Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menyambut Idul Adha dengan semarak. Suara takbir menggema, hewan-hewan kurban memenuhi masjid dan lapangan, dan daging dibagikan ke pelosok-pelosok kampung. Namun, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan sunyi yang sering luput disuarakan: benarkah kita sudah benar-benar berkurban? Atau jangan-jangan, yang kita sembelih hanya kambing dan sapi, sementara ego, kerakusan, dan kepentingan diri tetap lestari?
Antara Ritual dan Realitas
Kurban, dalam spirit aslinya, adalah simbol ketundukan total kepada Tuhan dan kesiapan untuk melepas segala hal yang paling dicintai. Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih Ismail, anak yang sangat ia cintai. Namun, kurban kita hari ini seringkali tak lebih dari rutinitas tahunan yang kehilangan makna transformatif. Yang dikorbankan bukan “Ismail” dalam hidup kita, tapi hanya seekor kambing hasil patungan tujuh orang.
Sering kita temukan orang yang rajin berkurban, tetapi tetap tega menyakiti sesama, melanggar etika, bahkan korupsi. Ia rela menyembelih hewan setiap tahun, tapi tak pernah mau menyembelih ego, keserakahan, atau gaya hidup konsumtif yang menyakiti orang lain. Pengorbanan menjadi palsu ketika substansi spiritual digantikan oleh simbol dan formalitas.
Kurban sebagai Cermin Diri
Titik tolak perubahan adalah kejujuran menatap diri. Kurban bukan soal daging—karena seperti yang Allah tegaskan dalam QS Al-Hajj ayat 37, “daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, melainkan ketakwaanmu.” Maka, jika setiap tahun kita berkurban tapi tidak menjadi pribadi yang lebih jujur, lebih dermawan, lebih peduli, lebih berani mengorbankan nafsu untuk nilai kebaikan, maka mungkin selama ini kita hanya menyembelih kulit luar, bukan ruh pengorbanan.
Kurban seharusnya melatih kita menjadi manusia yang siap melepaskan keterikatan terhadap dunia: jabatan, pujian, popularitas, bahkan rasa benar sendiri. Tanpa itu, kita akan sulit menjawab tantangan besar umat hari ini: kemiskinan struktural, ketimpangan sosial, krisis moral, dan kegagalan kolektif dalam membangun solidaritas sejati.
Menghidupkan Spirit Pengorbanan
Kita butuh redefinisi kurban. Kurban bukanlah puncak ibadah, tapi awal dari komitmen. Komitmen untuk menanggalkan diri dari kepentingan sempit demi kebaikan bersama. Komitmen untuk memberi lebih banyak waktu, tenaga, pikiran, dan harta untuk memperbaiki umat. Komitmen untuk menjadi manusia yang lebih baik, bukan hanya Muslim yang lebih ritualistik.
Karena sejatinya, Allah tidak butuh daging kita. Tapi masyarakat kita butuh keadilan, kejujuran, kepedulian, dan pengorbanan yang nyata. Jika kurban tidak mampu menghadirkan itu semua, maka layak kita bertanya: yang kita sembelih itu hewan, atau sekadar harapan kosong tentang umat yang bangkit?