Umat Islam kembali merayakan Iduladha meskipun masih dalam situasi memilukan di tengah pandemi Covid-19 yang semakin menggila. Suara takbir, tahlil dan tahmid tarsus menggema mengiringi rangkaian ibadahah di hari raya Iduladha sampai dengan hari tasyrik.

Ada beberapa ibadah yang saling berkaitan di hari Raya Iduladha, yaitu ibadah haji, puasa Arafah bagi yang tidak haji, shalat Id, dan kurban. Semua menjadi bukti syiar, kekuatan dan dakwah umat Islam.

Ibadah haji merupakan prosesi ibadah yang telah menyatukan sikap dan kalimat setiap jamaah yang datang dari latar belakang beragam, mulai dari bangsanya, bahasa, warna kulit, jabatan, maupun status sosialnya. Puasa Arafah dilakukan bagi umat Islam yang tidak haji agar mendapatkan pahal haji. Pelaksanaan shalat Id disertai khutbah, sebagai bukti syiar.

Adapun kurban, yaitu suatu peribadatan yang sangat diunggulkan pada hari raya Iduladha. Bahkan Iduladha sendiri makna harfiahnya adalah “kembali berkurban”, yaitu menyembelih binatang ternak berupa kambing, sapi, kerbau, atau unta dengan kriteria tertentu setelah shalat Idul Adha. Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada Hari Raya Kurban lebih dicintai oleh Allah selain dari menyembelih hewan kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak di hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya, dan sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan pahala kurban itu.” (H.R. Tirmidzi, No. 1413).

Baca Juga  Menghargai Anak, Memperkuat Karakter: Etika Dasar Bagi Si Kecil

Begitu diunggulkannya ibadah kurban tersebut, setiap muslim yang mampu sangat dianjurkan berkurban. Kepada yang enggan berkurban padahal ia mampu, Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang mempunyai kemampuan untuk berkurban, tapi ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia dekat-dekat ke mushalla (tempat shalat) kami”. (H.R. Ahmad). Zaman Nabi Muhammad Saw. mushalla merupakan tanah lapang yang dijadikan tempat shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Penyembelihan hewan kurban sendiri merupakan ibadah dalam ranga berbagi sebagaimana meneladani Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Sebab, dalam kehidupan ini, banyak sekali prinsip-prinsip hidup yang harus dijalani dan pegang teguh. Belajar dari kehidupan Nabi Ibrahim AS dan keluarganya, ada empat prinsip hidup yang perlu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat dan bangsa.

Pertama, berdoa. Salah satu yang amat penting untuk kita lakukan dalam hidup ini adalah berdoa kepada Allah Swt. Doa bukan hanya menunjukkan kerendahan diri kepada Allah, tapi memang manusia memerlukan bantuan dan pertolongan Allah Swt. Doa Nabi Ibrahim AS yang popular adalah agar negeri yang ditempati diri dan keluarganya dalam keadaan aman. Allah Swt. berfirman menceritakan doa Nabi Ibrahim AS: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (QS Ibrahim [14]:35).

Nabi Ibrahim juga berdoa agar negerinya diberikan rizki yang cukup seperti difirmankan Allah Swt: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kimat” (QS Al-Baqarah [2]:126)

Baca Juga  Milenial Menghadapi Quarter Life Crisis (QLC)

Selain itu, doa yang sangat penting dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim AS adalah agar diri dan keturunannya terhindar dari kemusyrikan, yakni menuhankan dan mengagungkan selain Allah Swt.

Kedua, memiliki semangat berusaha. Sesulit apapun keadaan, peluang mendapatkan sesuatu tetap terbuka lebar. Siti Hajar telah membuktikan betapa ia berusaha mencari rizki meski berada di daerah yang saat itu belum ada kehidupan. Inilah yang dalam ibadah haji dan umrah dilambangkan dengan sai yang artinya usaha. Ketika sudah berdoa, jangan sampai mengkhianati doa sendiri. Berdoa minta ilmu tapi tidak mau belajar, berdoa minta anak shalih tapi tidak mencontohkan keshalihan dan tidak mendidik mereka, berdoa minta sehat tapi mengonsumsi sesuatu yang mendatangkan penyakit, berdoa minta rizki tapi tidak mau berusaha meraih yang halal, begitulah seterusnya. Inilah yang dimaksud tidak konsisten dengan doa yang dipanjatkan. Doa dan usaha harus selalu paralel dalam satu variable.

Ketiga, memiliki hati yang bersih dan tajam. Seperti halnya badan dan benda-benda, hati bisa mengalami kekotoran, namun kotornya hati bukanlah dengan debu, hati menjadi kotor bila ada sifat-sifat yang menunjukkan kesukaannya kepada dosa, padahal dosa seharusnya dibenci. Apabila dosa dsukai apalagi sampai melakukan, maka jalan terbaik adalah bertaubat sehingga ia menjadi bersih kembali. Hati yang bersih akan membuat seseorang menjadi sangat sensitif terhadap dosa, karena dosa adalah kekotoran yang sangat merusak jiwa. Setelah hati bersih, maka hatipun menjadi tajam sehingga orang yang hatinya tajam amat mudah membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang diperintah dan mana yang dilarang. Karena itu, Nabi Ibrahim AS dan anaknya Nabi Ismail AS cepat paham dan nyambung terhadap perintah Allah Swt untuk menyembelih Ismail meskipun hanya dengan isyarat mimpi. Dalam kehidupan sekarang, banyak orang yang hatinya tumpul karena sudah berkarat dengan dosa, sehingga jangankan bahasa isyarat, bahasa yang terang, jelas dan tegas saja bahwa hal itu diperintah atau dilarang tetap saja tidak paham atau tidak mau dipahkan.

Baca Juga  Perlunya Percepatan Penggunaan Energi Bersih

Keempat bahwa di hadapan Allah Swt. manusia itu sejajar dan setara(egaliter dan imparsial). Allah Swt. tidak membedakan manusia dari segi hartanya, popularitas, jabatan, kekuasaan dan atribut-atribut sosial lainnya. Berkumpulnya banyak orang di Masjidil Haram dari penjuru dunia, semua berbaur menjadi satu dengan atribut sebagai hamba Allah; tak ada bedanya antara pejabat dengan rakyat biasa, tak ada bedanya antara pengusaha dan petani dari desa. Bahkan saat ihram, sekaya apapun dan setinggi apapun jabatan seseorang, mereka berbalut pakaian yang sama, dua helai kain ihram yang tidak berjahit. Pakaian itu pula yang akan dikenakan ketika dikuburkan.

*Diktuip dari berbagai sumber.

Oleh: Dr. AI Hamzani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Judi Online Dapat Dijerat UU ITE

Previous article

Tim KKN MIT DR-12 UIN Walisongo Semarang Kelompok 26 Membuat Cairan Disinfektan Sederhana

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Gagasan