Pelecehan di Kampus: Hilangnya Integritas Pendidikan Tinggi

Oleh: Nurlatifah Usman, Ketua KPIC (Kajian Perempuan Insan Cita) UICI

Kampus idealnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk belajar, berkembang, dan bermimpi tanpa rasa takut. Namun, realitas sering kali jauh dari harapan. Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dan mahasiswi di Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada 25 September 2024 menjadi bukti nyata bahwa perlindungan terhadap mahasiswa di lingkungan kampus masih jauh dari memadai.

Kasus ini menarik perhatian serius terhadap respon Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Sebagai lembaga yang bertugas menjamin keadilan dan melindungi korban, Satgas dinilai belum optimal dalam menjalankan tugasnya. Sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku, yakni skorsing dua semester dan pencopotan dari jabatan, tidak setara dengan dampak psikologis, sosial, dan akademik yang dialami korban.

Lebih mengecewakan, pernyataan salah satu anggota Satgas yang mempertimbangkan “jabatan” pelaku seolah menunjukkan bahwa karir pelaku lebih diutamakan daripada rasa aman dan keadilan korban. Hal ini mencerminkan kelemahan sistemik yang tidak hanya memperparah trauma korban, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap mekanisme perlindungan kampus. Seperti yang diungkapkan oleh Keller et al. (2021) dalam jurnal Psychological Trauma, respons yang tidak memadai terhadap pelecehan seksual dapat memperburuk trauma korban dan melemahkan sistem pendukung institusi.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Pelecehan seksual di lingkungan akademik bukan hanya pelanggaran individu, tetapi juga pelanggaran etika dan tanggung jawab profesional. Dosen, sebagai figur otoritas dan teladan, tidak hanya melanggar norma, tetapi juga mencederai integritas institusi pendidikan. Ketika sistem perlindungan kampus gagal merespons dengan tegas, integritas pendidikan tinggi pun terancam.

Menurut penelitian Hearn dan Parkin (2020) dalam buku Gender and Power in Organizations, kegagalan institusi dalam menangani pelecehan seksual mencerminkan adanya budaya permisif terhadap kekerasan berbasis gender. Hal ini harus dihentikan agar misi pendidikan untuk mencetak generasi bermoral tidak kehilangan makna.

Apakah melindungi pelaku lebih penting daripada memberikan keadilan bagi korban? Apakah nama baik institusi pantas dibayar dengan penderitaan mahasiswa? Pertanyaan ini harus dijawab melalui langkah nyata yang berpihak pada korban, seperti penguatan sistem perlindungan kampus yang lebih adil dan efektif.

UNHAS, sebagai institusi pendidikan ternama, memiliki tanggung jawab moral untuk memulihkan kepercayaan publik. Penguatan Satgas PPKS menjadi langkah mendesak. Ini meliputi peningkatan pelatihan bagi anggota Satgas, penerapan sanksi tegas bagi pelaku, hingga pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan perlindungan mahasiswa.

Sebagaimana disampaikan oleh Heise et al. (1999) dalam kerangka Ecological Model on Violence Prevention, pencegahan kekerasan memerlukan pendekatan multi-level yang melibatkan kebijakan, budaya, dan pendidikan. Kampus harus menjadi ruang yang aman untuk belajar, berkembang, dan bermimpi tanpa rasa takut.

Keadilan bukan sekadar memberikan sanksi administratif, melainkan keberanian untuk menghentikan budaya perlindungan terhadap pelaku kekerasan seksual. Jika dunia pendidikan gagal melindungi mahasiswanya, maka misi untuk mencetak generasi bermoral akan kehilangan makna.

Mari jadikan kasus ini sebagai pelajaran penting untuk memperbaiki sistem di semua kampus di Indonesia. Dengan komitmen terhadap keadilan dan keberanian untuk bertindak tegas, kita dapat memastikan bahwa kampus kembali menjadi ruang aman yang mendukung masa depan generasi bangsa.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *