Oleh: Dr. Ichsanuddin Noorsy, BSc, SH, MSi
Dalam dua dekade terakhir, dinamika ekonomi global tidak lagi sekadar berbicara soal perdagangan bebas dan efisiensi pasar. Dunia tengah menyaksikan lahirnya bentuk-bentuk baru kekuasaan ekonomi yang bekerja melalui pengaturan jalur perdagangan, penguasaan rantai pasok, serta pembangunan special port yang terintegrasi dengan kepentingan geopolitik negara-negara besar. Dalam konfigurasi ini, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berada pada posisi yang semakin rentan.
Pengaturan perdagangan internasional kini semakin terkonsentrasi pada kekuatan ekonomi tertentu. Akses terhadap logistik, teknologi, dan distribusi global dikendalikan oleh segelintir negara dan korporasi multinasional. Ketika negara kehilangan kendali atas perdagangan strategisnya, maka pada saat yang sama kedaulatan di sektor lain pun ikut tergerus. Inilah risiko besar yang sedang dihadapi Indonesia hari ini.
Masalah Indonesia tidak berhenti pada tekanan eksternal. Secara internal, struktur ekonomi nasional menunjukkan gejala pelemahan yang serius. Deindustrialisasi dini, keterbatasan penguasaan teknologi, serta ketergantungan berlebihan pada investasi asing menciptakan fondasi ekonomi yang rapuh. Pembangunan yang terlalu berorientasi pada sektor primer, tanpa penguatan industri bernilai tambah tinggi, hanya akan menempatkan Indonesia dalam siklus ekonomi berupah rendah dan ketergantungan jangka panjang.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penetrasi asing ke sektor-sektor strategis tidak hanya terjadi melalui investasi konvensional. Digitalisasi layanan publik, penguasaan infrastruktur data, hingga proyek-proyek ekonomi berskala besar membuka ruang baru bagi infiltrasi kepentingan asing, termasuk dalam dimensi intelijen dan keamanan nasional. Keberadaan special port yang dimiliki atau dikendalikan pihak asing berpotensi menjadi simpul kontrol atas arus barang, informasi, dan pengaruh geopolitik.
Dalam konteks ini, negara dituntut memiliki kewaspadaan yang lebih tinggi. Aparat dan pembuat kebijakan harus memahami bahwa ancaman terhadap kedaulatan kini hadir dalam bentuk perang ekonomi, perang mata uang, dan perang data. Sayangnya, laju perubahan global sering kali lebih cepat dibanding kesiapan kebijakan nasional dalam meresponsnya.
Karena itu, sudah saatnya orientasi pembangunan nasional dikembalikan pada amanat konstitusi. Kedaulatan ekonomi bukan sekadar jargon politik, melainkan prasyarat utama bagi kedaulatan negara secara keseluruhan. Negara harus berani memperkuat industri nasional, menguasai teknologi strategis, serta memastikan bahwa seluruh kebijakan ekonomi berpihak pada kepentingan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan.
Kedaulatan tidak akan hadir dengan sendirinya. Ia hanya dapat diraih jika negara memahami peta ancaman yang dihadapi, mampu membaca peluang di tengah persaingan global, dan secara konsisten membangun fondasi ekonomi yang kuat dan mandiri. Tanpa itu semua, Indonesia akan terus berada dalam posisi sebagai objek, bukan subjek, dalam percaturan ekonomi-politik dunia.





