Kekuasaan cenderung Korup. Apalagi kalau kekuasaan itu bersifat absolut. Begitulah kira-kira isi pesan dari apa yang dinyatakan oleh Lord Acton. Dalam istilah lain yang diambil dari bahasa Yunani dikenal dengan Kleptokrasi, yakni pemangku kekuasaan yang suka korupsi. Kecenderungan itu tidak selamanya tepat dan memang seharusnya tidak demikian. Bagi umat beragama, para Nabi bisa dijadikan tauladan. Mereka sosok pemimpin yang berkuasa namun tidak korup. Padahal seperti yang kita ketahui, kekuasaan para Nabi adalah kekuasaan yang absolut juga.
Sebutan ahli al-Kitab yang disematkan kepada Yahudi dan Nasrani, bukan berarti mereka lebih unggul karena ahlinya al-Kitab. Justru karena mereka menutupi apa yang ada di dalam al-Kitab tentang akan adanya Nabi terakhir maka Allah menyindir mereka. Katanya ahli kitab, masa gak ngimani Nabi terakhir, begitulah kira-kira. Begitupun dengan pendapat Lord Acton, “ power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” yakni kekuasaan cenderung akan dikorupsi, dan kekuasaan yang absolut akan melahirkan korupsi yang absolut pula. Pendapat itu sebenarnya sindiran kepada penguasa dan memperteguh kredibilitas mereka agar berhati-hati dan tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Kata “absolut” memiliki arti sempit “mutlak”. Biasanya disematkan pada Negara yang memiliki sistem kerajaan (monarki). Jika yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan yang absolut justru akan melahirkan korupsi yang absolut maka pendapat itu kurang tepat. Negara seperti Inggris dan Belanda adalah Negara yang menganut sistem Monarki namun memiliki tingkat korupsi terendah di dunia. Sebaliknya, tingkat Negara terkorup justru dari Negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia.
Dalam sejarah Indonesia, pernah terjadi sentralisasi kekuasaan yaitu pada masa orde baru. Banyak yang mengaitkan pemerintahan rezim Soeharto dengan absolut dan korupsi. Sebab pada masa itu, KKN merajalela dan kebebasan pers dicekal. Siapapun yang menentang rezim atau memberitakan yang buruk tentang pemerintah akan di hukum. Namun nampaknya peenggulingan Presiden Soeharto bukanlah sebab berhentinya korupsi. Sampai saat ini pun, korupsi masih merajalela di Indonesia walaupun pers sudah diberi kebabasan.
Dengan demikian, korupsi nyatanya tidak dihasilkan dari Negara atau pemimpin yang absolut. Korupsi terjadi karena ada peluang atau kesempatan. Dengan demikian, untuk menghentikan tindak pidana korupsi, bisa dilakukan dengan dua hal. Pertama, memperketat dan memperbaiki sistem pemerintahan sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk berbuat korupsi. Kedua, memberi pendidikan karakter sejak dini kepada para calon pemimpin bangsa dengan memperdalam ilmu agama dan mengajarkan ketakutan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Mengapa agama sangat penting? Sebab, seseorang yang memiliki ketaatan dalam agama dan kedekatan dengan Tuhan, akan cenderung berhati-hati dalam melangkah. Pemimpin Islam era Khulafa ar-Rasyidin adalah salah satu contoh pemimpin yang takut kepada Allah Swt. Sehingga dalam mengeluarkan kebijakan akan selalu berhati-hati. Jangankan untuk korupsi, tinggal didalam “istana” saja mereka menolak. Bukan berarti pemimpin tidak boleh tinggal dalam istana, melainkan upaya yang dibangun Khulafa ar-Rasyidin cenderung menjauhkan diri dari segala hal yang akan menjerumuskan pada ketidakadilan dan kesenangan pribadi.
Tentunya yang dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin adalah membawa spirit profetik Nabi Muhammad dalam memimpin. Nabi Muhammad adalah pemimpin Madinah yang disegani, dihormati, dan disayangi bukan hanya karena beliau seorang Nabi, tapi karena beliau memang seorang yang profesional dan adil dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Tidak hanya Nabi Muhammad, Nabi-Nabi terdahulu juga ada yang selain menjadi pemimpin umat (agama), mereka juga adalah pemimpin dalam konteks pemerintahan. Dalam al-Qur’an, banyak contoh yang dapat kita jadikan pelajaran dalam memimpin. Salah satunya adalah seorang Nabi bernama Dzulkarnain dan Sulaiman.
Dzulkarnain adalah pemimpin yang dikenal memiliki kekuasaan yang luas dan tentunya absolut. Namun walaupun demikian, ia adalah pemimpin yang memiliki integritas tinggi. Hal itu dibuktikan dengan pribadinya yang sangat tegas dalam memimpin sehingga ia enggan menerima segala bentuk sogokan.
Menariknya, dalam al-Qur’an, para Nabi cuo pemimpin memiliki sifat yang sama. Mereka takut kepada Allah dan merasa cukup dengan apa yang Allah telah berikan. Bagi mereka, karunia (kekuasaan) yang Allah berikan itu sudah sangat cukup dan lebih baik dibandingkan dengan pemberian atau sogokan para elit.
Dari kisah-kisah dan penuturan di atas, menyimpulkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kenabian. Sifat yang dikenal dengan istilah Kepemimpinan Profetik itu setidaknya mencakup empat sifat Nabi yakni jujur, amanah, menyampaikan,dan cerdas. Tidak hanya itu, kedekatan dan ketaatan kepada Allah Swt menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari seorang pemimpin.
Keabsolutan para Nabi tidak lantas membuat mereka sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Tentunya dengan selalu mengikuti petunjuk (wahyu) Allah Swt. Bagi manusia biasa, yang tidak mendapat petunjuk atau wahyu langsung dari Allah, untuk menjadi kepemimpinan profetik dapat mengikuti kitab yang diwariskan sebagai pedoman umat manusia. Al-Qur’an menjadi rujukan wajib dalam kehidupan bernegara sebagaimana para Nabi menjadikan Wahyu sebagai rujukan memimpin bangsa.
Dengan demikian, sistem pemerintahan apapun nampaknya tidaklah menjadi masalah. Walaupun memang kejahatan itu kadang bukan karena ada niat pelaku, tapi karena melihat kesempatan terbuka di depan mata. Namun dengan semangat profetik Nabi, peluang korupsi itu tidak akan dipandang sebagai kesempatan untuk memperkaya diri.
Indonesia membutuhkan pemimpin Kepemimpinan Profetik. Dengan semangat kenabian dan ketakuatan kepada Allah Swt, tidak akan ada istilah kleptokrasi. Kekuasaan hanyalah alat untuk mencapai keadilan. Baik dan buruknya tergantung di tangan siapa kekuasaan itu digenggam. Asalkan semua elemen atau lapisan masyarakat men support gagasan Kepemimpinan Profetik sebagai syarat menjadi pemimpin maka akan tercipta negara yang bersih dari korupsi. Wallahu a’lamu bi al-shawwab.