Baladena-Pilkada 2020 sempat tersendat penyelenggaraannya karena kala itu Indonesia masih dalam kubangan virus covid-19. Pihak yang mengusulkan agar pilkada 2020 diundur pun menyeruak. Akan tetapi, pemerintah seolah tak bergeming. Walhasil, pilkada 2020 tetap berjalan, meskipun tidak sesuai jadwal awal.
Setelah pilkada 2020 usai, sikap tidak konsisten justru terlihat di kubu pemerintah saat ini. Tak seperti pilkada tahun 2020 yang terkesan ‘dipaksakan’, pilkada 2022 kemungkinan besar akan ditunda.
Hal itu terlihat dari langkah pemerintah yang tidak mengubah UU 10/2016 tentang Pilkada. Langkah tersebut pun tentu saja menyisakan pertanyaan mendalam. Pasalnya, dengan tidak adanya revisi, maka pilkada akan digelar serentak bersamaan dengan pemilihan presiden dan legislatif.
Artinya, kondisi ini tentu tidak bercermin dari gelaran tahun 2019 yang memakan banyak korban dari petugas pemilu di lapangan. Padahal kala itu hanya pilpres dan pileg yang digabung.
Aktivis Petisi ’28 Haris Rusly Moti heran dengan sikap pemerintah yang keukeuh menolak revisi UU Pilkada. Sikap ini, katanya, berbanding terbalik dengan di tahun 2020 lalu yang memaksakan pilkada serentak tetap digelar padahal pandemi sedang tinggi.
Dia pun menduga, pemaksaan Pilkada 2020 lalu karena ada motif pribadi dalam pilkada
“Sobat, giliran anak dan mantu jadi walikota, pilkada serentak dipaksakan dilaksanakan 2020, walaupun memicu kluster baru Covid. Ketika Covid mulai redup, tapi demi hasrat berkuasa, Pilkada serentak 2022 ditunda 2024,” duganya sembari menyindir kepada redaksi, Selasa (16/3).
Haris Rusly Moti mengaku sulit membayangkan kondisi yang terjadi di 2024 mendatang. Pasalnya akan ada ratusan kepala daerah yang sebatas pelaksana tugas. Bahkan 6 provinsi terbesar di Indonesia dipimpin pelaksana tugas yang pemilihannya sesuai keinginan pemerintah.
“Bayangkan, 270 kepala daerah termasuk DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim dan Bali di-Plt-kan dikantongi Pak Lurah. Norak Abis!’ tutup Haris Rusly sebagaimana dikutip dari RMOL.id.
Comments