Kohati Putri Kohati (1) Pandangan Pertama

Keberuntungan sering dianggap sangat misterius. Banyak yang memandang bahwa ia seringkali datang tak diundang, di luar perhitungan. Namun, saat diharapkan, dia tak kunjung datang. Bahkan tak jarang yang datang adalah yang sama sekali tidak diinginkan.

Seperti yang kualami. Aku ingin lulus cepat dengan mengambil jurusan tafsir & hadits, setelah merasakan dua semester kuliah di jurusan fisika. IPK tertinggi di angkatanku hanya 2,71. Kulihat mereka sudah belajar habis-habisan. Ditambah lagi dengan sikap sebagian dosen yang feudal dan dengan semangat mengatakan bahwa nilai A hanya untuk Tuhan, B untuk dosen, dan maksimal C untuk mahasiswa.

Padahal salah satu syarat untuk studi lanjut, semua program pascasarjana rata-rata mematok IPK minimal 2,75. Aku berpikir harus mengambil langkah alternatif agar nantinya bisa studi lanjut. Dalam hitunganku, kuliah tafsir hadits akan bisa kujalani dengan santai, bahkan sesekali bisa mencuri-curi tidur di dalam kelas jika diajar oleh dosen yang monolog, kuselesaikan dengan cepat, meraih IPK tertinggi, dan menjadi lulusan terbaik. Ini sesungguhnya bukan sesuatu yang ambisius. Sebab, aku sudah tahu bahwa level materi kuliah di jurusan ini masih di bawah yang sebelumnya kupelajari di pesantren saat sekolah menengah.

Semua nyaris terbukti. Bahkan aku sering berhasil melakukan negosiasi dengan beberapa dosen muda untuk mendapatkan dispensasi tidak kuliah. Kujelaskan dengan hati-hati pada mereka, bahwa aku sudah siap langsung diuji, agar mereka tidak salah memahami. Satu di antaranya setuju, dengan syarat aku mau jadi koordinator diskusi saat dosenku itu tidak bisa masuk kuliah atau terlambat masuk. Dengan cara itu, aku bisa memanfaatkan waktu untuk aktivitas lain di luar kampus.

Namun peta jalan jadi berubah drastis menjelang aku menyelesaikan semester VI. Saat aku akan menjalani KKN di liburan semester, aku dijatuhi skorsing oleh dekan. Itu akibat aksi soliter di depan kampus. Beberapa bulan sebelumnya, aku sudah mengajukan protes, bahkan menyampaikan ke wakil dekan bagian kemahasiswaan, bahwa dua edisi majalah tidak diterbitkan oleh UKM penerbitan. Mahasiswa dirugikan, karena sudah membayar iuran, tetapi tidak mendapatkan haknya. Setelah ada protes itu, terbit media, tetapi edisi IX. Padahal edisi VII dan VIII belum ada. Karena itu, majalah yang tiba-tiba juga berubah nama menjadi Jurnal-Majalah yang baru saja dibagikan itu kubakar di bawah pohon tempat kami duduk ngobrol sembari menunggu dosen datang.

Akibat pembakaran itu, situasi memanas. Bukan karena api yang membakar majalah itu merembet ke kampus. Namun, pengurus UKM tidak terima. Didukung oleh kelompoknya. Mereka menekan dekan agar aku dipecat. Aksi terjadi beberapa kali. Setelah pendukung media menekan dekan, kelompok yang mendukung aksiku juga melakukan aksi yang tak kalah besar. Karena itulah, dekan akhirnya menjatuhkan sanksi empat bulan skorsing. Aku tidak mendapatkan pelayanan akademik. Beruntung, KKN masih bisa kujalani.

Aku mengajukan gugatan ke PTUN. Namun, untuk membunuh waktu dan rasa bosan menunggu saat sidang, aku membuat aktivitas-aktivitas baru. Menulis opini di media makin meningkat frekuensinya di tengah waktu longgar karena bebas kuliah. Tidak ada Basic Training (LK I) yang tidak kudatangi pada setiap akhir pekan.

Sore itu, saat aku masih fokus di depan laptop di kamar kos-kosan menyelesaikan sebuah artikel opini, HPku bergetar. Drrreeddd …. drrreeddd …. drrreeed. Begitu suara getarnya di atas meja kayu di depanku. Ada pesan dari dosenku yang juga senior Kohati.

“Mas Azam, tolong jangan lupa setelah ashr saya tunggu untuk membantu editing di rumah ya.”

Beberapa hari sebelumnya, Bang Dani, seniorku, menawariku untuk membantu Bu Aisyah mengedit tulisan-tulisannya. Memang aku sudah sejak semester II menulis, terutama agar bisa memenuhi kebutuhan finansial menjadi Ketua Komisariat yang tak mungkin mengandalkan kiriman dari ibuku yang sudah menjanda sejak aku masuk SMU. Karena itulah kedua seniorku itu tahu dan sepakat memintaku untuk menggantikan Bang Dani yang akan menjalani Summer Program di Canada untuk beberapa bulan.

Setelah shalat ashr, aku langsung bergegas, menstarter motor astrea yang suaranya sudah tak lagi halus. Mungkin karena ada skrup pada sambungan di pangkal knalpotnya yang sudah tidak lagi presisi, sehingga membuat suaranya bocor. Namun, itu justru membuat suara motor yang tak lagi bagus itu terdengar lebih keren. Suaranya jadi agak mirip motor balap.

Hanya perlu beberapa menit saja untuk sampai ke rumah Bu Aisyah yang terletak di pinggir jalan raya, tak jauh dari kampus III UIN. Aku sudah cukup akrab dengan Bu Aisyah, karena saat awal aku masuk kuliah, beliau menjabat sebagai Wakil Dekan III yang sering berhubungan dengan mahasiswa, terutama para aktivis.

