Ibuku, ibu yang sangat aku sayang. Ibu yang membesarkanku, menyusuiku, dan merawatku dari kecil hingga saat ini. Ibu yang selalu melindungiku di kala aku membutuhkan. Dengan rapihnya ia menata keutuhanku. Mengajarkanku tentang arti kehidupan dan hal-hal kecil yang belum pernah aku ketahui sebelumnya.
Tinggallah ibu hanya bersamaku seorang. Anak laki-laki yang dibesarkannya seorang diri. Merupakan harta tak terhingga yang dimilikinya saat ini. Ayah telah meninggal di kala usiaku baru menginjak dua tahun. Dengan demikian aku tumbuh merangkai kisah tanpa seorang ayah.
Kecelakaan lalu lintas waktu itu menyebabkan ayahku meninggal. Beruntung aku dan ibu masih bisa terselamatkan. Tidak dapat ku ingat dengan jelas kejadian itu. Hanyalah sebatas rasa trauma yang aku alami.
Saat ini aku masih duduk di bangku SD. Belajar dan bermain layaknya anak-anak pada umumnya. Setiap pagi ibuku selalu membantuku dalam mempersiapkan kebutuhan sekolah. Mulai dari membangunkanku, menyiapkan pakaian, dan sarapan, hingga mengantarkanku berangkat ke sekolah. Walau dengan berjalan kaki, tapi aku merasa senang di saat ibu mengantarkanku ke sekolah. Kebetulan jarak antara rumahku dan sekolah tidak terlalu jauh, jadi kami tidak perlu menaiki angkutan umum.
Dengan keterbatasan ekonomi ibuku. Terkadang seakan aku menjadi beban bagi ibuku. Mengingat kebutuhan sekolahku yang tidak sedikit, ditambah menghidupiku setiap harinya. Tak jarang teman-teman di sekolah, mengejek dikarenakan kurangnya fasilitas yang kumiliki. Seperti halnya sewaktu sepatu sekolahku rusak, mereka dengan lihainya mentertawakan. Hingga tidak mampu memahami betapa berartinya sepatu ini untukku.
Aku mulai jenuh dengan keadaan sehari-hari. Ibu selalu cerewet dengan apapun yang aku lakukan. Seperti aku mengantuk saat belajar malam, tidak menghabiskan sarapan. Hingga aku jarang diberi uang jajan. Begitupula sering diejek-ejek miskin oleh temanku. Akhirnya aku mentraktir semua teman-temanku dengan uang yang diberikan ibu untuk membayar buku. Pada suatu hari gurupun memanggil ibu. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Kulihat hanya wajah ibu yang tampak lesu dan pucat saat itu.
Setelah kejadian tersebut, ibu marah-marah kepadaku dan aku tidak terima.
Ibu: “ Dio, di mana uang yang Ibu berikan sama kamu untuk membayar buku?”
Dio: “ Nggak tau, mungkin hilang.”
Ibu: “ Jangan bohong sama Ibu!”
Dio: “ Yaa aku bosen, Bu. Gak pernah jajan di sekolah, sedangkan teman-temanku selalu bersama dan menikmati makanan di sekolah.”
Ibu: “ Ibu kan selalu bawakan bekal makanan buat kamu.”
Dio: “ Yaaa tapi aku bosen dengan makanan Ibu! Aku bosan jadi bahan ejekan, aku bosan hidup susah sama Ibu!”
Ibu: “Dio!” (Dio berlari menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras)
Setelah itu aku tinggalkan ibu sendiri. Terdengar sesak tangis ibu dari balik pintu kamarku. Setelah beberapa waktu berlalu dan malam pun datang. Aku mencoba melihat ibu dari celah pintu yang sedikit kubuka. Terlihat ibuku yang sedang menjahit pakaian. Setelah itu, ibu juga mempersiapkan dagangan untuk dijual besok. Sesekali ibu memandangi foto ayah. Aku memberanikan diri keluar dari kamar memeluk ibu dan meminta maaf atas perkataanku tadi siang. Kamipun menangis dengan penuh hikmat. Tidak lama, ibu mengeluarkan bungkusan dari dalam lemari, dan ternyata itu sepatu baru untukku. Ibu membeli dengan uang tabungannya. Akupun kembali menangis haru dan merasa bersalah. Mengetahui bahwa ibu adalah wanita paling sempurna di dunia. Meskipun kondisi kami saat ini sulit, tapi ibu tidak pernah menyerah apalagi menunjukan rasa lelahnya kepadaku. Ibu selalu berpesan di manapun aku hidup aku tidak boleh mengeluh harus bermanfaat bagi orang lain dan harus berjuang keras untuk menggapai cita-cita. Tinggallah ibu hanya bersamaku seorang. Anak laki-laki yang dibesarkannya seorang diri. Merupakan harta tak terhingga yang dimilikinya saat ini. Ayah telah meninggal di kala usiaku baru menginjak dua tahun. Dengan demikian aku hidup merangkai kisah tanpa seorang ayah.
