Belajar dengan Bermain: Revolusi Sistem Pendidikan di Planet NUFO

Baladena.ID

Wawancara di sebuah bilik unik berbentuk gorong-gorong:

Kegagalan pendidikan di Indonesia membuat banyak orang prihatin. Namun, tidak banyak yang kemudian membuat konsep-konsep alternatif, apalagi benar-benar memiliki keberanian untuk melakukan uji coba. Sebab, untuk melakukannya, memerlukan keseriusan dengan risiko yang tidak kecil, mulai dari materi yang dikeluarkan, sampai peserta didik yang tentu akan kehilangan masa depan.

Orang yang benar-benar berani menanggung risiko itu tidak takut untuk menjadikan anak-anaknya sendiri menjadi “kelinci percobaan”. Dan itulah yang terjadi di Planet NUFO, sebuah sekolah alam yang memang dibuat untuk anak-anak mereka sendiri. Karena itu, para pendiri benar-benar total untuk membangun perangkat lunak maupun kerasnya.

Berikut ini hasil wawancara Baladena.ID dengan salah satu pendiri Planet NUFO, Mlagen, Pamotan, Rembang, Jateng, Dr. Mohammad Nasih, atau akrab disapa Abah Nasih, yang sesungguhnya adalah pengajar di Progran Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ. Wawancara dilakukan dengan santai di sebuah bilik unik berbentuk gorong-gorong yang masih dalam proses penyelesaian.

Nampaknya yang ada di sini aneh-aneh semua. Seolah saya tidak sedang berada di sekolah. Maksud semuanya ini apa, Bah?

Ya kalau biasanya saja, yang lain sudah ada. Tidak perlu bikin lagi. Hehehe. Salah satu prinsip paling dasar dalam membangun Planet NUFO ini adalah “Different and the Best”, menjadi yang berbeda dibanding yang sudah ada, dan sekaligus yang terbaik. Bikin baru ya tentu harus lebih baik dong. Kalau tidak lebih baik, sekali lagi, tinggal masukkan anak ke yang sudah ada saja. Sebab, kami mendirikan Planet NUFO ini pada dasarnya untuk anak-anak kami sendiri.

Kenapa namanya Planet NUFO, bukan sekolah apa gitu?

Ya, itu di antara perbedaan mendasarnya. Dan ini diawali dari bacaan terhadap mind set yang tertanam dalam benak anak. Saya punya pengalaman pribadi, yang tentu saja, ini penafsiran subjektif saya. Kalau saya tidak salah ingat, itu terjadi tidak lama setelah saya lulus S3 Ilmu Politik UI, pada tahun 2010.

Saat itu ada salah seorang teman sekelas kontak via SMS pamit mau pulang kampung. Kami heran, kenapa dia begitu. Kami kemudian berkunjung ke rumah kontrakannya. Ternyata dia serius. Barang-barangnya sudah dikemas rapi, terutama buku-bukunya sudah dikardusin.

Kami bertanya, apa gerangan yang membuatnya ingin meninggalkan studi. Rupanya dia merasa tidak mampu menyelesaikan studinya. Menurutnya kuliah itu berat. Dia memang termasuk kategori mahasiswa S3 yang sudah senior. Usianya di atas 45 tahun. Pernah menjadi pejabat di daerah. Kami kemudian menghiburnya agar tidak jadi pulang dan menyelesaikan studinya segera. Kami memotivasinya bahwa beliau pasti bisa.

Sesampai di asrama, saya dulu tinggal di asrama UI, saya mikir, kenapa dia merasa bahwa kuliah itu berat ya? Padahal kuliah itu kan biasa saja. Bahkan kalau ada kuliah lagi setelah S3, saya waktu itu kepengen kuliah lagi. Hehehe. Kuliah itu kan datang, duduk, ngantuk saja asal ikut ujian, nilainya B-. Kalau dikerjakan dengan serius, bisa B bahkan A.

Menulis skripsi, tesis, dan disertasi, asal kita ikuti kemauan pembimbing, pasti juga cepat selesai. Nah, ini kok ada yang merasa berat? Aneh meburut saya. Lalu saya berusaha merurut apa sebenarnya yang membuat ada orang berpikir begitu. Saya menemukan sebuah asumsi bahwa lembaga pendidikan mulai dari SD apalagi perguruan tinggi telah berubah menjadi penjara yang menegangkan orang. Itu yang menyebabkan para murid dan mahasiswa menganggap bahwa libur itu menyenangkan dan sekolah itu membosankan.

