Pergulatan Politic Etis Kepahlawanan Kartini

Nama Kartini di kalangan perempuan Indonesia sudah menjadi tokoh yang melekat di hati. Pahlawan perempuan Indonesia yang gigih memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Raden Ajeng Kartini lahir dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Kartini lahir di Jepara, 21 April April 1879, dalam usianya yang ke-20 sampai wafatnya – 17 September 1904. Dalam  “Ambiguitas dan Kesubversifan Kartini: Relevansinya bagi Politisi Perempuan Indonesia” karya Danardono menyebutkan dalam usia 25 tahun Kartini telah menulis 149 surat sebagai wujud keinginan untuk melakukan perubahan.

Maka tak berlebihan ketika kemudian Kartini diakui sebagai pahlawan nasional meskipun jalan panjang hingga Kartini diakui sebagai pahlawan ternyata memiliki jalan terjal baik mulai era kolonial hingga zaman kemerdekaan. Sebuah Newsroom Blog, Zen RS (2013) memberikan data-data yang cukup menarik terkait political interest tingkat tinggi dalam menetapkan Kartini sebagai pahlawan. Sebagaimana data yang dikumpulkan Zen RS beberapa tokoh perempuan yang ditetapkan sebagai pahlawan bersamaan dengan Kartini adalah Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia. Sebelum penetapan tersebut, sudah ada 20 pahlawan nasional yang semuanya laki-laki. Komposisinya terdiri dari 11 orang Jawa, 2 orang Sunda, 1 Betawi, 2 Batak, 1 Minahasa, 3 Melayu, 1 orang Indo (Douwes Dekker).

Mengapa sosok Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional?  Kementerian Sosial (kemsos.go.id) secara terbuka dijelaskan bahwa Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. ditambahkan dalam Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006, disebutkan beberapa kriteria seseorang  bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Di antaranya adalah mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, perjuangannya  konsisten,  berskala nasional , sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh yang diajukan sudah meninggal dunia.

Narasi Kartini menjadi pahlawan Indonesia begitu kental dengan berbagai kepentingan politik etis Belanda. Bahkan Zen RS, mengatakan bahwa Kartini hadir “bikinan” orang-orang Belanda yang justru menjadi problematika negera karena sekedar menjadi obyek belaka. Hal ini tentu tak lepas dari kepentingan politik pemerintah Belanda yang dicanangkan sejak 17 September 1901 untuk menutupi keserakahan, perampokan dan kekerasan yang telah berlangsung selama kebijakan sistem tanam paksa yang sudah merenggut ribuan nyawa penduduk Indonesia.

Dilain sisi  Sukarno, Presiden Indonesia  didesak untuk sesegera mungkin mengangkat kalangan perempuan sebagai pahlawan nasional, maka muncullah nama Kartini yang sejak zaman kolonial dengan adnya surat-surat Kartini sudah cukup ramai diperbincangkan. Diantara pihak yang mendesak penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional adalah Gerwani, organsasi perempuan  PKI. Tiga tahun sebelum Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Gerwani telah menerbitkan sebuah majalah perempuan nama  “Api Kartini”.

Narasi Kartini semakin menguat menyusul penerbitan surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh JH Abendanon pada 1911 di Belanda dengan judul “Door Duisternis Tot Licht”. Buku tersebut mendapatkan respon publik yang luar biasa. Awalnya  di Belanda lalu menyebar ke Hindia-Belanda bahkan sejumlah surat kabar juga turut andil menyebarkan berita dan iklan-iklan tentang buku itu. Menurut catatan Zen RS dalam sebuah berita iklan di surat kabar De Tijd (The Times) pada Juni 1911, respons positif atas penerbitan buku itu terkesan ada nuansa arogan dari kalangan  Belanda.   Pernyataan iklan yang mengagetkan dengan pernyataan Belanda: “Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa melahirkan pribadi pintar dan tercerahkan”.

Pada masa itu, Belanda sangat berkepentingan untuk memunculkan pribadi maju dari negeri jajahan demi kepentingan kampanye politik etis, untuk membuktikan bahwa pemerintah kolonial  tidak kalah dengan Inggris di India dalam hal memajukan rakyat terjajah untuk memberikan citra bahwa penjajah Belanda juga “beradab”. Sejatinya Kartini adalah korban politik kolonial dan cenderung disederhanakan oleh keluarga Abendanon. Kartini hanya ditampilkan sebagai pribadi yang peduli dengan pendidikan dalam konteks politik etis kolonial yang mengedepankan gagasan politik asosiasi yakni kerjasama yang mesra antara rakyat terjajah dan penjajahnya. Oleh sebab itu, orang-orang Belanda yang sedang bergia mempromosikan gerakan memajukan rakyat terjajah melalui pendidikan dengan membentuk Yayasan Kartini, yang menjadi salah satu  strateginya  dengan mendirikan sekolah Kartini di Semarang.

Curhatan hati Kartini sejatinya lebih senang dengan posisinya sebagai manusia biasa tanpa embel-embel “Raden Ajeng” atau “Raden Ayu” sebagaimana dalam suratnya: “Panggil aku Kartini saja_itulah namaku.” (Kartini, Surat, 25 Mei 1899, kepada Estelle Zeehandelaar).  Sejatinya, sosok Kartini adalah prototipe manusia Indonesia yang memiliki spirit anti-feodalisme dan sekaligus anti-kolonialisme dalam pikiran maupun tindakannya. Keinginan Kartini bahwa perempuan harus mampu berjuang menghapuskan tradisi    pembodohan. Namun   dalam kenyataanya, Kendla Kartini justru datang dari pihak perempuan sendiri, mereka kurang tertarik pada usaha perbaikan.

Maka Kartini merasa perlu mengubah mindset tentang adat. Adat adalah aturan yang dibuat oleh manusia karenanya dapat diubah oleh manusia juga. Adat dipertahankan karena nilainya yang luhur, tetapi ketika nilai-nilai adat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, maka perlu disederhanakan atau bahkan diubah. Sebagian masyarakat salah paham, perjuangan Kartini bukanlah melawan laki-laki atau ingin menyaingi laki-laki tetapi justru ingin menjadikan masing-masing sebagai pribadi yang memiliki peran harmonis dalam membangun rumah tangga baik dalam ruang publik maupun domestik.

Siti Izha Nurdianti, Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam UIN Walisongo Semarang

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *