Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang; Guru Utama di Monashmuda Institute Semarang; Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI.

Ajaran Islam adalah petunjuk bagi seluruh insan di segala penjuru alam. Walaupun ajaran itu turun dalam konteks ruang Arab 14 abad lalu, tetapi fungsinya sebagai panduan itu berlaku sampai akhir zaman. Karena itu, untuk memahami ajarannya, tidak cukup hanya dengan membaca sumber ajarannya, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad saw. yang berbahasa Arab, secara tekstual, tetapi yang juga sangat penting adalah menangkap pesan moral substansialnya. Dengan memahaminya, akan semakin terlihat bahwa memang Islam adalah agama sempurna dan menyempurnakan agama-agama sebelumnya dan berlaku untuk semuanya.

Jika menggunakan metode yang benar dalam proses belajar, memahami Islam tidak akan sesulit yang selama ini dialami oleh sebagian besar orang. Tidak mungkin Allah akan menjadikan Islam sebagai agama untuk semua orang kalau untuk memahaminya harus menghadapi kesulitan. Dan karena sudah berlangsung lama, memahami Islam, terutama bagi masyarakat non-Arab, seolah mendekati ketidakmungkinan. Kesulitan itu terjadi sesungguhnya karena metode pembelajaran yang tidak tepat, bahkan keliru. Akibatnya, belajar Islam menjadi sulit dan kemudian menjadi terasa membosankan. Kalau jalannya digambar dengan peta yang akurat, akan langsung tertangkap berbagai pemahaman yang sangat menarik yang bisa membangkitkan kegairahan untuk terus lebih lanjut mempelajari ajaran untuk menjalani kehidupan. Bahkan sebagiannya membangkitkan semangat jihad walaupun membutuhkan sepenuh pengorbanan.

Walaupun awalnya di Arabia, tetapi saat ini, jumlah pemeluk Islam justru lebih banyak di luarnya dengan kultur dan tentu saja bahasa yang berbeda-beda. Di antara kendala paling umum belajar Islam adalah memahami bahasa al-Qur’an. Bahkan, ini bisa dialami oleh orang Arab sekalipun. Sebab, al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa Arab dengan ketinggian bahasa sastra yang menjadi salah satu aspek kemu’jizatannya. Bagi orang non-Arab, usaha memahaminya seolah menjadi dua kali lipat atau bahkan bisa lebih, yaitu: memahaminya secara literal, kemudian memahami ungkapan-ungkapannya yang membutuhkan tidak hanya logika, tetapi juga rasa bahasa. Belum lagi aspek budaya dan sejarah yang menjadi bagian tak terpisahkan. Karena itulah, mayoritas ulama’ berpandangan bahwa hukum menguasai bahasa Arab adalah wajib ‘ain. Sebab, tanpa menguasai bahwa Arab, mustahil memahami ajaran yang ada di dalamnya.

Baca Juga  Konstruksi Dasar Kepercayaan Masyarakat Indonesia terhadap Kajian Gender di Indonesia

Namun, justru di sinilah letak permasalahan paling umum terjadi dalam lembaga pendidikan, termasuk di Indonesia. Mata pelajaran agama Islam di SD menggambarkan permasalahan fundamental ini. Mereka belum diajari bahasa Arab, tetapi langsung diberi materi konsep-konsep dasar di dalam al-Qur’an. Ini menyebabkan anak mengalami kesulitan dan pelajaran agama kemudian menjadi hafalan, bukan menghidupkan penalaran. Padahal, Islam adalah agama yang menjadikan akal sebagai prasyarat seseorang menjadi—meminjam istilah fikih–“mukallaf”. Ini harus diubah, dan kemudian disusun peta jalan yang benar, agar seberapa pun minimnya pelajaran agama yang didapatkan di SD, bisa menjadi modal untuk belajar agama di jenjang-jenjang berikutnya, maupun di luar sekolah.

Jika diibaratkan, al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad itu adalah samudera. Sedangkan keseluruhan ajaran di dalamnya adalah ikan-ikan atau bahkan flora-fauna yang sangat bermanfaat untuk pemenuhan nutrisi bagi manusia. Agar setiap manusia mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan untuk makan ikan, maka mereka harus mampu menangkapnya sendiri, tidak boleh menggantungkan kepada orang lain. Dan pada dasarnya itu sangat memungkinkan. Karena itu, setiap orang harus memiliki alat tangkap sendiri, agar mereka bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Alat tangkap yang paling dasar adalah bahasa Arab. Hanya dengan menguasai bahasa Arab, konsep-konsep yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad akan bisa dipahami secara relatif mudah. Panduan dalam ibadah, juga mu’amalah paling konvensional akan bisa dipahami. Dengan kata lain, panduan kehidupan yang juga telah dipraktikkan di masa lalu, bisa ditangkap dan dijadikan sebagai contoh karena sudah benar-benar dipraktekkan sebelumnya.

Baca Juga  Kecerdasan Vegetarian Vs Non Vegetarian

Untuk menguasai bahasa Arab dasar, terutama bagi masyarakat Indonesia, banyak hal yang sesungguhnya memudahkan. Di antaranya yang paling nyata adalah banyak kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Arab. Kata-kata tersebut kalau dikompilasi akan membantu mengenali pola-pola yang digunakan dalam tata bahasa Arab, misalnya: musyawarah (musyâwarah), iklan (I’lân), istiqamah (istiqâmah), shalat istikharah (istikhârah), dan masih banyak lagi yang lainnya. Ada hampir 1000 kata dalam al-Qur’an yang sudah menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia. Padahal, di dalam al-Qur’an, hanya ada kira-kira 2728 kata dasar saja. Itu berarti, jika para murid menjalani proses belajar dengan benar, maka mereka akan mendapatkan hasil yang signifikan. Dan sekali lagi, hasil minimalnya pun bisa menjadi modal untuk belajar selanjutnya.

Namun, sesuatu yang memudahkan itu tertutupi oleh pengalaman praktis yang menyulitkan. Jika dibandingkan dengan bahasa Inggris, pecahan kata dalam bahasa Arab jauh lebih banyak. Jika dalam bahasa Inggris, satu kata berubah menjadi tidak sampai 10 bentuk, tetapi dalam bahasa Arab bisa berubah menjadi lebih dari 200 bentuk. Namun, mayoritasnya memiliki pola yang tetap. Jika cara mengajarkannya dipahami dengan benar, maka itu tidak akan menjadi masalah. Justru akan memunculkan semangat baru karena untuk menguasainya sangat mudah. Bahkan anak-anak pun bisa. Ini masuk dalam pelajaran tashrif. Dan di sinilah persoalan itu bermula. Memulai dari tashrif ishthilahi membuat murid merasa sangat kesulitan. Padahal, kalau dimulai dari tashrif lughawi, murid bisa merasa senang karena mereka mendapatkan kemudahan untuk menguasai sesuatu yang baru.

Selanjutnya, untuk bisa menangkap konsep-konsep yang lebih mendalam dan komprehensif, ilmu alat berupa bahasa Arab saja tidak lagi memadai. Karena banyak sekali ayat al-Qur’an yang berkait antara satu dengan yang lain, juga dengan hadits-hadits Nabi Muhammad, maka menghafalkan al-Qur’an dan lebih baik lagi hadits menjadi langkah berikutnya. Menghafalkan kalimat yang sudah dipahami artinya lebih mudah dibandingkan yang tidak dipahami artinya. Tingkat kesulitan menghafalkan kalimat yang tidak diketahui artinya bisa lebih dari 7 kali lipat. Dalam konteks inilah, memahami bahasa Arab menjadi kian penting. Hanya dengan menghafalkannya, sehingga keseluruhan firman ada di dalam pikiran, maka akan mungkin dilakukan perenungan yang mendalam (deep contemplation), kapan saja, di mana saja, dalam keadaan apa saja. Perenungan inilah yang akan menghasilkan temuan tentang interkoneksi antar ayat, inspirasi baru, juga memungkinkan pesan moral Islam untuk menghadirkan solusi atas persoalan-persoalan masa depan. Menempuh jalan ini memungkinkan untuk menghadirkan Islam yang teks-teksnya hadir di masa lalu, dalam konteks ruang yang sangat lokal Arab, ke masa kini dan bahkan masa depan dengan ide-ide yang segar. Jalan inilah yang akan membuat Islam menjadi relevan dalam segala konteks ruang dan zaman.

Baca Juga  Sebut PPKM Strategi Komunis, Yahya Waloni: Jangan Taati Perintah Orang Kafir

Orang yang mampu melakukan ini bisa menjadi tidak hanya ulama’ dalam pengertian umum, tetapi bahkan menjadi pembaharu (mujaddid). Para pembaharu ini diperlukan, karena dunia selalu berubah. Banyak persoalan baru yang kalau dipandang kulit luarnya seolah sama dengan persoalan yang terjadi di masa lalu, tetapi sesungguhnya memiliki substansi persoalan yang sangat berbeda. Karena adanya perbedaan itu, tidak mungkin dua persoalan yang seolah sama itu diperlakukan atau dihukumi secara sama. Dengan perspektif yang komprehensif ini, setiap persoalan bisa benar-benar dilihat secara jeli, lalu diberi solusi yang digali dari pesan moral yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Strategi Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Pandemi

Previous article

The Understanding About Samin’s Traditions “Sedulur Sikep” in the study Indigeous Psychology By Alfina Halimahtul Fadlilah, Millenia Dewi Safitri and Wahyu Dwi Ramadani, Anggota Kelompok 135 KKN RDR 77 UIN Walisongo Semarang

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in News