekstualis meyakini bahwa kebenaran berasal dari teks secara harfiah atau makna yang dimaksud di dalam teks. Bukan berasal dari akal atau rasionalitas. Tokoh islam yang memiliki pola pikir ekstrim tentang pemahaman secara tekstual yaitu Abu Dawud al Zahiri dengan kelompoknya yang disebut madzhab zahiri. Pola pemahaman secara tekstual seperti ini disebut juga dengan bayani dengan tokoh peletak dasarnya yaitu al Syafi’i.
Berbeda dengan pemahaman secara tekstual, pemahaman secara rasional memiliki pandangan bahwa suatu teks tidak cukup dipahami secara harfiah saja tetapi juga harus disertai dengan argumentasi yang logis sebagai pondasinya atau dasarnya. Kelompok rasional berpendapat bahwa kebenaran tentang suatu teks berasal dari subsatansi yang terkandung dalam teks tersebut dan sesuai dengan alasan rasional atau alur logika yang menjadi latar belakang ajaran itu sendiri. Ada beberapa tokoh yang mengemukakan pemahaman ini diantaranya dalam bidang hukum yaitu Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafi. Sedangkan dalam bidang teologi yaitu Washil bin Atha’, pendiri madzhab mu’tazilah. Pemahaman secara rasional ini dapat disebut juga pola Burhani.
Kemudian, di beberapa abad berikutnya muncul pemikiran dari kelompok tekstualis untuk dapat memadukan keduanya. Peran rasional atau akal setidaknya memberi peran yang banyak dalam memahami teks atau nass. Akan tetapi dalam prakteknya, kecenderungan pada pemahaman teks secara tekstual tetap dominan. Kelompok tekstualis juga memiliki kecenderungan untuk dapat menyeragamkan doktrin-doktrin ajaran agama islam di kalangan muslim dalam bidang hukum islam. Dalam melakukan penyeragaman tersebut, mereka menjadikan hadits Nabi sebagai medianya.
Sedangkan pola pikir rasional tidak lepas dari pemikiran filsafat yang berkembang di masanya. Sebenarnya umat islam telah menerapkan pemahaman rasional secara luas dan dominan sejak era klasik yaitu di era khalifah Umar bin Khattab. Pemahaman sperti ini lebih mengedepankan pada esensi atau tujuan daripada cara atau bentuk. Model pemahaman ini menjadikan cara sebagai aturan untuk mewujudkan tujuan yang dapat berubah dan tidak terikat dalam suatu bentuk saja. Dalam hal ini muncul kaedah populer:
Perubahan hukum-hukum terjadi karena perubahan masa, waktu dan keadaan.
Dinamika hukum di atas sulit terjadi bagi kaum tekstualis dan hanya akan menghasilkan hukum yang monoton, normatif, dan tidak mengalami perubahan yang fundamental kapan pun dan dimana pun.