Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.
PENDAHULUAN
Kata kader berasal dari bahasa Yunani cadre, berarti bingkai. Kata lain yang bermakna sama adalah figura atau kerangka. Karena itu, yang dimaksud kaderisasi adalah upaya untuk melahirkan SDM yang menjadi figur, kerangka, atau tulang punggung bagi organisasi. SDM kader itulah yang membingkai para anggota organisasi agar tidak bengkok, atau berbelok dan keluar dari ideologi, visi, missi, dan segala aturan main yang telah ditetapkan. Dengan bingkai itu para anggota bisa dijaga untuk tetap berada di jalan yang lurus (al-shiraath al-mustaqiim).
Kaderisasi sangat penting mengingat makin banyak ideologi yang muncul dan menguat disebabkan oleh dinamika kehidupan yang kian kompleks dan diharapkan bisa menjadi sumber solusi. ICMI sebagai organisasi Islam, harus melakukan kaderisasi, agar para aktivisnya memiliki pemahaman yang komprehensif tentang ajaran-ajaran Islam dengan dua sumber utama al-Qur’an dan hadits. Terlebih ICMI adalah wadah bagi kaum cendekia. Kecendekiaan itu harus berada dalam bingkai ajaran Islam.
Perlunya bingkai, sejak awal ditekankan oleh al-Qur’an, bahkan penekanannya kepada Nabi Muhammad.
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikannya sebagai cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (al-Syuuraa: 52).
Itu menandakan bahwa manusia harus hidup di dalam koridor yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.. Melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah akan menyebabkan manusia mengalami kesesatan.
Di sisi lain, manusia dituntut untuk melakukan amal kebaikan yang optimal. Perintah untuk beramal saleh bahkan hampir selalu diseiringkan dengan perintah untuk beriman secara benar. Iman yang tidak diimplementasikan dalam bentuk amal saleh, dipandang tidak fungsional. Karena itu, manusia dituntut untuk berlomba dalam melakukan kebaikan (al-Baqarah: 148, al-Ma’idah: 48), agar menjadi yang terbaik dengan indikator paling bermanfaat bagi orang lain (khayr al-naas anfa’uhum li al-naas).
Untuk memperbesar amal baik itu, tidak ada jalan lain kecuali menggunakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, kerja-kerja besar bisa dilakukan. Mahakarya bisa dicipta. Pun demikian, jika kerja besar itu tidak didasarkan kepada iman yang benar, maka di sisi Allah ia ibarat fatamorgana belaka. Kelihatannya ada, tetapi sesungguhnya tidak ada.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Artinya: “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (al-Nur: 39)
POKOK MASALAH
Kaderisasi menjadi kebutuhan sangat mendesak bagi ICMI karena ICMI menghadapi masalah eksternal dan juga internal.
Masalah eksternal di antaranya adalah: Pertama, gempuran ideologi yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad. Dalam konteks ini, tidak hanya ICMI, tetapi seluruh intelektual muslim, ditantang untuk melakukan perang pemikiran (ghazw al-fikr).
Kedua, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dikendalikan secara sangat dominan, untuk tidak menyebutnya nyaris total, oleh para ilmuan bukan muslim. Padahal ajaran-ajaran Islam, baik di dalam al-Qur’an maupun sunnah, sangat mendorong kepada pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di masa awal Islam, tepatnya di era Daulah Abbasiyah, ummat Islam telah melahirkan sangat banyak ilmuan besar, saat Eropa masih belum dikenal. Dan karya-karya mereka nampak sekali dipengaruhi atau setidaknya dimotivasi oleh kedua sumber utama Islam.
Sedangkan masalah internal adalah sebagian aktivis ICMI, bahkan termasuk di dalamnya adalah elitenya, menganut paradigma ideologis yang tidak hanya tidak sesuai, tetapi bertentangan dengan doktrin Islam.
Dalam praktik politik, tidak semua aktivis ICMI imune dari praktik penyelewengan kekuasaan (baca: korupsi). Padahal mestinya para aktivis ICMI-lah yang memberikan keteladanan kepada sikap hidup yang bersih, berintegritas, dan profesional.
REFLEKSI
Untuk mendapatkan hasil refleksi yang objektif dan komprehensif, diperlukan multi sudut pandang, sehingga juga menghasilkan otokritik.
Pertama, ICMI merupakan organisasi yang secara faktual hanya menghimpun para aktivis organisasi lain, di antaranya HMI, Muhammadiyah, Persis, dan sedikit NU. Jika didalami, akses kepada sumber ajaran Islam kader-kader di organisasi-organisasi tersebut ternyata masih sangat minim. Sedangkan di dalam ICMI, tidak ada lagi kaderisasi dengan kriteria yang rigid dengan menggunakan ukuran-ukuran kuantitatif dan juga kualitatif. Mereka seolah hanya merupakan representasi dari organisasi asal saja. Padahal pemahaman mereka kepada Islam pada saat menjalani aktivitas di organisasi asal sesungguhnya masih sangat parsial atau fakultatif, jika bukan malah masih sangat minim. ICMI mestinya menjadi sebuah wadah dengan sistem kaderisasi yang melahirkan figur-figur yang memiliki kedalaman pemahaman kepada semakin banyak aspek untuk kemudian berupaya mengintegrasikannya. Kaderisasi model inilah yang akan mampu menghasilkan jalan yang mengantarkan kepada reintegrasi saintek ke dalam Islam.
Kedua, kaderisasi oleh organ kepemudaan ICMI belum bisa dilakukan secara optimal. ICMI tidak memiliki sistem kaderisasi yang melakukan pembinaan secara radikal dan fundamental. Sistem kaderisaai yang bisa mengantarkan kepada pemahaman yang mendalam kepada al-Qur’an dan hadits belum terbangun. Itulah yang menyebabkan tidak sedikit aktivis ICMI yang tidak memiliki basis disiplin keislaman, sering mengalami kekeliruan pandangan tetapi seolah itu adalah pandangan Islam. Akibatnya, wacana yang dikembangkan justru keluar dari kerangka Islam, tanpa disadari. Yang lebih tragis adalah di antara elitenya terpedaya oleh aliran sesat yang sebenarnya mudah diidentifikasi dengan akal sehat. Ini sesungguhnya adalah sebuah fenomena gunung es saja. Kejadian yang sesungguhnya sama, bisa saja terjadi, tetapi tidak mendapatkan perhatian publik luas, sehingga tidak memantik perhatian besar.
Kaderisasi ICMI harus benar-benar bisa memastikan kualitas SDM muslim intelektual profesional. Seorang muslim dan arti yang sesungguhnya harus memahami dengan baik seluruh ketentuan Allah di dalam kitabnya, juga sunnah NabiNya. Dan untuk memahami itu, tidak mungkin jika tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab. Kualitas intelektual dibutuhkan untuk menjadikan seluruh doktrin yang ada di dalam al-Qur’an, juga doktrin dan peradaban yang ada dalam sunnah dikontektualisasikan pada masa kini dan di sini. Sedangkan profesionalitas diperlukan untuk menjadi pejuang. Terlebih ajaran-ajaran Islam tidak hanya untuk diimplementasikan secara privat, tetapi juga publik.
AGENDA KE DEPAN
Kaderisasi ICMI harus benar-benar dilakukan secara radikal dan fundamental, sehingga bisa melahirkan kader yang mampu berpikir ideologis, berwawasan politis, bertindak taktis, dan memiliki keterampilan teknis berbasis teknologi yang paling mutakhir. Hal itu penting untuk:
Pertama, melawan pembaratan dalam konteks ideologi. Di antara 114 surat di dalam al-Qur’an, al-Ashr, walaupun masuk kategori surat yang terpendek, merupakan surat yang berisi landasan ideologis paling lengkap.
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (al-Ashr: 1-3)
Dengan berdasar ayat itu, kader muslim akan dengan sangat mudah menangkal berbagai isme Barat, di antaranya ateisme, agnostisisme, pluralisme, humanisme, dan individualisme.
Kaderisasi harus didesain untuk menguatkan paradigma iman yang benar-benar murni dan takwa yang sebenar-benar takwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Paradigma iman Islam harus benar-benar murni dengan kriteria utama percaya hanya kepada Allah, Nabi Muhammad adalah utusan Allah, Nabi Muhammad adalah penutup para nabi, dan mempercayai bahwa mengikutinya adalah sebuah konsekuensi dan keniscayaan.
Kedua, menjadikan doktrin dan peradaban Islam sebagai inspirasi untuk terus mengembangkan sains dan teknologi. Hanya dengan cara itu, umat Islam akan mampu melakukan akselerasi kemajuan di bidang saintek, sehingga memiliki kemungkinan untuk melampaui kemajuan saintek yang dikuasai oleh Barat yang liberalis dan kini beralih ke China yang komunis.
Kemungkinan itu ada karena mereka memperoleh kemajuan saintek murni dengan penelitian yang mebutuhkan waktu yang lama. Sedangkan umat Islam cukup dengan mengembangkan apa yang sudah dinyatakan oleh doktrin agama yang sudah diimani dengan kuat. Setelah ditemukan teknologi big data yang seharusnya teknolog muslim terinspirasi oleh konsep Lauh Mahfudh, di antara yang masih menjadi peluang bagi teknolog muslim untuk menemukannya adalah teknologi teleportasi. Para cendekiawan muslim memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa teleportasi sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an adalah nyata.
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Artinya: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (al-Naml: 40).
Mampukah cendekiawan muslim menjawab? Sejarah semoga segera menjawab iya. Wallahu a’lam bi al-shawab.