Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Nadiem makarim dikabarkan sedang menggodok rencana penghapusan Ujian Nasional (UN).
Rupanya, buntut rencana penghapusan UN ini adalah pidato Nadiem yang disampaikan pada Hari Guru Nasional kemarin. Dalam pidato yang viral di media sosial itu, Nadiem menyampaikan beberapa poin penting terkait masalah pendidikan nasional.
Pertama, potensi seseorang tidak bisa dinilai dari hasil ujian, karena nilai hanyalah angka-angka yang bisa dibuat berdasarkan keinginan, melainkan hakikat ilmu tidak bisa diukur dengan demikian.
Praktik di lapangan, siswa juga banyak yang tertekan jika ada ujian nasional dan ujian-ujian lain yang menjadikan nilai sebagai tolak ukur kecerdasan siswa.
Adanya UN dan sejenisnya ternyata menjadikan sisa mengambil langkah yang instan, seperti membeli kunci jaaban pada oknum tertentu. Guru atau lembaga sekolah, memiliki kepentingan agar sisanya lulus ujian. Begitu pula isa dan orang tua, mereka juga memiliki kepentingan yang sama. Walhasil, kecurangan pada UN sudah tak terbendung lagi. Jika yang demikian terjadi, tentu UN sebagai tolak ukur prestasi sisa, menjadi tak relevan lagi.
Kedua, kesuksesan siswa diukur dari karya, bukan menghafal. Di bangku sekolah, menghafalkan teori menjadi syarat agar bisa menguasai pelajaran. Padahal di masa yang akan datang, siswa akan lebih bermanfaat melalui karya-karya yang ia buat dengan sepenuh hati bukan melalui paksaan.
Ketiga, setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda. Dari semua mata pelajaran, tentunya siswa ada yang hanya menguasai satu pelajaran saja.
Ini sebuah kewajaran karena setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda beda. Sehingga tidak bisa dipaksakan siswa harus menguasai semua pelajaran yang menjadi kurikulum di sekolah.
Keempat, Nadiem menginginkan setiap guru membuat inovasi. Disebabkan kurikulum yang terlalu tekstual, guru dalam mengajar juga merasa terkurung dalam pikiran kecil, tidak bisa berpikir bebas dan melakukan perubahan-perubahan atas metode pengajaran di sekolahan. Sehingga siswa pun merasa bosan dengan pengajaran tersebut. Berbeda jika setiap guru membuat inovasi, tentunya siswa akan nyaman dan semangat dalam belajar sesuai passionnya.
Terakhir, Nadiem menginginkan guru membuat perubahan-perubahan kecil, minimal dalam kelas yang ia ajar. Nadiem juga memberikan saran kepada guru agar mengajak siswa berdiskusi, bukan mendengar, memberi kesempatan siswa mengajar di kelas, buat proyek bakti sosial yang melibatkan semua kelas, temukan bakat pada siswa yang kurang percaya diri, dan tawarkan bantuan kepada guru yang membutuhkan bantuan.
Dari rencana-rencana di atas, sebenarnya lembaga-lembaga swasta sudah memiliki prospek yang sudah melampaui rencana pemerintah.
Dalam konteks ini, Nadiem bisa mengadopsi konsep sekolah alam yang berada di Rembang, Jawa Tengah.
Sekolah alam ini sudah menerapkan sistem belajar yang tidak berpatok pada kurikum, baik yang dibuat pemerintah atau yayasan. Melainkan menggunakan kontekstual yang lebih dibutuhkan oleh siswa untuk menunjang masa depan.
Mereka juga diajar oleh teman sebaya yang memiliki keahlian di bidang tertentu dan ditularkan ke teman yang lain. Uniknya lagi, sebagian besar guru lulusan Magister yang tentunya memiliki nilai plus dan kematangan berfikir dalam bidang akademik.
Sekolah Alam yang didirikan oleh Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Dr. Mohammad Nasih ini betempat di Desa Mlagen, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Tentunya ini bisa menjadi percontohan untuk sekolah lain yang ingin membuat perubahan. Wallahu A’lam.