Itulah di antaranya yang membuat kami menghindari kata “sekolah” untuk disebut di sini, kecuali untuk keperluan administratif di atas kertas untuk berurusan dengan birokrasi. Kenapa “planet”? Sebenarnya ada banyak pilihan. Tetapi, planet lebih mudah diingat sebagai sebuah tempat tersendiri. Itu saja.

Maksudnya, ini mau kita desain sebagai sebuah tempat khusus untuk belajar dengan cara yang menyenangkan, bahkan muridnya tidak sadar bahwa mereka sedang belajar. Mereka merasa bermain, tetapi ternyata menghasilkan pengetahuan dan keterampilan untuk keperluan masa depan hidup mereka.

Nah, NUFO itu apa, Bah?

NUFO itu singkatan dari Nurul Furqon. Sebab, yang mendirikan kan saya dan Pak Arief Budiman, yang punya SD Islam dan Pesantren al-Furqon, Rembang Kota. Maka SMP ini ya ditambahi sedikit, dengan Nurul, jadi Nurul Furqon, disingkat NUFO. Biar kedengarannya seperti nama makhluk luar angkasa.

Kenapa ada dua rumah bambu berbentuk segitiga? Apa maksudnya?

Karena ini sekolah alam, maka yang nampak juga harus bahan-bahan alamiah. Apa adanya digunakan. Waktu itu saya berfikir, apa yang bisa digunakan untuk membuat rumah? Jati saya waktu itu sudah habis saya gunakan untuk membuat berbagai keperluan.

Tapi masih ada bambu dengan jumlah cukup banyak. Maka saya minta tebang semua untuk bikin ini. Bentuknya segitiga, karena itu yang paling simple saja. Dan bisa dicarikan filosofinya. Sudut di atas, itu berarti bahwa Allahlah yang menjadi puncak tujuan kami. Sedang dua yang lain yang di bawah itu adalah manusia dan alam semesta.

Jadi, kami ini berhubungan dengan Allah, sesama manusia, dan juga alam semesta. Ketiganya harus seimbang, terjadi secara harmonis. Dengan Allah kami menempatkan diri sebagai hamba. Manusia lain, masyarakat, kami jadikan sebagai partner untuk bekerjasama dan sinergi, dan kepada alam, kami harus ramah. Maka di antara yang kami tekankan di sini adalah ramah lingkungan. Jangan sampai menjadi penambah pencemaran terhadapnya.

Dua rumah bambu berbentuk segitiga berdiri di bagian depan NUFO, yang terlihat dari jalan raya.

Ada tulisan Qur’anic Habit Camp di atas rumah bambu itu maksudnya apa?

Itu adalah deklarasi kepada semua, bahwa ini adalah tempat untuk membiasakan kehidupan yang qur’ani. Yang diperintahkan kita jalankan dan biasakan. Dijadikan sebagai karakter. Misalnya, shalat jama’ah tepat waktu, shalat tahajjud, shalat dluha, shalat rawatib, sebagai manifestasi perintah do’a kepada Allah.

Bekerja keras, cerdas, dan ikhlas, termasuk di dalamnya belajar dengan giat. Kerjasama dan sinergi dalam menjalani aktivitas dengan membangun tim yang kuat. Semua itu kami lakukan di sini. Agar kami bisa sukses bersama. Sebab, tidak ada sukses sendiri.

Saya lihat ada banyak tanaman di sini. Dan bermacam-macam jenisnya, mulai dari sayuran sampai kayu keras. Apakah ada maksudnya juga?

Tentu. Bahkan ini ada filosofinya. Kalau ini saya ambil sebagiannya dari bapak saya. Kalau ingin sejahtera harian, maka tanamlah sayuran. Maka di sini ada ubi kayu dan jalar yang daunnya bisa disayur setiap hari. Kalau sejahteran mingguan, maka tanamlah pisang. Itu pisang kalau sudah beranak pinak, sepekan sekali bisalah diambil setandan dua tandan.