Sejak kecil aku selalu tahu apa yang aku inginkan. Selalu tahu apa yang ingin kuraih. Dengan kerja keras tanganku sendiri. Hingga pada suatu waktu ketika aku sudah dewasa, aku diingatkan oleh sesuatu yang merubah hidupku. Kala itu aku telah meyelesaikan kuliahku. Kemudian aku mulai melamar pekerjaan kepada perusahaan-perusahaan. Beberapa kali saya telah melamar pekerjaan, namun masih belum bisa diterima. Meskipun aku memiliki kualitas akademik yang bagus, entah karena masih ada kekurangan kualitas dari diriku yang belum memadai dalam perusahaan tersebut. Mungkin menjadi salah satu penyebab tidak diterimanya di perusahaan tersebut.
Tidak berakhir begitu saja. Aku tetap berusaha untuk mencari perusahaan yang dapat menerimaku sesuai dengan kemampuan yang kumiliki. Hingga pada suatu perusahaan akan kulamar. Aku mendapat pesan penting di saat aku mendapat surat panggilan dari perusahaan tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 07.10 WIB dan aku masih menunggu di sofa yang nyaman dalam ruang tamu kantor. Seketika pesan muncul dalam layar HPku. “Semoga Allah SWT melancarkan usahamu, Nak. Kalau memang rezeki, tidak akan ke mana,” pesan Ibu. Bersamaan dengan salah seorang pegawai kantor memanggil namaku dan memintaku untuk segera menuju ke salah satu ruangan.
Saya bertemu dengan pemilik perusahaan, Pak Zen namanya. Terpasang gagah nama beliau di dadanya. Kemudian dipersilahkan duduk dan aku diberikan kesempatan untuk menyampaikan lamaran kerja. Sembari Pak Zen membuka lembaran data pendidikan. Dengan sedikit gugup aku mulai mengeluarkan sepatah demi patah gagasan dari mulutku.
Setelah aku selesai dalam menyampaikan gagasan. Kemudian Pak Zen memberikan tanggapan sembari menutup lembaran data pendidikan milikku tadi.
Pak Zen : “Dio, apa pernah kamu melihat tangan ibumu?”
Dio : “Ibu saya seorang penjual kue dan tangannya selalu sibuk membuat adonan. Jadi, saya tidak pernah memperhatikan tangannya, Pak.”
Pak Zen: “Satu tangan ada lima jari dan dua tangan berarti ada sepuluh jari. Sekarang kamu pulang ke rumah dan kamu lihat tangan dari ibu kamu. Kalau kamu sudah paham, kalau kamu sudah mengerti kamu kembali lagi kesini dan kita ngobrol lagi.”
Selama ini aku tidak pernah memperhatikan tangan ibuku. Tangan yang merawatku, membesarkanku, menjagaku, melindungiku. Sampailah aku di rumah, mengucap salam kepada ibu dan mencium tangannya. Aku duduk di kursi dekat ibu.
Ibu: “ Gimana hasil lamaranmu? Pokoknya sudah usahakan?”
Dio: “ Bu, boleh lihat tangan Ibu nggak?”
Ibu: “ Memang bisa baca garis tangan Ibu?”
Dio: “ Ini kenapa, Bu?”
Ibu: “ Ibu waktu sedang memotong bahan campuran kue, tidak sengaja terkena pisau, luka jadinya.”
Dio : “ Kalau yang ini?”
Ibu: “Waktu itu, Ibu lagi mempersiapkan dagangan, dan kamu telepon. Bilang bahwa kamu lulus ujian kuliah dan nilainya bagus. Ibu seneng banget dan nggak sengaja nyenggol wajan yang masih panas.”
Dio: “Hmmm…” (meneteskan air mata)
Malam itu pun aku larut dalam tangis kasih sayang. Aku memeluk ibu dan berterima kasih kepadanya. Hingga muncul kekuatan besar dalam diriku untuk bangkit dan berusaha lebih keras lagi demi ibuku.
Keesokan harinya aku kembali datang menuju kantor perusahaan milik Pak Zen. Kemudian aku bertemu Pak Zen di dalam ruangannya. Pak Zen pun menanyakan perihal kemarin yang ia minta padaku.
Pak: “ Eehh, Dio.”
Dio: “ Pagi, Pak.”
Pak Zen: “ Pagi. Gimana kabar kamu hari ini?”
Dio: “ Semuanya terlihat berbeda hari ini, Pak.”
Pak Zen: “ Maksudnya?”
Dio: “ Dua tangan sepuluh jari, tangan saya dan ibu saya menjadi dua puluh jari, dan ketika bersatu kita bisa menjadi lebih kuat. Tangan ibu saya tidak hanya membesarkan saya, namun juga merupakan sebuah pengorbanannya dalam keberhasilan saya. Keberhasilan datang dari sebuah pengorbanan. Apapun hasilnya, kita tidak akan pernah menyerah pada komitmen.”
Pak Zen: “ Bagus. Ok, Dio. Selamat datang di perusahaan saya. Selamat kamu diterima di perusahaan ini.”
Hari itu menjadi awal dari kebangkitan besar dalam hidupku. Akupun menelepon ibu dan memberi tahu bahwa aku telah diterima kerja. Rasa syukur yang selalu kuucap, pengorbanan ibu akan aku ganti dengan kebahagiaan yang akan datang. Terima kasih, Ibu, engkau adalah segalanya bagiku.
Oleh: Ahmad Ari Saputro, Sanja SMK Planet Nufo Mlagen Rembang asal Banjarnegara, Pengurus IPNU Planet Nufo.