Walaupun belum sampai sewindu beroperasi, Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang semakin menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang bukan hanya holistik, tetapi juga inklusif. Holistik dalam arti memiliki paradigma yang tidak memisahkan antara pendidikan agama dan umum. Inklusif dalam arti menerima siapa pun yang memiliki keseriusan untuk menjalani proses pendidikan di dalamnya tanpa pandang bulu. Berasal dari ormas dan partai apa pun bisa masuk. Bahkan tidak membatasi hanya anak-anak dari keluarga mampu saja. Anak-anak yang berasal dari keluarga pra sejahtera juga diterima dengan bisa membayar biaya semampunya, atau bahkan diberikan beasiswa full.

Perkembangannya juga terlihat makin akseleratif. Nampak kawasannya makin luas. Jumlah bilik-bilik yang menjadi tempat tinggal santri-murid juga makin banyak dan bentuknya makin variatif. Dan yang paling diandalkan adalah jumlah pendidiknya yang makin banyak.
Pesantren dan Sekolah Alam yang didirikan oleh Dr. Mohammad Nasih, M.Si. bersama dengan belasan mahasantrinya pada tahun 2019 itu kini memiliki makin banyak pengalaman dalam mengurus para santri-muridnya. Berbagai prestasi yang ditorehkan juga membuat puluhan mahasantri yang pernah nyantri di Monasmuda Institute Semarang yang semuanya berpendidikan pascasarjana ikut bergabung menjadi pendidikan di Planet NUFO. Di samping menjalani proses belajar untuk meneguhkan ilmu pengetahuan, di Planet NUFO, para santri-murid juga dilatih untuk berwirausaha. Tujuannya adalah melahirkan para pengusaha yang bisa membiayai diri sendiri untuk berdakwah di segala lini. Dengan demikian, mereka tidak mengandalkan apalagi berharap santunan amplop umat.

Apa program-program yang ada di Planet NUFO dan bagaimana proses belajar dan pelatihan di dalamnya berjalan? Baladena kembali melakukan wawancara dengan Dr. Mohammad Nasih, M.Si. dan berikut petikannya:

Baladena: “Abah Nasih, ini untuk kesekian kalinya baladena melakukan wawancara. Kali ini kami mau fokus soal siapa saja yang bisa masuk di Planet NUFO? Apakah hanya anak-anak cerdas saja? Hanya yang bisa membayar saja?”

Baca Juga  KKN MIT DR UIN Walisongo Semarang: Melestarikan Budaya Mengenal UMKM Batik Lasem

Abana: “Sejak awal didirikan sampai hari ini, tidak pernah ada diskriminasi di Planet NUFO. Semua kami terima dan alam lah yang akan melakukan seleksi. Namanya saja sekolah alam. Yang mampu menjalani proses di dalamnya, akan bertahan. Sedangkan yang tidak mampu beradaptasi, ya pasti akan angkat koper. Pulang kota. Bukan pulang kampung, karena Planet NUFO ini justru ada di pinggiran kampung dan yang belajar di sini mayoritas justru anak kota. Tapi bukan berarti kami tidak melakukan usaha-usaha agar anak-anak mampu beradaptasi. Kami berusaha sekuat tenaga. Tidak begitu saja kami biarkan mekanisme seleksi alam itu berjalan. Sebab, namanya saja anak-anak. Mereka belum mampu melakukan penilaian secara objektif. Dan mereka belum saatnya mengambil keputusan. Intinya, kami melakukan pendampingan optimal, agar mereka mampu segera beradaptasi dan menikmati segala yang ada di Planet NUFO”.

Baladena: “Bagaimana menyikapi perbedaan level kecerdasan santri-murid?”

Abana: “Kami memiliki banyak pendidik. Satu pendidik di sini menangani 4-10 orang saja. Jumlahnya itu bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan dinamika yang terjadi dalam proses pendidikan dan pelatihan. Kalau boleh ada pilihan untuk hanya memprioritaskan anak-anak yang cerdas, pasti kami memilih anak-anak yang cerdas saja. Tapi kalau kami hanya menerima anak-anak yang cerdas, lalu anak-anak yang tidak cerdas akan diurus oleh siapa? Kami bukan termasuk golongan pendidik yang berprinsip tidak ada anak tidak cerdas. Di Indonesia, karena faktor ekonomi yang berimplikasi pada kemampuan memenuhi gizi, memang ada anak yang tidak cerdas. Tidak ada anak tidak cerdas itu jargon dunia pendidikan di negara-negara maju dengan tingkat ekonomi yang baik. Negara-negara Eropa sana misalnya. Sebab, masalah kurang gizi bisa dikatakan tidak ada lagi. Tapi kalau di Indonesia, kalau kita punya pandangan yang sama, itu tanda tak paham permasalahan kehidupan riil kita. Dan itu kami anggap sebagai tantangan. Upayanya memang harus lebih keras dan berat. Prinsip kami, kalau tidak bisa kami didik, maka akan kami latih. Kami berusaha berikhtiar sekuat tenaga. Saya sampai menanam belasan ribu pohon kelor, itu merupakan ikhtiar alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi para santri. Jika dengan usaha keras itu belum berhasil, ya mau bagaimana lagi. Yang penting kami sudah menjalankan kewajiban kami seoptimal mungkin. Tanggung jawab kami sudah kami tunaikan. Di hadapan Allah nanti kami semoga lulus perhitungan amal.”