Aku masuk ke halaman rumah cukup besar bercat cerah. Saat aku datang, pagarnya sudah terbuka karena baru saja ada mobil Vios berwarna silver masuk. Rupanya aku datang mengiringi suaminya yang menurut dugaanku baru saja pulang dari praktek di rumah sakit. Sebab, kulihat dia keluar dari mobil dengan menenteng jas putih dan stetoskop.

“Assalamu’alaikum” Aku menyampaikan salam.

“Wa’alaikumus salam. Ini dengan siapa? Sepertinya belum pernah bertemu. Mahasiswa ibu ya?” Beliau menjawab salamku, dan sebelum pertanyaannya kujawab, sudah ada pertanyaan berikutnya.

Setelah kujelaskan keperluanku, beliau mengajakku masuk bersamaan. Aku tidak berusaha untuk mengajaknya sekedar basa-basi, karena aku baru pertama kali bertemu dengan beliau. Aku hanya berjalan mengikuti jejak langkah gontainya yang seperti orang kelelahan, melewati ruang tamu, lalu sebuah ruang yang ada meja bundar, lalu berbelok di balik sebuah buffet besar. Setelah melewati beberapa kamar di sebelah kiri dan sebuah halaman tengah yang cukup luas, sampailah aku di sebuah ruangan yang di situ Bu Aisyah nampak berkutat dengan banyak buku.

“Assalamu’alaikum”. Aku mengucapkan salam dan dibalas oleh Bu Aisyah yang menengok karena pintu terbuka dan melihat kami berdua. Setelah basa basi sebentar, aku diberitahu tugasku mengedit beberapa tulisan. Aku langsung tenggelam dalam untaian kalimat-kalimat yang setelah kulihat catatan kakinya berasal dari referensi-referensi yang cukup berat. Namun, justru karena itulah aku merasa sangat suka. Ada banyak pengetahuan baru yang kudapatkan dari mengedit tulisan Bu Aisyah. Pekerjaan ini ibarat menyelam ke dalam air sambil minum susu.

Di tengah pekerjaan yang cukup hanya dengan konsentrasi dan menggerakkan jari jemari itu, hujan turun. Cukup deras. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu depan dibuka, lalu kembali ditutup. Terdengar ada suara dua orang perempuan berdialog akrab. Sejurus kemudian, pintu ruangan yang di dalamnya aku sedang duduk khusyu’, terbuka dengan deritan khas. Aku menoleh ke daun pintu jati yang tebal itu. Sesosok gadis berjilbab merah cerah dengan wajah sedikit basah terlihat. Namun, tiba-tiba dia melompat karena terkejut.

“Kodok, kodok. Ih ada kodok masuk ke sinii.”

Aku yang sedari tadi duduk di kursi secara refleks berdiri. Bagaikan seorang pahlawan kesiangan aku mengeluarkan anak katak yang hanya seukuran jempol tangan itu.

“Terima kasih ya, Mas. Eh mas siapa ya? Belum kenal.” Katanya sambil tersenyum biasa. Dia melewatiku begitu saja mengarah kepada ibunya yang sedang duduk di kursi menghadap tumpukan buku dan kitab.

“Ini Mas Azam, mahasiswa Ibu; menggantikan Mas Dani, karena besok harus berangkat ke Canada.”

Gadis mungil itu terus berjalan tanpa menengok. Setelah memperkenalkan namaku, beliau lalu bertanya kepada putrinya:

“Kok baru pulang, Nok?” Beliau menyebut putrinya dengan sebutan, intonasi, dan gerak tubuh sebagai seorang ibu yang sangat sayang pada anaknya. Namun, karena sebutan itu, aku jadi tidak tahu nama putrinya itu.

“Iya nih, Bu. Tadi disuruh ke Masjid as-Syifaa’ dulu. Persiapan untuk bakti sosial besok. Anak-anak FK lagi dikerahkan untuk penanganan korban erupsi Gunung Merapi.” Jawabnya sambil tersenyum kepada ibunya.

“Ke atas dulu ya, Bu. Basah nih.” Tanpa menunggu jawaban ibunya, dia langsung bergerak lagi meniti belasan anak tangga dan menghilang di balik tembok karena tangga yang berbelok.

Aku baru tahu bahwa seniorku itu punya anak gadis yang sudah masuk kuliah. Ya, di Fakultas Kedokteran Undip. Dan diam-diam wajah putihnya menusuk ke dalam pikiran dan hatiku. Gayanya yang santai saar melewatiku itu yang membuat aku penasaran.

Aku merasa bahwa gadis yang baru saja kulihat sangat berbeda. Berpenampilan biasa, tanpa bedak dan lipstik, bahkan pakaiannya pun sangat sederhana, tetapi tampak sangat mempesona. Pandangan pertama baru saja, membuatku memiliki harapan. Aku berharap dia turun kembali dan ada kesempatan kenalan. Namun, sampai pekerjaanku selesai dan aku harus pulang, puteri dosenku itu tak kunjung turun. Aku turun dengan membawa rasa sesal yang tidak beralasan.

Sesampai di kos-kosan, adzan maghrib sudah berkumandang. Sejak setelah maghrib, aku merasa waktu sangat lambat berjalan. Aku berharap, petang itu segera berganti terang pada keesokan harinya dan aku diminta lagi oleh Bu Aisyah untuk menyelesaikan urusan editing berikutnya. Harapan benar-benar membuat waktu penantian menjadi terasa semakin panjang. (Bersambung)

*Oleh: Mohammad Nasihpengumpul fatwa cinta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *