Politik biasanya dianggap sebagai medan yang harus dijauhi. Namun, ini tidak berlaku bagi Dr. Mohammad Nasih, M.Si. Bukan hanya karena ia adalah dosen ilmu politik. Mengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI sejak tahun 2008, juga di FISIP UMJ, lalu menjadi Guru Utama di Monasmuda Institute Semarang membuatnya berpandangan bahwa politik adalah jalan perjuangan besar. Bahkan dia menjadikan politik sebagai jalan untuk memperjuangkan al-Qur’an setelah membacanya, mengartikannya, menghafalkannya, merenungkannya, mengerjakannya, dan mengajarkannya.

Bagaimana pandangan utuh suami dr. Oky Rahma Prihandani, Sp.A., M.Si.Med yang oleh anak-anak biologis dan ideologis disapa Abana itu? Baladena.id melakukan wawancara eksklusif dengan Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon atau lebih dikenal dengan Planet NUFO, Rembang, Jateng ini:

Baladena: “Dari beberapa bacaan, saya menangkap bahwa Abah Nasih memiliki pandangan genuin tentang tujuh kewajiban kepada al-Qur’an. Saya sebut genuin karena tidak saya temukan dari orang lain. Saya sudah check itu di google. Apa latar belakang ide tentang tujuh kewajiban tersebut?”

Abana: “Latar belakangnya pengalaman mengajar selama belasan tahun di kampus ditambah dengan mengajar di setidaknya dua pesantren, Monasmuda Institute Semarang dan kemudian Planet NUFO di Mlagen, Pamotan, Rembang. Dengan konteks lingkungan yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, saya merasa perlu untuk membuat urutan tujuh kewajiban kita kepada al-Qur’an, yaitu: membaca, mengartikan secara literal, menghafalkan, merenungkan, mengerjakan, mengajarkan, dan memperjuangkannya. Awalnya, saya ingin para santri menghafalkan al-Qur’an agar bisa memahami dengan lebih komprehensif ajaran Islam. Tapi, kalau menghafal tanpa mengerti artinya ternyata sangat berat, dan lebih dari itu tentu penghafalnya juga tidak tahu maksudnya. Karena itu, saya punya kebijakan untuk terlebih dahulu bisa mengartikan sebelum menghafal. Dari sini mulai muncul inspirasi urutan tujuh kewajiban itu.”

Baladena: “Apa yang menyebabkan konteks bukan Arab menyebabkan implikasi yang berbeda?”

Abana: “Kalau orang Arab kan relatif sudah terbiasa dengan bahasa Arab. Jadi mengartikan secara literal tidak perlu mereka lakukan. Sebab, sudah sejak bayi mereka menggunakan bahasa Arab. Dengan begitu, anak kecil di sana sebenarnya sudah bisa langsung diajak menghafalkan al-Qur’an. Walaupun bahasa sehari-hari mereka juga sangat berbeda dengan bahasa Arab. Tapi setidaknya ada modal sedikit-sedikit sehingga sering kita lihat, terutama di era youtube dan tik tok sekarang ini anak-anak Arab itu mampu menghafalkan al-Qur’an dengan baik. Inilah yang kadang membuat kita, orang-orang non-Arab ini terobsesi. Nah, berdasarkan pengalaman saya mengajar dan menyimak hafalan al-Qur’an lebih dari tiga ratusan santri, saya tidak merekomendasikan orang atau anak yang belum mengerti arti literal al-Qur’an menghafalkannya. Kalau hanya untuk shalat, tentu saja itu wajib. Tapi untuk 30 juz, mereka yang belum mengetahui arti literalnya, akan kesulitan dan mayoritas mengalami kegagalan. Sebab, seringkali saya katakan, bahwa menghafalkan teks yang tidak diketahui artinya, bagi orang Indonesia, dengan IQ rata-rata 79, butuh usaha minimal tujuh kali lipat. Untuk yang IQ di atas 95, data yang saya punya, bisa kurang dari itu, 5-6 kali lipat lah. Tentu ini akan terus berubah sesuai dengan kualitas SDM kita. Dan itu sangat dipengaruhi oleh faktor gizi sejak kecil.”

Baca Juga  Planet NUFO Menjadi Tuan Rumah Mahasiswa KKN MIT DR-14 Kelompok 96 UIN Walisongo Semarang Gandeng PMI Kabupaten Rembang Gelar Donor Darah

Baladena: “Kewajiban yang dimaksud ini bagaimana? Apakah semua orang memang memiliki kewajiban itu? Atau hanya poin-poin tertentu untuk orang-orang tertentu?”

Abana: “Pertanyaan yang sangat bagus. Memang kalau ketujuh-tujuhnya dianggap wajib ain akan banyak yang komplain. Haha. Saya kira membaca dan mampu mengartikan perlu kita anggap sebagai wajib ‘ain. Sebab, dengan keduanya, orang akan mengerti panduan dasar yang disampaikan oleh al-Qur’an. Menghafal anggap saja sebagai wajib kifayah. Sebab, dengan adanya hafalan ini, al-Qur’an akan terjaga selamanya sebagai bagian dari janji Allah. Dengan kata lain, para penghafal al-Qur’an adalah agen-agen Allah untuk merealisasikan janjiNya dalam menjaga firman ini. Nah, dengan hafal, merenungkan juga bisa dilakukan secara lebih baik, karena seluruh ayat al-Qur’an ada dalam ingatan. Jadi, perenungannya utuh, meliputi keseluruhan ayat. Bukan sekedar perenungan parsial. Fardlu kifayah di sini jangan kita anggap seperti shalat jenazah yang cukup dilakukan oleh satu orang. Tapi harus kita gunakan model rasio, seperti satu dokter untuk setiap berapa orang, satu guru untuk berapa murid. Sebab, para penghafal al-Qur’an yang memiliki kemampuan perenungan yang baik bisa menghasilkan pemahaman sebagai solusi berbagai permasalahan kehidupan yang selalu muncul. Mereka akan menjadi tempat bertanya. Maka jumlahnya harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat muslim memiliki tempat konsultasi yang memadai. Kalau tempat bertanya hanya ada satu saja, maka itu tidak kifayah. Apalagi sekarang ini kehidupan kita segarang ini benar-benar makin dinamis. Berubah makin cepat.”

Baca Juga  Oposisi Suatu Keniscayaan

Baladena: “Menarik. Berarti yang kelima, mengerjakannya, wajib ain lagi ya.”

Abana: “Benar. Semua muslim kan wajib mengerjakan apa yang menjadi panduan al-Qur’an. Baik dari pemahaman sendiri untuk persoalan-persoalan yang sederhana yang panduannya jelas, maupun hasil konsultasi atau diskusi dengan orang lain yang memiliki kemampuan standar minimal sebagai ulama’ untuk urusan-urusan yang mengandung kerumitan.”

Baladena: “Kalau mengajarkan itu bagaimana?”

Abana: “Ya tergantung levelnya mengajarkan apa? Kalau mengajarkan membaca, kan semua yang bisa membaca, secara umum bisa mengajarkannya kepada orang lain. Kalau mengajarkan pemahaman, tentu saja diperlukan orang-orang dengan kualifikasi tertentu agar tidak mengajarkan kesesatan. Sebab, untuk memahami al-Qur’an secara utuh, diperlukan  berbagai disiplin ilmu yang tidak sederhana. Karena itu, agar bisa menjadi pengajar dalam arti yang sebenarnya-benarnya, harus belajar dengan sungguh-sungguh. Ini tentu saja tidak ringan, karena status yang didapatkan juga istimewa. Rasulullah bersabda bahwa orang terbaik adalah yang belajar al-Qur’an lalu mengajarkannya.”

Baladena: “Kalau mengajarkan dianggap sebagai yang terbaik, yang memperjuangkan posisinya di mana, Bah? Kan sudah mentok derajatnya?”

Abana: “Yang memperjuangkan al-Qur’an melalui jalur politik, nanti akan dapat naungan Allah. Ini masuk dalam kategori pemimpin yang adil, karena menjadikan al-Qur’an sebagai jalan hidup untuk diri sendiri dan juga berusaha agar orang lain, rakyat dalam sebuah negara juga menjalankannya. Jalannya adalah membuat aturan atau produk legislasi yang membuat semua orang menjalankan ajaran al-Qur’an.”

Baladena: “Abah sendiri sudah menjalankan semua kewajiban itu atau belum?”

Abana: “Ini pertanyaan yang paling berat yang pernah saya dapat. Saya anggap sebagai tantangan juga. Semoga bisa menjalankan semuanya. Kalau membaca, mengartikan, menghafalkan kan jelas sudah ya. Merenungkan sepertinya juga sudah. Setidaknya ada cukup banyak tema yang memicu saya untuk melakukan perenungan dan kemudian menghasilkan pemikiran yang genuin. Bahkan sebagiannya jadi bahan tulisan-tulisan dan ceramah saya. Kalau tidak merenung kan tidak akan dapat ide yang genuin. Mengerjakan ya sedikit-sedikit semoga sudah. Walaupun tentu masih sangat banyak kurang dan bolongnya. Tetapi terus berusaha untuk memperbaiki. Kalau salah lagi ya diperbaiki lagi. Mengajarkan sudah tiap hari, minimal pagi setelah shalat shubuh dan sore setelah shalat maghrib. Nah, memperjuangkan dengan jalan politik ini yang belum saya lakukan secara signifikan. Sebab, belum pernah mendapatkan kesempatan berkuasa. Baru menjadi teman beberapa politisi. Memang di antaranya adalah elite politisi, tetapi baru sekedar teman. Belum bisa mendesakkan pembuatan sebuah produk kebijakan politik secara langsung. Misalnya, ide saya tentang cuti hamil melahirkan dan menyusui, yang saya masukkan melalui pimpinan Fraksi PAN DPR RI tahun 2012/2013 sampai hari ini belum terwujud menjadi Undang-Undang. Saya tanya kepada Teh Desi Ratnasari, salah satu anggota Fraksi PAN, yang dalam satu periode politik terakhir intens memperjuangkannya, katanya belum mendapatkan dukungan dari fraksi-fraksi lain. Ya begitulah risiko kalau kita tidak memiliki kekuasaan sendiri secara cukup.”

Baca Juga  Mengkader Santri Berdakwah di Dunia Politik

Baladena: “Kenapa Abah tidak maju sebagai caleg atau posisi lain yang memungkinkan untuk itu?”

Abana: “Saya sudah pernah maju caleg. Namun, situasi dan kondisinya belum memungkinkan. Tapi saya selalu berusaha, dengan melakukan pendidikan politik. Saya mendirikan Rumah Perkaderan itu bagian dari ikhtiar pendidikan politik untuk anak-anak muda mahasiswa. Tapi memang belum cukup untuk merebut kekuasaan. Tapi yang pasti, saya tetap memandang bahwa kekuasaan adalah alat paling efektif dan efisien untuk memperjuangkan al-Qur’an. Dan saya mengajarkan kepada para santri, baik di Rumah Perkaderan Monasmuda Institute Semarang maupun di Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO, bahwa Nabi Muhammad adalah prototype manusia dengan tiga kualitas penting untuk berjuang optimal, yaitu: berilmu, berharta, dan berkuasa. Ilmunya dari wahyu. Hartanya dari jadi penguasaha dan memiliki istri pengusaha kaya raya. Kekuasaan politiknya didapatkan setelah hijrah ke Madinah dan selama 10 tahun di sana menjadi presiden. Walaupun hanya 10 tahun, tapi hasilnya jauh melampaui hasil dakwah kultural selama 13 tahun sebelumnya di Makkah. Makanya saya menganggap bahwa tidak ada pahala sebesar pahala politisi, kalau benar untuk memperjuangkan ajaran al-Qur’an. Namun, sebaliknya, tidak ada dosa besar, tentu saja setelah syirik ya, sebesar dosa politisi, apabila kekuasaannya digunakan untuk korupsi. Dalam konteks inilah, para ahli al-Qur’an harus melengkapi diri dengan kualitas-kualitas yang memungkinkan untuk bisa menjalankan keseluruhan kewajiban kepada al-Qur’an. Berat tentu saja. Mana ada perjuangan kok ringan. Justru itulah tantangannya. Dan karena berat itulah Allah menjanjikan balasan yang besar.”.

Kritik Megawati atas Ibu-Ibu Pengajian

Previous article

BERPOLITIK UNTUK MENYEMPURNAKAN TUJUH KEWAJIBAN KEPADA AL-QUR’AN

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Nasional