Baca Juga  PDIP Tolak Pansus Jiwasraya, Ini Alasannya

Baladena: “Lalu anak-anak dari keluarga yang secara finansial tidak kuat bagaimana? Saya lihat, biaya pendidikan di Planet NUFO ini mahal, sampai puluhan juta”.

Abana: “Iya. Memang pendidikan itu mahal. Mengurus anak-anak memangnya mudah? Lihat saja keseriusan Planet NUFO ini sampai mengerahkan sangat banyak pendidik. Dan mereka ini adalah mahasantri saya di Semarang yang semuanya sudah berpendidikan pascasarjana. Semua itu perlu pembiayaan yang tidak sedikit. Dan semua pendidik di sini adalah aktivis minimal level regional. Kalau di Finlandia kan 1:11. Di Planet NUFO ini 1:4. Kalau ada situasi khusus, tidak sampai 1:11. Dan di sini, tidak ada ngaji bandongan. Semua proses pembelajarannya privat, minimal semi privat. Kalau bandongan, kapan pinternya? Kita tidak bisa memastikan serapan materi para santri-murid. Walaupun mahal, tapi kami selalu berusaha agar bisa membiayainya. Sebab, sejak awal berniat mendirikan lembaga pendidikan ini, tidak terbersit sedikit pun untuk berbisnis dan mendapatkan keuntungan material. Yang ada di dalam pikiran saya saat itu adalah punya lembaga pendidikan yang berparadigma holistik. Anak-anak bisa menyelesaikan pendidikan dasar-dasar al-Qur’an yang meliputi mengartikan dan menghafalkannya paling lambat kelas II SMU. Setelah itu mereka harus melakukan pendalaman keilmuan alam. Kuliah tidak boleh lagi jurusan kajian keislaman. Dan kurikulum yang demikian itu kami siapkan untuk anak-anak kami sendiri. Maka anak-anak saya dan pendidik di sini, ya sekolah di sini. Tidak ada cerita sekolah di sekolah lain. Kalau sampai sistem pendidikan di sini tidak bagus, maka anak-anak kami sendiri yang akan menjadi korbannya. Nah, kalau ada anak-anak dari keluarga pra sejahtera, pilihannya membayar semampunya, atau kalau sama sekali tidak mampu ya boleh memilih untuk gratis. Pasti tetap kami terima. Tidak ada dan semoga tidak akan pernah ada cerita kami menolak santri-murid karena tidak mampu bayar.”

Baca Juga  Di Kota Bekasi, Bansos Presiden Paling Banyak Dikomplain

Baladena: “Sumber pembiayaannya dari mana?”

Abana: “Empat tahun pertama benar-benar murni dari swadaya kami. Tanah yang sekarang terpakai ini adalah tanah saya dan ibu saya. Ada sumbangan dari istri saya, dan teman-teman saya. Juga teman-teman istri dan mertua saya. Setelah kami bisa membuktikan dan menunjukkan bahwa kami mandiri secara intelektual dan finansial, sampai lembaga pendidikan ini berjalan baik, bahkan juara level provinsi dan nasional, saya pikir-pikir sudah saatnya saya memutuskan untuk menerima anggaran dari pemerintah. Yang belajar di sini kan makin banyak. Jadi makin banyak juga biaya yang diperlukan. Fasilitas dan berbagai kebutuhan pasti kan terus meningkat. Maka ya sudahlah, saya terima masukan berbagai pihak untuk juga menerima anggaran dari pemerintah. Semoga itu menjadi tambahan energi untuk menambah akselerasi. Semoga Planet NUFO berkembang makin baik dan bermanfaat lebih besar lagi. In syaa’a Allah.”

Idul Fitri: Kegembiraan, Refleksi, dan Makna Sejati

Previous article

PEMILU, KEMISKINAN, DAN AMPLOPISME

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in News