“Selamat pagi nona kecil”

Sapaan yang selalu menemaniku meyambut mentari pagi. Siapa lagi yang  mengucapkannya jika bukan dirimu. Sebelum sempat tanganku menyentuh embun bagi, tanganmu akan lebih dulu menghampiri dengan ditemani aroma teh melati. Sedetik kemudian, engkau akan berlalu dan menitipkan mantra bahagia. Begitu pagi kulalui setiap hari.

Sebelum memulai rutinitas yang membosankan. Engkau akan dengan lembutnya mengantarkanku pada kedamaian malalui alunan yang engkau suguhkan dengan terompet kayu. Hey, bukankah terompet kayu ini yang dahulu mengenal dirimu? Sampai sekarang, terompet kayu itu tidak pernah berubah. Selalu menemanimu menciptakan alunan-alunan merdu. Katamu, terompet kayu ini sangat berarti. Sebab, dengannya engkau mampu menemani hati-hati yang sedang patah. Termasuk diriku kala itu mungkin.

Saat sedih, kehilangan semangat, lelah, dan mulai pasrah engkau selalu bisa meyakinkanku untuk memompa kembali semangatku. Mengingatkan aku melalui lirik-lirik yang engkau bawakan dengan terompet kayu. Katamu, terompet kayu bisa berbicara. Mungkin ia terlihat seoalah tak berdaya, tapi sebenarnya ia bisa menjadi benar-benar ada. Ia berbicara mewakili angin yang hanya bisa engkau rasakan tanpa pernah wujudkan ditampakkan. Aku selalu bisa melihat bagaiamana dengan semangatnya engkau membiarkan jemarimu menari bersama terompet kayumu.

Kenyatan itu hilang hari ini. Seolah-olah dunia hanya menyisakan hitam putih. Aku tidak lagi mencium aroma teh melati di pagi hari. Aku tidak lagi mendengarkan panggilan lucu itu. Pun, telingaku tak lagi mendengarkan alunan dari terompet kayu itu. Padahal, saat ini, terompet kayu itu ada dalam genggamanku. Piluku semakin mengharu biru. Bahkan kelabu. Ingin rasanya mengundang angin agar ia mau berbicara melalui terompet kayu. Agar ia kabarkn yang tidak aku ketahui tentang hari ini. Namun angin menolak permintaanku. Katanaya, aku harus bertemankan sepi beberapa purnama kedepan. Jika diijinkan, aku hanya akan bertanya tentang satu hal; “apa kabar kamu”. Semoga angin tidak menympaikan kabar pilu. Dan semoga kudapati kembali terompet kayu itu bicara. Dengan sangat bersabar, aku menantinya dalam dekapan.

Wortelina
Penikmat Aroma Buku Baru

    Kohati Putri Kohati (1) Pandangan Pertama

    Previous article

    Refleksi Kaderisasi Organisasi Icmi Menuju Reintegrasi Iptek Ke Dalam Imtak Islam

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Zetizen