Kalau mau sejahtera bulanan, maka tanamlah tomat dan cabai. Tomat dan cabai ini penting, karena banyak yang makan sambal. Kalau mau sejahtera tahunan, maka tanamlah tebu. Ini untuk menopang ekonomi keluarga agar makin kuat, untuk kebutuhan tak terduga teritama. Kalau ingin sejahtera puluhan tahun, maka tanamlah jati. Maka jati walaupun daunnya agak gatal, tetap saya biarkan.

Bahkan kadang juga bisa dipakai piring alternatif untuk makan nasi. Habis makan, bisa dibuang, seperti daun pisang yang bisa dimakan hewan ternak itu. Nah, kalau ingin sejahtera selamanya, dunia dan akhirat, tanamlah SDM (sumber daya manusia). Maka kami bikin sekolah, untuk melahirkan SDM berkualaitas insan paripurna. In syaa’a Allah.

Nah, jadi ingat karena di singgung. Itu ada bebek, kelinci, ayam, dan kambing; ada filosofinya juga?

Ya. Tentu saja. Itu untuk melatih tanggung jawab yang makin meningkat. Kalau menanam tanaman kan secara umum lebih mudah. Kalau mati pun, seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada kerugian yang signifikan.

Maka, setelah tanggung jawab murid di sini kepada tanaman bagus, ditingkat dengan memberi tanggung jawab kepada hewan. Punya nyawa ini. Harus lebih diperhatikan. Kalau tidak, bisa mati. Dimulai dari yang kecil, agar kalau mati, kerugian tdk besar.

Nah, kambing ini sangat ideologis. Sebab, dasarnya hadits Nabi: “Allah tidak mengurus seorang nabi, kecuali dia adalag penggembala kambing.” Di dalam kambing, ada pelajaran kepemimpinan. Hanya penggembala kambing yang bisa merasakan dan memahaminya. Menggembala kambing memerlukan seni tersendiri. Nah, itu bisa dijadikan modal untuk memimpin manusia kelak jika para murid sudah terjun ke dalam masyarakat.

Kalau boleh tahu, Abah Nasih punya pengalaman apa dengan kambing? Dulu pernah pelihara kambing juga?

Ini pertanyaan yang bagus. Masa belia saya, di luar sekolah dan mengahar ngaji anak-anak di sekitar rumah, saya habiskan bersama dengan kambing. Kambing gibas maupun kambing Jawa. Saya berusaha mengingat-ingat, kenapa Nabi menyebut kambing secara spesifik, bukan memelihara ikan atau kelinci, misalnya.

Saya lihat, kambing itu hewan koloni. Mereka hidup berjama’ah. Bisa dikendalikan dengan seni penggembalanya. Kalau dibiarkan, mereka bisa merusak tanaman orang. Namun, kalau dikekang secara berlebihan, mereka akan kurus. Kalau ditarik dengan kencang, dia malah akan mogok, tercekik, dan bisa mati. Mengelola manusia, juga begitu. Tak bisa kita biarkan, tetapi tidak bisa kita tarik terlalu kencang. Harus dengan seni, dan pas. Itu bisa dirasakan oleh penggembala kambing.

Maka silakan coba, kalau masa kecil dulu belum pernah menggembala kambing. Selain itu, Nabi Muhammad juga bersabda bahwa menjelang hari kiamat, rizki yang paling baik adalah hasil menggembala kambing. Saya yakini sajalah. Sebah, yang dikatakan oleh Rasulullah, baik secara tekstual maupun kontekstual itu pasti benar.

Kenapa ada kerangka bintang dari bambu juga? Apa maknanya?

Kerangka bambu berbentuk bintang itu adalah harapan dan bisa disebut juga obsesi bahwa anak-anak yang ada di sini akan menjadi bintang-bintang yang bercahaya, yang akan menerangi lingkungan sekitar dengan cahaya yang berbeda. Itulah nurul furqon.

Cahayanya berasal dari Allah, yang ada dalam al-Qur’an yang akan disampaikan, diajarkan, dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata, sehingga dipahami dan diamalkan juga oleh lebih banyak orang. Dari situlah petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan li al-naas) terwujud.

Bagus sekali itu filosofinya. Luar biasa. Terus, saya dari tadi mencari-cari ruang kelas yang ada meja dan kursinya. Tetapi saya tidak menemukannya sama sekali. Apa ini juga sudah desain?

Benar. Kami memang tidak mau memenjarakan anak di dalam kelas. Kami ingin mereka bebas berekspresi di alam terbuka. Dengan udara yang segar dan pandangan mata yang memandang tanpa batas. Agar eksplorasi terhadap alam semesta menjadi optimal.

Proses pendidikan bersama guru, di atas gazebo-gazebo dari bambu dan kayu itu. (Sambil menunjuk ke arah gazebo2 berukuran 2×1,5 meter dan gazebo kayu bulat berdiameter lebih panjang dari 2 meter). Itu kami sediakan sejak awal agar anak-anak belajar dengan fokus. Lihat juga itu banyak sekali ayunan yang dibuat secara berpasangan.

Itu dibuat agar mereka bisa belajar dan terutama sima’an al-Qur’an dengan sesama mereka sambil bersantai. Tanpa ketegangan. Menghafal al-Qur’an seperti menyanyi Garuda Pancasila. Tanpa beban. Agar cepat.

Salah seorang penghafal al-Qur’an sedang menambah hafalan di gazebo NUFO.

Kalau belajar di situ berapa orang? Kan hanya kecil sekali?

Memang kami desain rasio guru:murid adalah 1:4 maksimal 5. Satu guru mengurus 20-32 murid seperti di kelas konvensional itu tidak masuk akal. Itulah yang menyebabkan banyak anak tidak memahami pelajaran.

Sebab, mereka tidak diperhatikan secara optimal. Dengan rasio 1:4 yang sesungguhnya juga sudah dipraktekkan di Finlandia, diharapkan anak-anak akan mendapatkan penanganan secara tepat, dibina dengan optimal sesuai dengan potensi terbesarnya.

Wah, gurunya banyak dong kalau begini?

Itu konsekuensi. Dan kami memang menyediakan itu. Tidak hanya jumlah yang harus banyak, tetapi kualitasnya harus bagus. Para guru di sini, semuanya menempuh pendidikan S2. Dan kami dorong untuk studi lanjut sampai S3.

Dengan kualitas guru yang bagus, ilmunya mumpuni, maka dia akan lebih mudah untuk mendidik. Tentu saja sudah dipilih guru yang benar-benar memiliki panggilan untuk mendidik, sehingga mereka terpanggil untuk selalu mencari cara untuk membuat para murid cepat menangkap pelajaran, dengan cara-cara yang unik dan menyenangkan.

Lalu bagaimana menyeleksi anak-anak untuk masuk ke sini?

Di sini tidak ada seleksi. Kami menampung seluruh anak yang mendaftar. Dan kami sudah membuktikan bahwa anak bodoh itu memang ada, tetapi sebenarnya amat sangat sedikit. Yang seringkali terjadi adalah menganggap anak dengan potensi yang tidak diketahui sebagai bodoh. Asal anak masih bisa diajak komunikasi, kami akan terima.

Di sini banyak anak yang masuk tadinya baru Iqra’ jilid 3 atau 4. Namun, dengan pembinaan yang intensif dengan cara yang menyenangkan, dalam waktu beberapa bulan, mereka sudah bisa lancar baca al-Qur’an. Sekarang sudah juz 6. Hafalannya bertambah secara kontinue. Itu yang justru membuat kami sangat bahagia.

Melihat anak-anak yang sebelumnya terabaikan potensinya, kemudian teraktualisasikan secara nyata. Yang tadi baca al-Qur’an saja susah, sekarang senang menghafalkan al-Qur’an.

Dengan cara ini, kami berharap akan lahir muslim intelektual profesional. Saya berharap suatu saat nanti melihat makin banyak anak-anak hafal al-Qur’an yang jadi dokter, insinyur, advokat yang benar, polisi yang lurus, tentara yang nasionalis, dll. In syaa’a Allah.

Respon (3)

  1. Biaya Pendidikannya bagaimana, Bah?
    Apakah Mahal?

    😊
    Berarti ini sekolah konvensional jg unt jenjang SLTP njeh, Bah ????
    Apa Lembaga Pesantren unt Anak2 semua Usia ???
    Maaf, KEPO 😆

  2. Benar. Biayanya memang tidak murah. Hanta yang tidak mampu, dengan melampirkan surat ket tidak mampu dari kelurahan, akan mendapatkan keringanan sampai Rp. 0.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *